JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menegaskan bahwa perkara yang menyeret nama Hakim Konstitusi (MK) Arsul Sani terkait isu pemalsuan ijazah doktoral berada di luar domain kewenangannya. Kendati demikian, MKMK tetap memeriksa secara mendalam seluruh aspek etik yang berkaitan dengan tuduhan tersebut sebelum akhirnya menyatakan Arsul tidak terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama.
Putusan itu dibacakan dalam sidang terbuka di Jakarta, Kamis (11/12), setelah MKMK melakukan rangkaian klarifikasi sejak Oktober 2025.
Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, menyampaikan bahwa tidak ditemukan pelanggaran etik terkait integritas sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Hakim Konstitusi.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Sekretaris MKMK Ridwan Mansyur memaparkan bahwa lembaganya tidak memiliki mandat maupun perangkat untuk memutus sah atau tidaknya sebuah ijazah.
Namun, ia mengakui unsur keaslian dokumen pendidikan tetap relevan dalam menilai apakah seorang hakim memegang teguh prinsip integritas. Karena itu, meski tidak memeriksa perkara pidana, MKMK tetap menggunakan parameter hukum pidana sebagai alat bantu analisis etik.
Pada pemeriksaan, Arsul Sani diminta menunjukkan dokumen ijazah secara langsung di hadapan majelis. Ia memenuhi permintaan tersebut dan membawa dokumen yang dipersoalkan. Ridwan menyebut sikap kooperatif itu menjadi sinyal positif bagi majelis dalam menilai itikad baik hakim terduga.
Transparansi Arsul juga tampak saat ia membuka ruang dialog kepada publik melalui konferensi pers. Dalam kesempatan itu, ia menjelaskan sejarah pendidikannya di Collegium Humanum Warsaw Management University, termasuk kehadirannya dalam prosesi wisuda pada Maret 2023 di Warsawa, Polandia.
Majelis menilai dokumen ijazah tersebut sebagai dokumen otentik yang diterbitkan langsung oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Tidak ditemukan tindakan penggunaan dokumen palsu maupun upaya memanipulasi persyaratan pencalonan hakim konstitusi.
Selain aspek dokumen, MKMK juga memeriksa jejak akademik Arsul selama menempuh pendidikan doktoral. Anggota MKMK Yuliandri mengungkapkan adanya bukti korespondensi bimbingan disertasi serta pengajuan penelitian yang menunjukkan proses pendidikan dijalankan sesuai kaidah akademik.
Berdasarkan keseluruhan temuan tersebut, MKMK menyimpulkan bahwa tuduhan pelanggaran etik terkait pemalsuan ijazah tidak terbukti. Pemeriksaan justru menguatkan bahwa proses studi dan dokumen yang dimiliki Arsul berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan putusan ini, MKMK menegaskan batas kewenangannya: menjaga etik, bukan mengadili keabsahan dokumen. Namun, lembaga itu tetap memastikan bahwa setiap isu yang memengaruhi integritas hakim akan diperiksa secara menyeluruh demi menjaga marwah Mahkamah Konstitusi.(01)









