Omnibuslaw Harapan atau Impian?

Dr. Najab Khan, S.H., M.H/ist

Oleh: Dr. Najab Khan, S.H., M.H.

A. Pendahuluan

Kemenkumham Bali

Kunci mensejahterahkan rakyat bukanlah mengotak-atik atau mengganti produk UU yang sudah berlaku, yang sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sesuai cluster bidangnya kemudian diputar-putar dan dijadikan satu Undang-Undang. Bukan pula mengganti sistem hukum dengan budaya hukum baru atau bukan pula menukar keadilan dengan kepastian. Cara mensejahterahkan rakyat sebetulnya sederhana, cukup dengan “tidak merekayasa asas kemanfaatan menjadi asas bagi-bagi pendapatan kepada olirgachi”.

Sesungguhnya memakmurkan rakyat itu sama sebanding dengan memberi jalan yang berbatas kepada olirgarchi asing/aseng/olirgarchi Indonesia dalam berinvestasi di Indonesia. Target mensejahterahkan rakyat sebenarnya tidak sulit, cukup perbaiki saja cluster-cluster UU yang sudah ada sesuai kebutuhan, kemampuan rakyat berdasarkan sistem hukum yang sudah diberlakukan. Sistem hukum (sistem yang tercermin dalam hirarchi peraturan hukum/UU) yang selama ini dikembangkan oleh Negara RI masih meneruskan “Civil Law Sistem” ke dalam politik hukum Negara (bukan Common Law System).

Sistem hukum ini berabad-abad diterapkan di lingkungan masyarakat Indonesia dan dilandaskan pada rujukan peraturan peralihan Pasal 1 UUD 1945. Oleh sebab itu, tidaklah tepat pasal-pasal dalam UU yang pernah diberlakukan sejak kemerdekaan RI, sekarang “tiba-tiba diganti dan disederhanakan” dengan satu UU saja yaitu UU Omnibuslaw (UU Cipta Kerja). Membuat UU Cipta Kerja sebetulnya bertujuan membentuk politik hukum baru dan ingin membuat tradisi budaya hukum baru yang meniru-niru Negara Anglo Saxon (menerapakan Common Law System) dengan cara “menyederhanakan UU yang terkait” tetapi praktiknya justru menyelundupkan kepentingan hukum baru dan memberi kewenangan yang tidak terbatas kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan, mengobrak-abrik substansi pengaturan sistem otonomi daerah. Akhirnya isi pasal-pasal yang disebutkan didalam UU Cipta Kerja menimbulkan masalah dan meresahkan buruh/rakyat.

B. Masalah

ilustrasi

Mengapa Pemerintah, DPR membentuk dan menyederhanakan UU justru tidak sesuai harapan rakyat/buruh dan di sana-sini mengobrak-abrik sistem otonomi daerah dalam cluster investasi dan perizinan ?.

C. Menyederhanakan UU yang tidak sederhana

Menyederhanakan produk hukum (sebanyak 79 produk UU) dalam Civil Law System di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal I Peraturan Peralihan dan Pasal 33 UUD 1945 kedalam satu UU bukanlah hal yang sederhana dan ideal tetapi justru menimbulkan kerumitan tersendiri dan mengoyak rasa keadilan rakyat/buruh. Menyederhanakan tata hukum (UU) yang tidak sederhana selain rumit juga bergesekan dengan sistem hukum maupun politik hukum Negara asing/aseng. Contoh, awalnya sistem penyederhanaan dalam UU Cipta Kerja dipropagandakan “katanya untuk melindungi buruh Indonesia (TKI)” tetapi kenyataannya isi pasalnya semrawut, tidak sinkron dan merugikan hak-hak buruh karena tidak membatasi jenis investasi modus Turnkey Proyect Invesment (TPI).

Sepintas jika diperbandingkan antara isi UU Tenaga Kerja yang lama (tahun 2003) dengan “peraturan investasi asing di Indonesia” dan dikaitkan dengan hasil penyederhanaan didalam isi UU Cipta Kerja “justru tidak mencerminkan obat mensejahterahkan rakyat” dan tidak pula bertujuan menyelesaikan soal pengangguran. Kurang lebih ada 79 UU lama yang disederhanakan kedalam UU Cipta Kerja tetapi semua penyederhanaan yang disebutkan didalam UU Cipta Kerja mendapat penolakan keras dari masyarakat, buruh/rakyat Indonesia. Penolakan rakyat, buruh terhadap UU Cipta Kerja bukan karena antar UU yang lama tidak sinkron atau tidak harmoni tetapi buruh, rakyat melihat ada alasan/agenda lain yang tersembunyi dalam menyederhanakan 79 UU yang lama.

ilustrasi

Kelihatannya 79 UU yang lama “dipaksa harus disederhanakan” dan dicari-cari alasan seolah-olah sebagai UU yang tidak mensejahterakan rakyat padahal dibalik pemaksaan pembentukan UU Cipta Kerja tersebut sebetulnya ada agenda busuk dari oligarchi yang ingin menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan buruh atau rakyat Indonesia. Premise ini membuka tabir dan menguak fakta bahwa ternyata pembuatan UU Cipta Kerja memang dilakukan serba cepat, tidak transparan (sembunyi-sembunyi) dan kuat dugaan ada agenda terselubung dari para oligarki yang membahayakan rakyat maupun menggerogoti kedaulatan Negara RI.

D. Melemahkan Ketahanan Negara/Rakyat

Kondisi isi UU Cipta Kerja yang disahkan DPR jika dibiarkan menggelinding liar tanpa kendali dan diberlakukan terhadap buruh/rakyat Indonesia maka justru melemahkan ketahanan Negara/rakyat dan tidak sesuai dengan amanat konstitusi Negara RI karena isi pasal yang diatur didalam UU Cipta Kerja menggantungkan pada satu tangan kekuasaan yaitu presiden selaku kepala pemerintahan didalam menyeleraskan kebutuhan investasi para investor asing/lokal melalui peraturan pemerintah. Kedaulatan Negara/rakyat Indonesia benar-benar diuji dan sedang digiring oleh para oligarchi untuk dilemahkan dan dibuat serba tidak pasti yang targetnya ingin mengubah politik hukum Negara dan memasukan investasi asing/aseng tanpa kendali/tanpa batas.

ilustrasi

“Kenyataan demikian dibaca rakyat sebagai “suatu impian oligarki” yang tujuannya menimbulkan ketidakpastian serta “merobek harapan buruh/rakyat sejahtera” sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.

Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, sistem perangkat hukum di Indonesia berubah karena digerus oleh agenda kepentingan investasi perusahaan aseng/asing (oligarki) yang ingin berinvestasi di Indonesia. Tujuannya bukan hendak mensejahterakan rakyat Indonesia tetapi mau memperkerjakan rakyat asing/aseng karena merasa berinvestasi di Indonesia. Struktur hukum, sistem hukum, dan politik hukum negara yang sudah terbangun sejak Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal I aturan peralihan UUD 1945 jelas akan berubah dan bahkan mengkaburkan landasan historikalnya.

BACA JUGA  Menyoal "Perikemayitan" Fatwa MUI

Pasal I Peraturan Peralihan UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Mengacu pada Pasal I aturan peralihan UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 ternyata sistem pembentukan UU Cipta Kerja yang baru disetujui oleh DPR tidak ada rujukan hirarkhi pembentukannya padahal syarat utama “sebuah UU itu terbentuk” dan mempunyai daya keberlakuan (efficacy) jika ia mendasarkan pada hirarki peraturan Perundang-undangan dan melandaskan pada sistematika pembentukan Perundang-undangan.

Pembentukan Peraturan Perundang- undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak mengenal cara pembentukan dengan model penyederhanaan UU yang sudah sinkron, sudah ada yang pernah diuji di MK dan masih berlaku bagi rakyat Indonesia.

E. Cacat Prosedural dan Cacat Substansial

UU Cipta Kerja yang digulirkan Pemerintah secara diam-diam, dibahas sembunyi-sembunyi oleh DPR di masa pandemi Covid-19 dan disetujui DPR tanpa menyertakan draft naskah RUU-nya di sidang pleno DPR ternyata dikritik dan ditolak oleh rakyat. Alasan rakyat menolak karena dua hal:

Pertama, cacat prosedural. Fakta yang terkuak ternyata dilakukan tidak transparan bahkan pada saat sidang pleno wakil rakyat yang sedang berbicara dan menyampaikan pandangannya tiba-tiba microphonennya dimatikan, diganggu, dan dibuat terburu-buru, dan lain-lain.

Menurut penelusuran, kajian maupun pembahasan terhadap RUU Cipta Kerja sejak awal masuk DPR dilakukan tidak transparan, terburu-buru. Intinya untuk menutupi kelemahan pembahasan isi UU Cipta Kerja dan asal cepat jadi.

Kedua, cacat substansial. Ternyata banyak muatan pasal didalam UU Cipta Kerja mengatur dan mengakomodir kepentingan segelintir orang (oligarchi Indonesia, oligarchi Asing/Aseng). Perubahan dan penyederhanaan yang ada di UU Cipta Kerja dikesankan seolah dilakukan oleh rakyat berdaulat untuk kepentingan rakyat padahal substansi pasal RUU Cipta Kerja “didesign dan bergeser” untuk kepentingan oligarchi aseng/asing atau gabungan oligarki Indonesia, akibatnya dapat merusak sendi-sendi tata kelola kehidupan “sumber daya manusia dan sumber daya alam Indonesia”.

Jika pasal-pasal UU Cipta Kerja dibiarkan berlaku maka berpotensi membahayakan ketahanan Negara RI disamping juga tidak melindungi buruh. Bahaya memberlakukan UU Cipta Kerja karena mengandung substansi pasal-pasal yang tidak mengatur larangan model investasi Turnkey Proyect Invesment (TPI) di Indonesia. Bahaya investasi modus TPI ini akan terlihat jelas karena pasal-pasal didalam UU Cipta Kerja tidak membatasi buruh unskill boleh masuk dan bekerja di Indonesia.

Substansi UU Cipta Kerja ini kurang tepat dibuat dan sangat berbahaya bagi tata kehidupan perlindungan buruh dan rakyat Indonesia karena UU Cipta Kerja ini seakan disiapkan untuk tujuan koneksitas investasi jenis One Belt One Road (OBOR) atau sabuk satu jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang wujud praktiknya nanti dilakukan melalui modus investasi TPI. Inti investasi jenis TPI ini adalah jenis investasi yang semua peralatan, bahan, tenaga kerja maupun manajemen berasal dan dikelola investor yang memiliki modus skema TPI dan dihitung dengan kalkulasi hutang investasi.

F. Tiga Draft RUU Cipta Kerja

Kecacatan prosedural dari draft RUU Cipta Kerja yang beredar dan dibaca rakyat Indonesia karena terdapat tiga (3) fakta “jenis draft RUU Cipta Kerja”. Ternyata ada RUU Cipta Kerja yang awalnya di-upload di website DPR berisi 1028 halaman, kemudian berubah menjadi 1052 halaman sehabis selesai pembahasan tanggal 5 Oktober 2020, lalu berubah lagi pada tanggal 13 Oktober 2020 menjadi 1035 halaman dan pada malam harinya tiba-tiba berubah lagi menjadi 812 halaman hasil revisi.

Kecacatan prosedural UU Cipta Kerja lainnya yang dibaca rakyat disebabkan karena tidak sesuai dengan hirarki tata Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011) maupun tidak sesuai dengan UUD 1945.

Kelemahan UU Cipta Kerja sehingga ditolak buruh dan rakyat juga terlihat dari minimnya pengaturan perlindungan hak upah dan hak-hak lain yang merugikan buruh. Tujuan awal UU Cipta Kerja dibuat dan digembar-gemborkan untuk mengakomodir atau menyederhanakan 79 UU agar menjadi satu UU tetapi kenyataannya sifat dan substansi pengaturan isi didalam UU Cipta Kerja tidak sederhana dan bahkan isi pasal-pasalnya masih membuka ruang untuk dibuat UU baru yang lain yang lebih khusus dari UU Cipta Kerja hasil dari penyederhanaan atas 79 UU.

Mestinya membuat regulasi itu disesuaikan per kebutuhan tata kehidupan ekonomi rakyat dan per kebutuhan mengatur lingkungan hidup masyarakat dan kekayaan alamnya sesuai dasar hukum yang diatur didalam UU No. 12 Tahun 2011 dan Pasal 33 UUD 1945.

BACA JUGA  Informed Consent Merupakan Fondasi Tindakan Medis Kah?

Membuat satu UU saja sudah berpotensi menimbulkan disharmoni, apalagi mengotak- atik dan menyederhanakan 79 UU yang lama dan sudah ada yang diuji di MK. Akhirnya yang terjadi bukan UU nya menjadi sederhana, malah substansi UU Cipta Kerja saling kontradiktif satu sama lain dan jauh dari harapan melindungi kebutuhan buruh Indonesia apalagi berharap mensejahterahkan rakyat Indonesia.

Harusnya Pemerintah fokus meneliti, mendiskusikan dan menyempurnakan/menyederhanakan satu UU saja yang sudah diberlakukan dan sudah teruji di MK serta dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat/buruh Indonesia.

Ilustrasi

Jika ternyata ditemukan ada ketidak sempurnaan atau ada ketidak sinkronan dalam satu UU saja maka UU yang tidak sinkron tersebut saja yang wajib disinkronkan (direvisi ) bukan malah dibuat penyederhanaan atas 79 UU dengan menerbitkan satu UU Cipta Kerja yang ternyata isinya justru memberi kewenangan pengaturan berada dalam satu tangan eksekutif (Presiden).

Mestinya Pemerintah Joko Widodo “kerjanya memperbaiki, menyempurnakan dan menyederhanakan per satu (1) UU itu saja yang sekiranya dipandang tidak sinkron jika dikaitkan dengan UU yang lain. Bukan sebaliknya, membongkar 79 UU apalagi UU yang dibongkar tersebut ada yang sudah teruji di MK dan masuk lagi di UU Cipta Kerja. Fakta demikian membuat UU Cipta Kerja menjadi rumit, tidak sederhana serta merugikan buruh maupun rakyat Indonesia.

G. Isi UU Cipta Kerja Turun Kualitasnya

Rakyat membaca isi UU Cipta Kerja terutama pada cluster perlindungan buruh ternyata “lebih turun kwalitasnya” serta tidak ideal menguraikan isi pasal pengaturan perlindungan buruh lokal Indonesia. Setiap investasi asing terutama investasi dari China selalu mensyaratkan investasi modus TPI karena investasi modus demikian merupakan politik hukum negara China. Inti investasi model TPI ini jelas syaratnya yaitu mempekerjakan TKA aseng yang skill maupun unskill sebanyak-banyaknya di Indonesia serta investornya memerlukan bidang tanah yang luas.

Kelemahan dari investasi modus TPI ini jika tidak diatur dan dilarang didalam UU Cipta Kerja berdasarkan kebijakan politik hukum Negara RI, maka mengakibatkan buruh Indonesia terdesak dan tergeser oleh kedatangan sebanyak-banyaknya TKA China yang diikat dalam perjanjian investasi modus TPI. Demikian juga tanah milik rakyat/Negara yang dibutuhkan untuk proyek pengembangan investasi akan menjadi tidak terlindungi secara maksimal oleh negara berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan bisa kapan saja diambil oleh investor dengan alasan macam-macam, antara lain alasan untuk kepentingan proyek (lapangan kerja TKA) di Indonesia, atau karena alasan negara RI/perusahaan Indonesia berhutang dan gagal bayar.

Belum lagi jika terjadi rekayasa alasan dan patgulipat tiba-tiba konsesi tanah untuk proyek diambil menjadi miliknya investor China yang berinvestasi dan bersembunyi dibalik UU Cipta Kerja.

Premise demikian juga membuktikan UU Cipta Kerja tidak sederhana dan rentan melemahkan ketahanan Negara Republik Indonesia. Bila diperbandingkan dengan UU No. 13 Tahun 2003, jelas UU Tahun 2003 ini masih lebih baik kualitasnya karena membatasi jenis buruh aseng/asing (TKA ) yang dapat bekerja di Indonesia yaitu hanya TKA-TKA yang skill saja yang boleh bekerja di Indonesia sedangkan TKA-TKA unskill tidak bisa bekerja di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 45, Pasal 46 UU No. 13 Tahun 2003.

Berbeda dengan isi UU Cipta Kerja cluster tenaga kerja ternyata diatur terbalik posisinya dan isi UU nya membuka lebar-lebar TKA aseng berbondong-bondong masuk Indonesia dan menggeser peran, hak-hak/kedudukan buruh Indonesia (TKI). Substansi yang diatur dalam UU Cipta Kerja khususnya yang mengatur mengenai “permohonan rencana penggunaan TKA kepada Menteri Tenaga Kerja” juga menjadi pasal pengaturan yang sia-sia dan Menteri Tenaga Kerja sendiri pun tidak dapat menolak TKA yang datang akibat legalitas investasi modus TPI yang tidak mendapat pengaturan dan pelarangan didalam UU Cipta Kerja.

H. Jika Pembuat Undang-Undang Cerdas

Jika pembuat UU (Pemerintah + DPR) cerdas dan mampu membaca kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan serta ingin melindungi buruh (TKI) maka pindahkan saja isi kalimat dalam UU yang lama yang sudah jelas mengatur pembatasan tentang TKA-TKA skill saja yang boleh bekerja di Indonesia. Substansi pasal tentang syarat permohonan TKA kepada menteri tenaga kerja yang tercantum dalam UU Cipta Kerja ternyata menjadi pasal pengaturan yang tidak ada artinya karena sudah ada pengikatan terlebih dahulu oleh investor asing/aseng dengan mencantumkan “syarat kewajiban investasi modus TPI di Indonesia di dalam setiap agreement nya”.

Jika Menteri Tenaga Kerja menolak buruh asing yang akan bekerja di Indonesia, maka Menteri Tenaga Kerja dan mitra investor Indonesia akan dianggap melanggar agreement-agreement investasi maupun melanggar UU investasi yang tercantum dalam UU Cipta Kerja. Masa depan adalah milik mereka yang mampu melihat kemungkinan-kemungkinan kedepan.

BACA JUGA  Ditandatangani Jokowi, UU Cipta Kerja Resmi Diundangkan

Dari uraian tersebut diatas, jelas “UU Cipta Kerja kwalitas nya lebih buruk dari isi aturan didalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Tenaga kerja”, karena tidak ada pengaturan pasal pembatasan bagi TKA aseng yang tidak skill bekerja di Indonesia. Pasal-pasal didalam UU Cipta Kerja dinilai oleh banyak kalangan “tidak melindungi tenaga kerja Indonesia” dan dipandang pula lebih melindungi TKA aseng.

Belum lagi soal-soal cluster yang lain seperti cluster perlindungan terhadap investasi pertambangan, terhadap konsensi tanah, terhadap investasi Sumber Daya Alam (SDA), investasi infrastruktur dan atau cluster otonomi daerah, cluster perpajakan, dan lain-lain.

Banyak kalangan birokrasi termasuk Presiden RI (menteri-menteri terkait) dan DPR tidak menguasai seluk beluk materi pengaturan investasi berdasarkan UU yang lama yang sudah baik dikaitkan dengan UU Perlindungan Buruh. Kelemahan lain yang dibaca rakyat atau buruh dalam soal penyederhanaan 79 UU menjadi UU Cipta Kerja adalah dengan mempercepat UU Cipta Kerja agar disetujui DPR, buktinya presiden menerbitkan surat tertanggal 7 Februari 2020 No.R-06/Pres/02/2020, tujuannya agar UU Cipta Kerja segera diberlakukan walaupun pada situasi rakyat sedang berjuang mengatasi pandemi Covid-19.

Ilustrasi Investasi

Teorinya UU Cipta Kerja di design dan ingin diterbitkan agar menarik investasi, meningkatkan daya saing, memberi kemudahan orang asing berbisnis di Indonesia, menciptakan lapangan kerja, mensejahterakan rakyat tetapi kenyataannya isi pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja justru membuka kembali pembuatan produk UU baru maupun pembuatan PP yang lebih banyak lagi dari 79 UU yang disederhanakan.

Untuk mensejahterakan rakyat atau untuk mencapai gambaran tujuan tersebut diatas sebenarnya “tidak harus membuat dan menerbitkan UU Cipta Kerja” melainkan seharusnya produk UU (79 UU) yang sudah diberlakukan, sudah ada yang diuji di MK tinggal direvisi, diperbaiki, disempurnakan dan disederhanakan satu persatu yang belum sederhana di dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

Demikian pula jika tujuannya ingin mensejahterakan rakyat Indonesia, cukup pemerintah “menekan angka korupsi di semua lini bidang perizinan” termasuk perizinan konsensi tanah, konsensi pertambangan dan atau hak-hak konsensi lain yang beririsan dengan soal investasi. Sebaliknya jika rakyat memenuhi syarat berinvestasi atau rakyat mampu mengelola kekayaan alam Indonesia, permudah dan berikan saja dengan hak sewa yang terbatas agar tidak dijual/dialihkan ke investor asing dan agar dapat dievaluasi pemanfaatannya untuk sebesar-besar kepentingan rakyat Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 1945.

UU Cipta Kerja tidak dapat dipaksakan pengesahannya oleh presiden karena selain cacat prosedural dan cacat substansial juga berefek pada perubahan politik hukum Negara RI dan menganggu ketahanan rakyat maupun ketahanan Negara RI. Buruh dan hak-hak buruh Indonesia akan tertekan selamanya, tidak ada kepastian perlindungan “alias berpotensi jadi jongos di negerinya sendiri karena terdesak oleh TKA-TKA aseng yang tidak ahli tetapi bekerja di Indonesia dan tidak dibatasi oleh UU Cipta Kerja.

Simpulan :

  1. UU Cipta Kerja yang baru saja disetujui DPR cacat formal (prosedural), cacat substansial, oleh karenanya “jika tidak segera dibatalkan oleh presiden dengan cara menerbitkan PERPU atau ditolak atau dianulir oleh presiden sesuai kewenangannya, maka UU Cipta Kerja hanya impian belaka dan bukan harapan buruh/rakyat Indonesia serta tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
  2. Dalam UU Cipta Kerja “tidak ada pengaturan pelarangan maupun pembatasan soal investasi modus TPI, termasuk tidak membatasi TKA China yang unskill bekerja di Indonesia” sehingga efeknya peran dan kedudukan buruh Indonesia tidak terlindungi dalam segala dimensinya.
  3. Melalui UU Cipta Kerja yang kondisinya demikian sebetulnya ingin memuluskan proyek OBOR (BRI) di wilayah NKRI dan efek negatifnya TKA-TKA aseng bersama-sama rakyat China “akan berbondong-bondong masuk dan bekerja di Indonesia” tanpa kontrol, dan ujung-ujungnya dapat melemahkan ketahanan Negara Republik Indonesia.

Saran :

  1. Batalkan UU Cipta Kerja baik melalui PERPU, atau melalui kewenangan yang dimiliki presiden atau melalui MK atau melalui cara-cara konstitusional lainnya seperti demonstrasi terus menerus sampai tujuan berhasil.
  2. Perbaiki dan sempurnakan saja pasal-pasal yang ada di dalam UU Tenaga Kerja No.13 Tahun 2003 jika dipandang oleh pemerintah ada yang tidak sinkron dengan pengaturan investasi di Indonesia.
  3. Buat UU baru khusus mengenai investasi dan isinya “wajib” melarang jenis investasi modus Turnkey Proyect Invesment (TPI).

Tinggalkan Balasan