Jakarta, SudutPandang.id – Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat (8/1), menyatakan bahwa vaksin Sinovac hukumnya suci dan halal, kini vaksin COVID-19 tersebut tinggal menunggu izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Setelah dikeluarkan izin BPOM, untuk selanjutnya akan digunakan pada tahap pertama vaksinasi bagi tenaga kesehatan dan petugas layanan publik. Dua keputusan ini akan menjadi awal program vaksinasi COVID-19 yang diharapkan mampu mempercepat pengendalian pandemi di Indonesia.
Prof. Dr. dr. Cissy Kartasasmita, Sp.A (K), M.Sc, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung mengatakan, mutu dan keamanan vaksin COVID-19 ini tidak perlu diragukan lagi.
“Karena sudah melalui fase uji klinik 1 dan 2. Sementara, saat nanti Badan POM mengeluarkan izin penggunaan darurat berdasarkan evaluasi dari analisa interim uji klinik 3 di Brazil, Turki, dan Indonesia, maka terjamin 3 aspek penting yakni aman, bermutu dan berkhasiat. Selanjutnya, aspek kehalalannya sudah dijamin MUI. Jadi, jangan ragu untuk divaksinasi,” kata Cissy, dalam keterangan pers, Minggu (10/1).
Untuk diketahui oleh masyarakat luas, vaksin merupakan salah satu cara pencegahan terpenting dari rangkaian upaya penanggulangan COVID-19.
“Bantuan dari vaksin itu sangat perlu untuk mengakhiri pandemi selain mencegahnya melalui 3M (Memakai masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga jarak) dan 3T (Pemeriksa, Pelacakan, dan Perawatan),” ujar Cissy, yang juga Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Survei terakhir dari Kementerian Kesehatan, UNICEF, WHO, dan ITAGI menunjukkan masih ada sekitar 27,6 persen masyarakat ragu untuk menerima vaksin karena beberapa alasan.
“Penyebabnya adalah mereka meragukan keamanannya. Kalau saat uji pra klinik saja tidak aman, tidak akan bisa dilanjutkan sampai fase uji klinik berikutnya. Jadi ketika nanti Badan POM akan mengeluarkan izin penggunaan, vaksin COVID-19 sudah pasti aman,” kata Cissy.
Ia mengatakan, merujuk pada rekomendasi WHO yang menyatakan bahwa vaksin dengan efikasi di atas 50% dapat digunakan oleh masyarakat luas.
“Jika vaksin A memiliki efikasi 70% dan vaksin B memiliki efikasi 90%, bukan berarti vaksin B lebih baik dari vaksin A. Dengan efikasi yang tinggi, maka cakupan rasio vaksinasi bisa dilakukan tidak terlalu tinggi. Tapi kalau efikasinya tidak terlalu tinggi, maka cakupan vaksinasinya harus lebih besar. Tapi bukan berarti yang satu lebih baik dari yang lain. Selama efikasi di atas 50% sesuai rekomendasi WHO, dan Badan POM sudah mengeluarkan izin penggunaan, maka saya tegaskan vaksin tersebut aman untuk digunakan,” papar Cissy.
Untuk efek samping, atau yang disebut Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), sesuai hasil uji klinik yang telah dilakukan, sangat jarang ditemukan dan bersifat ringan, dan mudah diatasi.
“KIPI itu ada yang ringan seperti merah atau bengkak di tempat penyuntikan atau demam. Namun itu akan hilang satu dua hari sesudahnya. Maka dari itu, setiap orang yang baru selesai disuntik harus menunggu 30 menit untuk diobservasi,” jelas Cissy.
Meskipun sudah ada vaksin, ia mengimbau masyarakat untuk terus mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Semakin cepat vaksin dilakukan dan semakin banyak masyarakat yang divaksin, maka pandemi makin cepat ditangani hingga kasusnya nol.
“Ini bukan tidak mungkin karena ada negara yang sudah melaporkan kasus nol. Untuk itu, perlu dukungan dari teman-teman tenaga kesehatan untuk memberikan informasi yang sebaik-baiknya pada masyarakat, salah satunya dengan mengikuti vaksinasi,” pungkasnya.(um)