In Memoriam Azyumardi Azra: Lebih Lembut dari Cak Nur

Uten Sutendy
Penulis dan Budayawan Uten Sutendy (Dok. pribadi)

“Azyumardi, cendekiawan kelas dunia dari Indonesia boleh disejajarkan dengan mentornya, Cak Nur (Nurcholis Madjid).”

Oleh Uten Sutendy

Kemenkumham Bali

Suatu hari di awal tahun 90-an, saya baru selesai tugas jurnalistik dari Lampung dan Palembang. Karena “kampung kedua” saya adalah Ciputat, maka tujuan pulang dari perantauan adalah Gang Semanggi atau Aula Insan Cita Situ Kuru, Ciputat, tempat para aktivis senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berkumpul.

Bertemulah saya dengan para aktivis, teman diskusi saat saya masih jadi aktivis. Salah seorang di antaranya Azyumardi Azra, yang waktu itu baru pulang studi dari Mc Gill, Canada, seangkatan dengan Dien Syamsuddin.

Tentu saja ada teman-teman lain yang ditemui, antara lain Prof Badri Yatim, Dr Didin Safruddin, Saleh Abdullah, Dr Ihsan Ali Fauzi, Saeful Muzani, Ade Komaruddin, Ahmad Sanusi, dan Hendro. Azyumardi adalah mentor kami para aktivis Ciputat.

Waktu itu kami bertemu di rumah makan Padang depan gedung IAIN yang lama. Azyumardi naik motor honda bebek kancil tahun tua, sedangkan saya bersama Didin Safrudin berjalan kaki dari Gang Semanggi.

Sambil menyantap rendang daging, Azyumardi berkata: “Terus kamu Ten mau kerja dimana?”

Pertanyaan yang sulit saya jawab waktu itu. Saya memesan nasi padang plus ayam goreng untuk mengalihkan fokus obrolan.

Selanjutnya kami jarang bertemu se-akrab itu lagi karena fokus kesibukan masing-masing. Saya kembali ke jalur media di Jakarta. Azyumardi menjadi dosen, dekan, dan terakhir jadi rektor UIN dengan gelar profesor.

Berkat bimbingan beliau kami senang bisa terus tumbuh sebagai “warga kampung Ciputat.”

Didin dan Badri Yatim jadi dosen dan guru besar, Ade Komaruddin jadi politisi, Ihsan Ali Fauzi jadi peneliti, Saleh Abdullah jadi penggiat sosial internasional, Saeful Mujani jadi peneliti dan cendekiawan hebat, sedangkan saya bersyukur menjadi seseorang yang bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa.

Di masa rektor IAIN dijabat oleh Prof Dr Harun Nasution, ada “tiga koin emas” yang paling bercahaya di IAIN Jakarta, yakni dosen muda Azyumardi Azra, Dien Syamsuddin, dan Mulyadi Kertanegara.

Ketiga orang ini yang secara berbarengan dikirim oleh Pak Harun ke Amerika untuk kuliah di universitas ternama. Masing-masing mengambil jurusan yang berbeda. Azyumardi mengambil jurusan sejarah dan filsafat Barat, Dien Syamsuddin ke filsafat Islam modern, dan Mulyadi Kertanegara jurusan sejarah.

Pulang dari Amerika ketiganya aktif menulis di berbagai media nasional dan kemudian dikenal sebagai cendekIawan muda. Dien aktif di bidang politik Islam, Azyumardi fokus di akademi dan kecendekiawanan. Sedangkan Mulyadi aktif jadi dosen di berbagai perguruan tinggi nasional (Guru Besar di UGM) dan dosen terbang di beberapa universitas di Amerika dan Eropa.

Jika mau jujur, kak Edy (Azyumardi Azra)-lah generasi terakhir dari IAIN yang mampu menyumbangkan pemikiran Islam dan ke-Indonesiaan di tanah air dengan begitu produktif dan visioner. Setelah generasi beliau belum banyak lagi generasi muda yang muncul semurni dan seproduktif beliau dalam menulis dan berkarya di bidang keilmuwan dan kemasyarakatan.

Mulyadi Kartanegara, teman seangkatan, memang produktif. Terakhir menulis biografinya sampai tiga jilid dengan ketebalan di atas 600 halaman per jilid, dalam bahasa Inggris. Buku biografi itu menceritakan pergulatannya dalam merespons perkembangan pemikiran Islam di tanah air dan di dunia. Sementara karya-karya kemasyarakatannya masih belum menonjol.

Sedangkan Dien Syamsudin, yang diawal popularitasnya banyak menulis, lebih terlihat fokus dalam dunia politik dan kekuasaan.

Ada beberapa nama memang seperti Ihsan Ali Fauzi, Ali Munhanif, Saeful Mujani, Arief Subhan yang rada fokus ke kajian pemikiran Islam, tapi tulisan- tulisan mereka masih jauh dari kata jernih, murni dan produktif seperti karya-karya Kak Edy, panggilan akrab Azyumardi Azra.

Azyumardi, cendekiawan kelas dunia dari Indonesia boleh disejajarkan dengan mentornya, Cak Nur (Nurcholis Madjid). Bedanya, pemikiran Cak Nur dan Kak Edy terletak pada sisi kedalaman dan keberanian.

Pemikiran Cak Nur lebih mendalam, menohok sampai menyentuh akar sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan sehingga dengan berani melahirkan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”.

Sementara karya-karya Kak Edy nampaknya lebih berusaha menterjemahkan pondasi pemikiran yang sudah dibangun oleh seniornya, Cak Nur, dengan kecerdasan intelektual yang luar biasa. Kemampuan bahasa Kak Edy sangat mumpuni sehingga pemikirannya terasa lebih lembut (non politik) di mata pembaca, dan karenanya lebih diterima oleh masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang.

Selamat jalan guru, mentor, dan sahabat kami.

*Uten Sutendy adalah Penulis dan Budayawan

Tinggalkan Balasan