Kisah Inspiratif Tony Thamsir, Jadi Jembatan Penting Indonesia-Taiwan

Kisah Inspiratif Tony Thamsir, Jadi Jembatan Penting Indonesia-Taiwan
Koordinator Senior Radio Taiwan International (RTI) Tony Thamsir (ketiga dari kanan) saat Konferensi Internasional Asia Center ke-9 "Shrinking Civic Space in Asia Stories of Resistance and Pushback" di Bangkok, Thailand, Kamis (22/8/2024).(Foto:RTI)

“Setiap suara itu penting, dan setiap cerita akan memperkaya narasi kita bersama. Ubah rasa benci menjadi cinta dan kasih sayang, itulah yang saya lakukan dan membuktikan bahwa komunikasi membuat rasa benci menjadi kasih sayang, dan dunia akan indah pada akhirnya.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Kisah Inspiratif datang dari Koordinator Senior Radio Taiwan International (RTI), Tony Thamsir yang kini jadi jembatan penting Indonesia-Taiwan.

Kemenkumham Bali

Tony Thamsir menyerukan pentingnya memahami dan menjaga nilai-nilai demokrasi, inklusivitas, dan hidup berdampingan secara damai di kawasan Asia-Pasifik, serta mengubah rasa benci menjadi cinta demi menciptakan dunia yang indah.

Hal itu disampaikan Tony Thamsir saat menyampaikan pidato dalam sebuah panel Konferensi Internasional Asia Center ke-9 “Shrinking Civic Space in Asia Stories of Resistance and Pushback” di Bangkok, Thailand, Kamis (22/8/2024).

Dalam keterangan tertulis yang disampaikan Taipei Economic and Trade Office (TETO), Senin (26/8/2024), menyebutkan bahwa Tony, Koordinator Senior Departemen Bahasa Asing RTI diundang untuk menyampaikan pidato.

Tony dalam pidatonya menceritakan kisahnya sebagai seorang keturunan Tionghoa-Indonesia yang hidup miskin di bawah rezim Soeharto. Ia bertemu berbagai tantangan yang signifikan, termasuk diskriminasi dan intimidasi terkait rasnya.

Hal tersebut menumbuhkan keinginannya untuk pindah dari tanah kelahirannya hingga tiba di Taiwan pada 1994 silam. Ia melanjutkan studi S-1 dalam Ilmu Politik di Universitas Nasional Chengchi.

Setelah lulus, ia bekerja di Pemerintah Kota Taipei dan ditugaskan menjadi konsultan bagi pekerja migran Indonesia. Awalnya, ia sempat menolak karena terbesit ingatannya akan perlakuan yang harus dihadapi selama berada di Indonesia. Ditambah kerusuhan pada 1998 yang menimpa keluarganya.

Tony berubah pikiran setelah mendapat pesan dari atasannya, yang memintanya melepaskan semua bentuk perasaan benci.

“Saya harus menghadapi langsung semua hal yang saya idak sukai,” kata pria berdarah Hakka, Aceh dan Kanton itu.

Setelah itu, lanjut Tony, ia pun menerima tugasnya untuk memberikan konsultasi bagi para pekerja migran Indonesia, hingga membantu menangani berbagai permasalahan mereka termasuk kesalahpahaman, pelecehan, kecelakaan kerja, tindakan kekerasan, sampai mereka yang meninggal.

Semua ini mengubah perasaan tidak sukanya menjadi empati. Ia merasa apa yang dihadapi para pekerja migran Indonesia serupa dengan apa yang dahulu dirinya hadapi ketika baru sampai di Taiwan.

Tony mengungkapkan, setelah itu ia berlabuh menjadi penyiar Indonesia di RTI, hingga kini menjabat sebagai Koordinator Senior Departemen Bahasa Asing di media tersebut.

Tony mengatakan, misinya adalah untuk selalu mengintegrasikan imigran baru ke dalam masyarakat Taiwan melalui penyiaran multibahasa.

Ia percaya komunikasi adalah kunci untuk menumbuhkan pemahaman dan penerimaan. Melalui pekerjaannya, ia membantu para pendatang baru, termasuk pelajar, pekerja migran, imigran baru, hingga profesional. Menavigasi lingkungan baru mereka dengan program yang berbeda dalam acara di radio, termasuk pelajaran bahasa dan perkenalan budaya.

Tony mengungkapkan, ia sempat diundang berbagi pengalamannya di panggung TEDxTALK. Ia tidak hanya membantu imigran secara individu saja, tetapi juga memfasilitasi budaya yang lebih luas dalam berintegrasi dengan masyarakat Taiwan.

Nasionalisme

Tony menyampaikan, latar belakang etnis campurannya telah membentuk pemahamannya akan identitas dan kepemilikan, hingga membuatnya memahami apa arti nasionalisme.

“Ini akhirnya membuat saya dapat menghargai kedua akar dalam hidup Indonesia dan kehidupan di Taiwan,” ujar Tony yang lahir di Medan, Sumatera Utara.

Ia pun menyampaikan harapannya agar semua hadirin dalam konferensi internasional tersebut dapat berkontribusi untuk memperkuat suara mereka yang kurang terwakili dan mempromosikan pemahaman serta solidaritas.

“Hal ini merupakan tugas semua dari mereka, dan penting untuk dilanjutkan demi mencapai visi misi dalam mengadvokasi kebebasan berekspresi hingga dapat menciptakan lingkungan yang damai di kawasan Asia-Pasifik,” kata Tony.

Ia juga menggarisbawahi perlunya memahami dan menjaga nilai-nilai demokrasi, inklusivitas, dan hidup berdampingan secara damai di kawasan Asia-Pasifik.

“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” ujar Tony.

Menurutnya, dengan bersama, mereka dapat menciptakan kehidupan sosial masyarakat di mana

“Setiap suara itu penting, dan setiap cerita akan memperkaya narasi kita bersama. Ubah rasa benci menjadi cinta dan kasih sayang, itulah yang saya lakukan dan membuktikan bahwa komunikasi membuat rasa benci menjadi kasih sayang, dan dunia akan indah pada akhirnya,” papar Tony menutup pidatonya.

Dilansir dari laman Asia Center, “Shrinking Civic Space in Asia: Stories of Resistance and Pushback” adalah tajuk konferensi internasional tahunan ke-9 yang diadakan Asia Center di Bangkok, Thailand pada 21 sampai 23 Agustus 2024. Konferensi ini membahas kisah-kisah perlawanan dalam upaya mempertahankan ruang sipil di Asia.(PR/01)

BACA JUGA  "Momento Vivere", Ungkapan Menyentuh Hati OC Kaligis di Usia 80 Tahun