“Ide Mahkamah Desa patut mendapat dukungan luas karena selaras dengan semangat reformasi hukum nasional dan memperluas akses keadilan hingga ke tingkat akar rumput.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) sepakat bekerja sama mengembangkan Mahkamah Desa dan Kelurahan (Mahdes) sebagai upaya mendorong penyelesaian hukum berbasis kearifan lokal dan keadilan restoratif. Kesepakatan ini dituangkan dalam penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) yang berlangsung di Kantor Dewan Pimpinan Pusat PERADIN, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-61 PERADIN pada Sabtu (30/8/2025).
Siaran pers DPP K.A.I, Senin (1/9/2025), menyebutkan, Nota Kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum PERADIN, Adv.Ropaun Rambe, S.H., dan Presiden KAI, Adv. H. Muhammad Yuntri, S.H., M.H., dengan nomor dokumen 003/NS/DPP PERADIN/MahDes/VIII/2025 dan 129/NS/KAI/MahDes/VIII/2025.
Presiden K.A.I, Muhammad Yuntri menyatakan bahwa kolaborasi ini menegaskan komitmen dua organisasi profesi advokat nasional untuk bersama-sama mendukung, memajukan, dan memasyarakatkan Mahdes sebagai forum alternatif penyelesaian sengketa hukum di tingkat desa dan kelurahan.
Menurut Muhammad Yuntri, gagasan Mahkamah Desa merupakan langkah strategis yang sejalan dengan Asta Cita ke-6 pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu membangun sistem hukum yang adil, bersih, dan berpihak kepada rakyat.
“Ide Mahkamah Desa patut mendapat dukungan luas karena selaras dengan semangat reformasi hukum nasional dan memperluas akses keadilan hingga ke tingkat akar rumput,” ujar Yuntri.
Ia juga mengapresiasi langkah PERADIN yang secara konsisten menggagas Mahdes sebagai instrumen keadilan yang lebih dekat dengan masyarakat. Menurutnya, pendekatan ini sangat relevan di tengah kebutuhan penyelesaian hukum yang cepat, murah, dan berkeadilan.
Pendekatan Restoratif dan Berbasis Nilai Lokal
Yuntri menjelaskan bahwa Mahdes dirancang untuk menangani perkara hukum ringan dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dan damai. Model ini berbasis pada prinsip-prinsip kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat dan menekankan keadilan restoratif tanpa mengandalkan proses hukum formal yang kerap mempersulit masyarakat kecil.
“Banyak pencari keadilan yang merasa dirugikan oleh proses hukum formal yang panjang dan rumit. Mahdes bisa menjadi solusi yang efektif dan manusiawi, dengan mengedepankan prinsip perdamaian, pemulihan, dan partisipasi masyarakat,” tegas advokat senior itu.
Didukung Pemerintah dan Berpotensi Ciptakan Lapangan Kerja
Gagasan Mahdes saat ini juga mulai diakomodasi oleh beberapa lembaga pemerintah, termasuk Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum (Kemenkum), serta Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Lebih dari itu, Mahdes dinilai memiliki potensi membuka lapangan kerja baru, terutama bagi advokat pemula dan paralegal yang ingin berkiprah dalam pelayanan hukum langsung di masyarakat desa.
“Mahdes bukan hanya sarana penyelesaian hukum, tetapi juga ruang pengabdian bagi generasi muda advokat untuk membela kepentingan masyarakat yang hak-haknya sering terabaikan,” tambah Yuntri.
Penguatan Kolaboratif Antarorganisasi Advokat
Penandatanganan MoU antara PERADIN dan KAI menandai penguatan sinergi dua organisasi advokat besar dan resmi di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Kolaborasi ini diharapkan memperkuat legitimasi dan keberlanjutan program Mahdes secara nasional.
Sebagai tindak lanjut, DPP KAI saat ini tengah menyusun rancangan kodifikasi hukum acara Mahkamah Desa yang akan menjadi dasar pelaksanaan Mahdes di lapangan.
“Kerja sama ini adalah langkah awal yang penting untuk menghadirkan sistem hukum alternatif yang adil, efisien, dan berbasis nilai-nilai lokal. Semoga Mahdes dapat menjadi warisan berharga bagi masa depan hukum Indonesia,” tutup Yuntri.
Mahkamah Desa Diakui Konstitusi

Ketua Umum PERADIN, Ropaun Rambe, menegaskan bahwa Mahkamah Desa (Mahdes) merupakan forum penyelesaian sengketa yang sah dan konstitusional. Menurutnya, Mahdes tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat desa, tetapi juga memiliki dasar hukum yang kuat.
Ia merujuk Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberi kewenangan kepada kepala desa untuk menyelesaikan perselisihan (Pasal 26 ayat (4) huruf k) dan mengakui hak desa adat menyelesaikan sengketa sesuai hukum adat (Pasal 103).
“Mahdes juga relevan dengan Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mengakui pentingnya penyelesaian sengketa non-litigasi. Selain itu, Putusan MA No. 1795 K/Pdt/2004 dan Putusan MK No. 31/PUU-V/2007 memperkuat bahwa musyawarah adat memiliki kekuatan hukum selama tidak bertentangan dengan hukum nasional dan konstitusi,” paparnya.
Ia kembali menegaskan, dengan dasar konstitusi, undang-undang, peraturan peradilan, serta yurisprudensi MA dan MK, Mahkamah Desa memiliki legitimasi kuat sebagai forum penyelesaian sengketa di tingkat desa.
“Dengan usia yang matang ini, PERADIN semakin berbakti kepada keadilan, mengabdi untuk rakyat, dan bersama KAI siap memperluas akses keadilan sampai ke pelosok desa,” pungkasnya.(01)