JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (DJKI Kemenkumham) merespons masalah lagu ‘Halo-halo Bandung’ ciptaan Ismail Marzuki yang dijiplak pembuat video YouTube dari Malaysia. DJKI menegaskan karya seseorang tidak bisa diubah seenaknya.
“Sebagaimana diketahui, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengubah karya milik orang lain tanpa persetujuan pencipta maupun pemegang hak cipta,” kata Dirjen Kekayaan Intelektual, Min Usihen, dalam keterangan pers di Jakarta,Jumat (15/9/2023).
Lagu ‘Halo, Halo Bandung’, demikian DJKI menuliskan judul lagu itu, pertama kali diumumkan pada tanggal 1 Mei 1946 dan saat ini telah tercatat di DJKI Kemenkumham dengan Nomor Permohonan EC00202106966.
Dijelaskan bahwa di Indonesia pelindungan hak cipta atas karya cipta lagu berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Hal ini diatur dalam Pasal 58 ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
“Pencatatan hak cipta di Indonesia tidak diwajibkan, akan tetapi para kreator didorong untuk mencatatkannya di DJKI sebagai bagian dari upaya defensif apabila suatu ketika terjadi klaim dari pihak lain yang merugikan pencipta atau pemegang hak cipta,” kata Min Usihen.
Diketahui saat ini muncul ‘Halo Kuala Lumpur’ dari kanal YouTube Laku Kanak TV. Lagu tersebut diduga telah melanggar hak cipta atas karya lagu ‘Halo-halo Bandung’ ciptaan Ismail Marzuki karena dianggap telah mengambil musik dan mengubah lirik aslinya.
“Di dalam karya cipta tersebut ada hak moral dan hak ekonomi milik pencipta maupun pemegang hak cipta yang harus kita ketahui dan hormati,” katanya.
Min menyampaikan, apabila suatu pihak ingin menggunakan sebagian maupun secara keseluruhan karya orang lain, maka pihak tadi haruslah meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta maupun pemegang hak cipta. Hal ini sebagai wujud untuk menghargai hak moral pencipta atas karya tersebut.
“Jika kita kesulitan menghubungi pencipta maupun pemegang hak cipta untuk meminta izin, setidaknya kita wajib mencantumkan kredit atas karya tersebut milik siapa,” jelas Dirjen KI.
Ia menegaskan, apabila ada orang maupun pihak lain yang mengambil musik atau pun mengubah lirik dari suatu karya lagu tanpa meminta izin dan tidak mencantumkan nama penciptanya, maka hal tersebut patut diduga sebagai bentuk pelanggaran hak cipta atas hak moral. Kemudian, apabila lagu tersebut diunggah ke platform digital tentunya tindakan itu juga akan merugikan pencipta dan pemegang hak cipta baik dari sudut pandang hak moral maupun hak ekonomi.
Indonesia dan Malaysia merupakan anggota Konvensi Bern. Indonesia meratifikasi Konvensi Bern lewat Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention For the Protection of Literary and Artistic Work, telah diundangkan pada 7 Mei 1997 silam.
“Mengacu pada ketentuan Pasal 5 Konvensi Bern, maka Karya Cipta lagu Halo-halo Bandung yang diciptakan Ismail Marzuki secara otomatis dilindungi di seluruh negara anggota Konvensi Bern yang sampai saat ini berjumlah 181 negara termasuk di Malaysia sebagai anggota konvensi Bern atas hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta/Pemegang Hak Cipta atas lagu tersebut,” lanjut Dirjen K.I.
Min menambahkan, upaya penegakan hukum pelanggaran hak cipta di negara lain, diatur dalam Konvensi Bern, memakai asas independence of protection. Artinya, pelindungan dan penegakan hukum Hak Cipta mengimplementasikan aturan hukum di negara karya hak cipta tersebut dilanggar. Dalam hal ini, menggunakan aturan hukum Malaysia.
“Untuk itu, jika pencipta atau pemegang hak cipta Indonesia ingin menegakkan hak cipta di negara lain, maka gugatan dilaksanakan berdasarkan dengan Undang Undang Hak Cipta di negara tersebut,” terangnya.
“Jika pencipta atau pemegang hak ciptanya sudah meninggal dunia maka ahli waris sebagai pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk melarang atau mengizinkan pihak lain dalam melaksanakan hak cipta miliknya,” sambung Min.
Namun, lanjutnya, apabila terjadi dugaan pelanggaran, penegakan hak cipta seharusnya diawali dengan pendekatan Alternative Dispute Resolution (ADR). Suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan para pihak ketiga yang netral. ADR ini adalah semacam musyawarah.
“Kemenkumham cq DJKI sebagai pemangku kepentingan Kekayaan Intelektual di Indonesia akan berusaha agar perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual baik komunal maupun individu tetap ditegakkan,” pungkasnya.(One/01)