“Mengapa Warteg Tetap Tampak “Lebih Unggul”?
Bukan karena warteg lebih ilmiah, bukan karena menunya lebih bergizi, dan bukan karena pengelola warteg punya gelar akademik. Keunggulan mereka sederhana kehadiran yang konsisten, adaptasi cepat, dan pemahaman mendalam tentang selera rakyat”
Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA
Di negeri ini, ketika negara baru sibuk merancang program gizi, warteg sudah sejak lama menyajikan solusi praktis: makan kenyang, cepat, murah, dan dekat. Ribuan warteg dan warung Padang berdiri di tiap ruas kota menjadi tempat berlindung para pekerja harian, mahasiswa, sopir angkot, hingga pegawai kantoran. Mereka adalah “institusi gizi rakyat” yang bekerja tanpa rapat koordinasi, tanpa anggaran triliunan, dan tanpa seremoni peresmian dapur.
Lalu datanglah BGN (Badan Gizi Nasional) dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas untuk menjangkau puluhan juta warga. Harapannya besar, misinya mulia negara turun tangan langsung memberi makan rakyat dengan standar gizi yang terukur. Tetapi di balik misinya, muncul banyak pertanyaan soal pelaksanaan, realisasi capaian, dan efektivitasnya jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan warteg selama ini.
Realisasi BGN: Antara Ambisi dan Kenyataan
BGN dilahirkan dengan target fantastis: lebih dari 80 juta penerima manfaat MBG. Anggaran yang digelontorkan pun bukan main-main triliunan rupiah digerakkan untuk membangun ribuan dapur (SPPG), merekrut tenaga ahli, merancang standar keamanan pangan, hingga membiayai distribusi logistik ke banyak daerah.
Dalam praktiknya, realisasi ini tidak selalu mulus. Pencapaian penerima manfaat masih jauh di bawah target awal. Ada daerah yang siap dapurnya, tetapi belum siap distribusinya. Ada yang sudah membuka SPPG, namun kemampuan memasak dan penyajiannya berbeda-beda.
BGN menetapkan standar menu, namun tak sedikit daerah kesulitan memenuhi standar itu karena keterbatasan bahan, keterbatasan tenaga terlatih, atau sekadar karena menu itu tak cocok dengan budaya lokal makan.
Lebih rumit lagi, pengawasan di lapangan sering kedodoran. Tidak semua laporan dapur akurat, tidak semua standar kebersihan tercapai, dan beberapa insiden keamanan pangan mencoreng citra program. Negara memang bersikap cepat dalam evaluasi, tetapi publik terlanjur mempertanyakan seberapa siap lembaga ini sebelum diluncurkan dengan skala sebesar itu.
Cacat Struktural dan Pelaksanaan, beberapa masalah mendasar dalam implementasi BGN tampak cukup jelas:
- Pertama, struktur terlalu gemuk – BGN menempatkan banyak pejabat, tenaga ahli, bahkan figur-figur berlatar belakang non-gizi. Para profesor gizi bekerja berdampingan dengan purnawirawan jenderal, mantan pejabat kementerian, hingga figur lain yang tidak selalu relevan dengan urusan dapur dan masakan. Struktur seperti ini kadang menciptakan jarak antara pengambil keputusan dan realitas operasional di lapangan.
- Kedua, birokrasi menghambat kelincahan – Untuk memutuskan menu, pengadaan bahan, hingga laporan harian, dapur MBG harus melalui rantai persetujuan yang panjang. Ini berbeda jauh dengan warteg yang bisa menyesuaikan menu secara real time kalau harga ayam naik, tinggal tambah tempe; kalau pasar tutup, tinggal ganti sayur yang ada. Kelincahan ini hilang ketika semua harus mengikuti SOP berlapis.
- Ketiga, koordinasi antar daerah tidak seragam – Ada daerah yang mampu menjalankan MBG dengan baik, namun ada juga yang tertatih-tatih. Perbedaan kualitas ini membuat efek program tidak merata, padahal gizi seharusnya menjadi layanan universal. Ketika standar negara tak bisa terpenuhi, publik pun mulai membandingkan BGN dengan warteg yang sejak dulu konsisten memberi makan tanpa embel-embel standar tetapi tetap memuaskan.
- Keempat, ketergantungan pada anggaran raksasa – Program sebesar MBG sangat rentan goyah ketika anggaran terhambat atau realokasi terjadi. Warteg tidak membutuhkan APBN; mereka hidup dari dinamika pasar. MBG, sebaliknya, hidup dari dinamika politik dan anggaran negara. Ketika ada hambatan, masyarakat penerima akan paling pertama merasakan dampaknya.
Mengapa Warteg Tetap Tampak “Lebih Unggul”?
Bukan karena warteg lebih ilmiah, bukan karena menunya lebih bergizi, dan bukan karena pengelola warteg punya gelar akademik. Keunggulan mereka sederhana kehadiran yang konsisten, adaptasi cepat, dan pemahaman mendalam tentang selera rakyat.
Warteg tidak butuh program percontohan; mereka sudah menjadi program nasional sejak lama tanpa deklarasi.Warteg tidak butuh ahli gizi mereka tahu lauk mana yang paling cepat habis sebagai indikator kecocokan.
Warteg tidak butuh direktur mereka butuh ibu-ibu dapur yang hafal bahan paling murah di pasar hari itu. Negara memiliki ambisi besar dalam urusan gizi, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa warteg adalah model paling tangguh dalam penyediaan makanan murah, cepat, dan massal.
Saran untuk BGN (Supaya Tidak Kalah dari Warteg)
- Belajar dari fleksibilitas warteg- Tidak semua harus baku. Menu bisa disesuaikan dengan budaya lokal dan ketersediaan bahan. Fleksibilitas tidak identik dengan pelanggaran standar.
- Perkuat kolaborasi dengan UMKM kuliner lokal – Bukan hanya menjadikan mereka vendor, tapi mitra strategis. Tidak perlu semua dapur dibangun baru; manfaatkan jaringan warteg dan rumah makan yang sudah mapan.
- Sederhanakan struktur – Jabatan yang tidak relevan dengan gizi dan operasional sebaiknya dialihkan. Yang dibutuhkan adalah praktisi, bukan definisi panjang di bagan organisasi.
- Prioritaskan kualitadari padada kejar target angka – Lebih baik 20 juta penerima makan benar-benar aman dan bergizi, dari pada 80 juta penerima tetapi berjalan seadanya.
- Perkuat sistem pengawasan berbasis komunitas – Libatkan tokoh masyarakat, PKK, posyandu, dan kelompok lokal sebagai mata dan telinga. Pengawasan top down sering tidak cukup.
BGN hadir dengan konsep besar, struktur besar, dan ambisi besar. Namun di lapangan, warteg tetap menjadi raja tak bermahkota dalam urusan memberi makan rakyat. Mereka membuktikan bahwa efisiensi, kedekatan, dan adaptasi sering lebih efektif daripada birokrasi raksasa.
Jika BGN ingin benar-benar sukses, ia harus merendah, belajar dari kearifan kuliner rakyat, dan memahami bahwa mengurus gizi bukan sekadar soal anggaran dan jabatan tetapi soal menyajikan makanan yang tepat, cepat, dan diterima.
Karena pada akhirnya, rakyat tidak membutuhkan program yang paling megah; mereka hanya membutuhkan makanan yang layak pada waktu yang tepat. Dan selama itu belum tercapai, warteg akan tetap menang telak.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tata kelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)









