Dinilai Tak Sesuai, FSGI Desak Pemerintah Luruskan Pernyataan Kenaikan Gaji Guru

Dinilai Tak Sesuai, FSGI Desak Pemerintah Luruskan Pernyataan Kenaikan Gaji Guru
Ilustrasi (Dok.SP)

“Untuk meluruskan persepsi, maka FSGI mendesak Pemerintah segera mengklarifikasi secara resmi terkait kebijakan kenaikan gaji guru, mengingat dampaknya sangat luas.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak pemerintah untuk meluruskan pernyataan soal kenaikan gaji guru yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Puncak Peringatan Hari guru Nasional (HGN) di Stadion Jakarta International Veledrome pada Kamis (28/11) lalu.

Kemenkumham Bali

Siaran pers FSGi, Senin (2/12/2024) menyebutkan bahwa pernyataan tersebut telah menyisakan beragam komentar di media sosial. Banyak guru swasta yang sudah euforia mengira ada kenaikan fantastis sebesar Rp2 juta.

Padahal nyatanya hanya Rp500 ribu yang semula tunjangan profesinya hanya Rp 1,5 juta. Sementara para guru ASN mengira ada 2 kali lipat gaji pokok besaran tunjangan profesinya. Padahal tidak ada perubahan sama sekali. Mungkin ini yang namanya “prank kenaikan gaji dari janji kampanye Prabowo-Gibran”.

“Guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok, yang dari pemerintahan sebelumnya memang sudah mendapatkan 1 kali gaji pokok tidak ada yang berubah. Guru-guru non-ASN nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp2 juta yang semula Rp1,5 juta. Namun para guru gagal paham pernyataan presiden,” ujar Wakil Sekjen FSGI, Mansur, yang hadir dan menyimak langsung pidato Presiden Prabowo.

Sekjen FSGI Heru Purnomo berpandangan kenaikan bahwa gaji guru sebagaimana janji kampanye Pilpres Prabowo-Gibran hal merupakan hal sangat mustahil terjadi karena tidak ada sumber dananya.

“APBN kita sudah minus karena harus membiayai makan bergizi gratis Rp10.000 per siswa tiap hari. Kebijakan makan siang gratis tentu akan menggerus dalam APBN kita,” katanya.

BACA JUGA  Unggah Video Jokowi Berbahasa Sunda, Kang Emil Sentil Arteria

FSGI menilai terdapat mis-informasi dalam pernyataan tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya berita dimana-mana bahwa guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Guru non-ASN nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp2 juta.

Heru mengungkapkan, tidak ada tambahan kesejahteraan maupun kenaikan gaji untuk guru ASN pada tahun 2025. Sejak 2008 pemerintah telah memberikan Tunjangan Profesi Guru (TPG) bagi guru ASN yang telah memperoleh sertifikat pendidik, sebesar satu kali gaji pokok.

Hal ini akan berlaku pada guru yang baru lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) tahun 2024 yang akan memperoleh TPG sebesar satu kali gaji pokok pada tahun 2025. Jadi jelas bukan merupakan tambahan kesejahteraan yang baru, bukan pula kenaikan gaji baru untuk seluruh guru.

“Tidak ada peningkatan tunjangan profesi untuk guru non ASN pada tahun 2025, karena pada tahun-tahun sebelumnya sudah berlaku tunjangan profesi guru non ASN sebesar Rp1,5 juta, dan apabila mereka mengurus dan mendapatkan SK-Inpassing maka TPG nya menjadi Rp2 juta atau lebih sesuai golongan yang setara ASN,” paparnya.

Menurut Heru, hal ini sesuai Persesjen Kemendikbudristek No.10 Tahun 2024 tanggal 14 Mei 2024, yang menyatakan TPG Guru Non-ASN yang belum inpassing sebesar Rp1,5 juta. Sedangkan guru yang telah mendapatkan SK Inpassing akan naik secara berkala sesuai yang tertera pada SK Inpassing.

BACA JUGA  Mendagri Dukung Perkuatan Pelayanan Kesehatan Primer Daerah

“Jadi jelas bukan merupakan peningkatan yang baru tahun 2025, karena tahun-tahun sebelumnya sudah banyak guru non-ASN yang mendapatkan TPG 2 juta setelah inpassing,” ungkapnya.

Heru mengatakan, masih perlu didorong rencana pemerintah terkait perbaikan kesejahteraan kepada guru honorer murni yang kemungkinan akan mendapatkan bantuan kesejahteraan.

Pihaknya menyarankan hendaknya jangan berupa bantuan temporen seperti BLT, namun ditetapkan sesuai Asta Cita Presiden berupa upah minimum guru yang berlaku umum seperti upah minimum regional (UMR) tenaga kerja.

”Oleh karena itu, untuk meluruskan persepsi, maka FSGI mendesak Pemerintah segera mengklarifikasi secara resmi terkait kebijakan kenaikan gaji guru, mengingat dampaknya sangat luas,” pinta Heru.

Mendikdasmen

FSGI juga menyikapi beberapa pernyataan Mendikdasmen Abdul Mu’ti. Antara lain terkait persiapan regulasi agar guru ASN dapat mengajar di sekolah swasta. FSGI meminta agar memastikan terlebih dahulu keterkaitan antar peraturan antar lembaga terkait misalnya Kemenag, Kemendagi maupun KemenpanRB.

“Jangan sampai isu ini berkembang dan ujung-ujungnya tidak dapat dilaksanakan karena adanya ketidak sesuaian dengan regulasi terkait. Hal ini sebenarnya pernah belaku pada pemerintahan sebelumnya namun sudah dihentikan dengan berbagai pertimbangan dan regulasi,” kata Heru.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana dampaknya terhadap guru honorer murni  di sekolah swasta di bawah naungan yayasan.

Selanjutnya, guru ASN bersertifikat tidak perlu lagi menjadi “pemburu” 24 jam pelajaran (JP). Kekurangan dari 24 JP dapat dipenuhi dengan mengikuti diklat kompetensi tertentu.

Hal ini perlu dirumuskan dalam aturan yang baku agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun pelaksanaan di lapangan. Harus dicatat bahwa beberapa hal terkait pemenuhan beban kerja 24 JP yang telah tercantum dalam Permendikbud sebelumnya. Misalnya ekuivalensi untuk wali kelas, piket dan pembina ekskul juga tidak otomatis diakui pada Dapodik.

BACA JUGA  Survei FSGI: 87,6 Persen Setuju UN Dihapus, 72,3 Persen PPDB Sistem Zonasi Dipertahankan

“Hal ini harus jelas karena pemenuhan dan validitas 24 JP untuk selama ini ditentukan oleh Dapodik bukan Permendikbud. Seharusnya Dapodik dapat menyesuaikan Permendikbus namun kenyataannya tidak demikian, sehingga banyak guru mengalami kesulitan terkait validasi linier 24 JP,” ungkap Heru.

Terkait adminstrasi guru, pengelolaan kinerja guru, kepala sekolah dan pengawas yang disebutkan akan dipangkas menjadi hanya satu kali satu tahun, tanpa upload hendaknya juga diperjelas dengan peraturan, juklak dan juknis yang tepat agar aturan dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah.

“Karena selama ini, meskipun beberapa aplikasi disebut telah meringankan guru namun kenyataan di lapangan adalah aplikasi-aplikasi itu harus diikuti, tapi beban “administrasi kolonialnya” tetap diminta oleh kepala sekolah maupun pengawas, dan situasi inilah yang sebenarnya membebani guru,” pungkasnya.(01)