JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Martin Wahyudi Wibowo, saksi korban kasus dugaan penipuan dan penggelapan membantah adanya perdamaian terkait perkara yang saat ini sedang bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Hal ini disampaikan Martin menanggapi keterangan saksi usai sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa Johanes Harry Tuwaidan dan para saksi pada Selasa (26/11/2024).
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dawin Sofian Gaja, menolak saksi yang meringankan terdakwa untuk diambil sumpah. JPU menyatakan keberatan lantaran empat orang saksi salah satunya merupakan istri dari terdakwa. Menurut JPU, istri bos PT Buana Prima Kharisma Jaya (BPKJ) itu, selalu berada di ruang sidang.
Akhirnya salah satu saksi urung menyampaikan keterangan dalam persidangan karena mengundurkan diri.
Dalam persidangan yang dipimpin Majelis Hakim Iwan Irawan, ada saksi menyebutkan bahwa adanya permintaan perdamaian yang diduga dengan nominal Rp5 miliar.
Saksi pelapor Martin menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima adanya upaya perdamaian melalui Restoratif Justice.
“Kami berharap ini tidak dibuat berita yang sebenarnya tidak terjadi,” harap Martin menanggapi pernyataan saksi usai sidang.
Martin mengungkapkan, pada saat itu memang diminta Rp 1.5 miliar, itupun tidak berupa uang cash, tapi seakan-akan dibuat pembayarannya melalui pembelian sebidang tanah.
“Kami juga sudah membuat laporan polisi terhadap perbuatan terdakwa dalam pembangunan pabrik, sehingga kalau kita mau walaupun ini tidak resmi silahkan kita hitung akumulasi notariat. Artinya ada kerugian kami dalam pembangunan pabrik, ada juga kerugian dalam pengadaan mesin itulah akumulasi itu,” ungkapnya.
Dalam persidangan, lanjutnya, bahwa uang Rp5 miliar ini diartikan hanya pada perkara pengadaan mesin produksi kosmetik. Sehingga secara hukum, ia meyakini Majelis Hakim pasti bijaksana dan teliti memahami, menganalisis serta memeriksa dalam memutus perkara ini.
“Kami yakin dan percaya perdamaian itu sebelum perkara ini bergulir bahkan tidak pernah ada Restoratif Justice,” katanya.
“Begitu juga terkait PPN, seolah-olah PPN itu harus dibayar sebelum barang tersebut ada, padahal faktanya tidak mungkin ada pembayaran PPN kalau barang secara keseluruhan belum kita terima,” lanjutnya.
Ia pun menyatakan siap membayar kalau memang mesin secara keseluruhan sudah diterima dalam kondisi yang baik.
“Pada prinsipnya ada 3 metode pembayaran, yang pertama 50 persen DP sudah dibayarkan, yang kedua 40 persen itu dibayarkan ketika terdakwa menyatakan siap mengirimkan barang melalui foto chat bahwa barang siap dikirim,” terangnya.
Dalam dakwaannya, JPU menyebutkan atas dasar keyakinan dan meyakinkan itulah mengirimkan 40 persen tersebut. Akhirnya barang datang ke gudangnya. Setelah pengecekan ternyata ada 3 mesin yang tidak ada dan 1 mesin pada saat testing itu tidak berfungsi sehingga dikembalikan kepada terdakwa untuk diperbaiki.
Artinya ada 4 mesin yang diterima korban Martin dari jangka waktu penawaran yang harusnya 3 bulan. DP 50 persen dan 40 persen sudah lunas dan diselesaikan kewajibannya dengan baik oleh korban Martin
Disebutkan dalam dakwaannya, ketika DP 90 persen sudah dibayarkan, maka kewajiban terdakwa untuk menyerahkan seluruh mesin tersebut dalam kondisi baik. Namun faktanya yang 3 mesin produksi kosmetik tidak ada dan 1 mesin tidak berfungsi dengan baik. Otomatis yang tidak melaksanakan kewajiban sampai saat ini adalah terdakwa.
Sementara itu dalam keterangannya, terdakwa tetap menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dalam perkara tersebut.
Dalam perkara ini, JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 378 dan 374 KUHP karena diduga telah melakukan tindak pidana penipuan serta penggelapan yang menyebabkan saksi rugi miliaran.
Sidang dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan JPU terhadap terdakwa.(tim)