“Keadaan tanpa kulit itulah yang disebut Wangsa Pandita Dewata, atau Windu Dewa, atau itulah sejatinya seorang wiku yang telah melepaskan kulit-kulitnya.”
KLUNGKUNG, SUDUTPANDANG.ID – Agar bisa menjadi Wiku yang bijak dibutuhkan parami atau jasa kebajikan yang cukup melalui kerja keras sesuai dharma yang ada didalam catur wangsa, yakni garis keturunan atau kelahiran, bukan kasta yang terkait dengan keturunan atau ras.
Hal ini nampak jelas ketika menyaksikan prosesi “Tingkahing Adiksani (wangsa dewata)” sesuai sastra yang ada pada sebuah lontar berjudul “Bongkol Pangasrayan”.
“Lontar ini memuat ajaran tentang Tingkahing Adiksa dalam melenyapkan sudra wangsa, wesya wangsa dan ksatrya wangsa menjadi wangsa pandita dewata, atau windu dewa, seorang wiku sejati. Artinya orang yang telah melepaskan kulit-kulitnya,” ungkap Ida Pandita Dukuh Celagi Dhaksa Dharma Kirti di Pasraman Sri Taman Ksetra, Desa Pikat, Kecamamtan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali, Sabtu (17/7/2021) malam.
Seperti disebutkan cara menghilangkan salah satu wangsa (sudra wangsa) didalam lontar Bongkol Pangasrayan berbunyi “tingkahing adiksa, yan di ndilahe. Yan di sekala sang adi meraga ongkara merta, yan di niskala di jro meraga rasa liyang. Sang sisya yan ring sekala meraga ongkara gni, yan di niskala di jro sang sisya meraga rasa galang. “Keto di ndilahe ngilangang wangsa sudrane”.
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan ‘Ndilah’ dalam upacara diksa, adalah menghilangkan wangsa sudra. Wangsa sudra yang dihilangkan adalah wangsa sudra yang ada pada sang murid. Sarana untuk menghilangkan wangsa sudra itu adalah ‘Ongkara Gni,’ atau ‘Ongkara Api.’ Jadi, yang namanya wangsa sudra itu dibakar oleh kekuatan api dari Ongkara.
“Ini tata cara melakukan diksa. Pada saat melakukan Ndilah, kalau secara sekala Sang Guru Nabhe sebagai Ongkara Merta, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe sebagai perasaan bahagia. Sang Murid kalau secara sekala adalah Ongkara Gni, kalau secara niskala di dalam Sang Murid sebagai perasaan yang terang benderang. Begitulah pada saat Ndilah menghilangkan Sudra wangsa. Jadi bukan kasta yang terkait dengan keturunan atau Ras,” papar Panasehat dari Yayasan Padukuhan Sri Candra Bhaerawa ini.
“Begitu seterusnya Wesya Wangsa, Ksatrya wangsa hingga menjadi Wangsa Pandita Dewata melalui tahapan-tahapan khusus, tentu saja dengan ongkara yang berbeda-beda dan kekuatan Jnana tinggi,” tuturnya.
Dapat disimpulkan bahwa penghilangan wangsa itu ada dalam sebuah upacara diksa. Sebagaimana umumnya upacara, diksa itu adalah sebuah tindak simbolis-mistis. Penghilangan wangsa itu adalah sebuah pemaknaan. Makna itu diberikan oleh tradisi.
Menurutnya, wangsa itu benar-benar dipandang sebagai kulit. Melewati tahapan pertama, seorang murid melepaskan sendiri kulit terluarnya. Untuk melewati tahapan kedua, seorang murid kembali melepaskan kulit di dalamnya.
“Begitu seterusnya sampai akhirnya ia seakan-akan tanpa kulit. Keadaan tanpa kulit itulah yang disebut Wangsa Pandita Dewata, atau Windu Dewa, atau itulah sejatinya seorang wiku yang telah melepaskan kulit-kulitnya,” terangnya.
“Menghilangkan wangsa adalah sebuah pendakian dari bawah ke atas, atau sebuah penyusupan dari luar ke dalam, atau dari kulit ke isi,” pungkasnya.(one)