Hemmen

“Catatan Kritis” Kelemahan Regulasi Pandemi Covid-19

Dr. Najab Khan, SH., MH

Oleh: Dr. Najab Khan, SH., MH

A. Pendahuluan

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Beberapa pasal terkait pengaturan UU No:4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Pelaksananya ternyata tidak saling padu. Ada pihak memandang ketidakpaduan pasal yang dibuat dalam regulasi tersebut sebagai suatu langkah khusus yang memang dimaksudkan untuk mengutamakan “sisi kemanfaatan” daripada “sisi keadilan dan kepastian”. Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul “Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum”, telah mengutip pandangan Gustav Radburch bahwa hukum itu bertumpu pada tiga nilai dasar yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Satjipto Rahadjo menyebutkan lebih lanjut, kendati pun ketiganya selalu ada dan mendasari kehidupan hukum, tidak berarti ketiganya selalu hidup harmonis. Ketiganya lebih sering berada dalam suasana hubungan tegang satu sama lain. Berangkat dari pandangan demikian, jelas nilai dasar dalam hukum menggambarkan bagaimana hukum positif bekerja, terutama hukum positif yang mengatur kepentingan manusia dalam masyarakat.

Keberadaan hukum positif digambarkan oleh penguasa sebagai jalan aturan main yang wajib dita’ati semua pihak meskipun aturan main tidak adil, tidak pasti dan isi pengaturannya tidak padu atau tidak jelas keberpihakannya. Sudah lama Indonesia memiliki UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU ini tidak pernah direvisi walaupun semua orang tahu di era global tidak ada satu negara pun yang akan aman terhadap ancaman wabah penyakit menular. Awalnya UU ini merupakan satu-satunya UU yang diharapkan menjadi landasan alat pukul agar wabah penyakit menular (Covid-19) dapat teratasi.

UU ini juga diharapkan memberi payung hukum dan sekaligus diarahkan mengatur agar petugas-petugas terkait penanganan wabah Covid-19 dapat mempercepat penanganan wabah yang semakin hari semakin tak terkendali. Untuk menyiasati harapan percepatan penanganan atau pencegahan wabah (Covid-19 ) tersebut, penguasa (rezim) membuat skala prioritas sambil mengancam semua pihak yang tidak mau mengikuti vaksin Covid-19 melalui Peraturan Presiden, Keputusan Presiden maupun intruksiinstruksi dari pejabat tertentu walaupun isi ancamannya tidak terkait langsung dengan penanganan wabah Covid-19.

Pengaturan percepatan regulasi dalam musim wabah (Pandemi Covid-19) yang berisi tekan menekan, ancam mengancam seperti demikian meskipun dipandang tidak buruk oleh sebagian orang tetapi isi regulasi yang diterbitkan seharusnya wajib memperhatikan prinsip-prinsip hukum, asas-asas hukum, nilai dasar dalam hukum serta wajib terukur sesuai situasi kondisi vaksin yang diadakan dan diaturnya.

Pilihan langkah dalam membuat Peraturan Presiden seakan memberi pesan agar “regulasi tersebut wajib diberlakukan terhadap siapa saja”, sehingga diharapkan semua pihak tidak main-main dengan wabah penyakit menular (Covid-19), karena dapat mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Jika diperhatikan, turunan regulasi (turunan UU No.4 Tahun 1984) yang telah diterbitkan Pemerintah meskipun diharapkan dapat mengatur lalu lintas pencegahan wabah Covid-19 sebagai jalan pilihan satu-satunya untuk melindungi masyarakat dan atau untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar hidup sehat “ternyata yang terjadi sebaliknya”. Isi pengaturan UU wabah penyakit menular atau Peraturan Pelaksananya ternyata dinilai tidak memperhitungkan atau tidak melihat situasi dan kondisi produk vaksin yang diadakan baik dari sisi kualitas vaksinnya maupun dari sisi jumlah vaksin Covid-19 yang masih dipertanyakan dan terbatas.

Melihat fakta demikian, masyarakat mencatat, pengaturan pelaksana penanganan wabah Covid-19 memang perlu diterbitkan namun isi regulai yang diterbitkan hendaknya diharap tidak penuh masalah dan tepat sasaran kebijakannya.

B. Masalah

Apakah regulasi yang kita miliki sudah cukup efektif mencegah, menangani, mengawasi, melindungi masyarakat dari merebaknya wabah penyakit Covid-19 dan bagaimana pula model pertanggungjawaban hukumnya?.

C. Regulasi Pandemi Covid-19 dalam sorotan masyarakat

Masyarakat hukum kesehatan Indonesia umumnya menyambut baik regulasi yang ada, utamanya terkait regulasi wabah penyakit menular. Regulasi yang masih berlaku dan terkait langsung dengan pengaturan wabah penyakit menular adalah UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, tanggal 22 Juni 1984; PP No. 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, tanggal 3 Juli 1991, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tanggal 26 April 2007, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tanggal 8 Agustus 2018, UU No. 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, tanggal 31 Maret 2020, Peraturan Presiden No. 108 tahun 2020, Peraturan Presiden No.14 tahun 2021, Instruksi Mendagri No.3 tahun 2021.

Sedangkan yang tidak terkait langsung dengan persoalan wabah penyakit menular (Pandemi Covid-19), tetapi saling erat hubungannya antara lain berlakunya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tanggal 3 Oktober 2009, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tanggal 28 Oktober 2009, UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, tanggal 17 Oktober 2014, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tanggal 6 Oktober 2004.

Melihat gambaran regulasi penanganan wabah penyakit menular yang ada, Pemerintah Joko Widodo gigih menerbitkan peraturan turunannya. Tujuannya agar regulasi yang sudah ada maupun yang baru dibuat terkait Pandemi Covid-19 dapat diberlakukan efektif serta isi pengaturannya pun diharap dapat mempercepat memberi manfaat kepada masyarakat baik pada masyarakat yang terpapar maupun yang tidak terpapar Pandemi Covid-19. Namun apa yang terjadi ? ternyata masyarakat mulai semakin kritis, cerdas dan justru memandang UU yang sudah ada maupun peraturan pelaksana yang dibuat dan diberlakukan sejak tahun 2020 tidak dipandang efektif serta mengandung banyak kelemahan.

Masyarakat hukum kesehatan maupun masyarakat ekonomi kecil, ekonomi menengah dan ekonomi atas “memandang strategi maupun kebijakan penerbitan regulasi terkait wabah Pandemi Covid-19” yang dibuat Pemerintah disoroti sebagai regulasi yang kurang bijak serta diduga dipengaruhi oleh intrik-intrik bisnis dan politik yang tidak bertanggung jawab serta dinilai tidak adil, lebih memanfaatkan situasi wabah. Masyarakat juga menyoroti jalan kebijakan yang ditempuh Pemerintah melalui pengaturan vaksinasi atas bahan vaksin Covid-19 yang tidak diproduksi sendiri oleh bangsa Indonesia justru dipandangnya sebagai jalan kebijakan yang lemah. Sehingga melahirkan produk regulasi yang tidak padu dan lebih menguntungkan kepentingan bisnis maupun kepentingan politik golongan/pihak-pihak tertentu. Cara menguntungkan pihak lain misalnya melalui trik penunjukan pengadaan bahan vaksin Covid-19 terhadap orang/kelompok tertentu, membuat dan menyelenggarakan Pilkada yang seadanya dan asal terselenggara.

Trik-trik lain, mestinya tahun 2020 Pemerintah fokus membuat dan menerbitkan regulasi UU terkait Pandemi Covid-19 saja, bukan mendorong menerbitkan UU yang lain (seperti UU Omnibuslaw) yang tidak ada relevansinya dengan persoalan wabah penyakit menular. Pembuatan UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) atau pengajuan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dipaksakan dalam musim wabah Pandemi Covid19 juga menjadi sorotan dan penilaian rakyat. Pembuatan UU Omnibuslaw atau rencana pembuatan UU HIP yang kontroversial, dipaksakan dan tidak sesuai dengan lima sila dalam Pancasila (kesepakatan bangsa/rakyat Indonesia) justru menciptakan kerumunan dan dipandang sebagai langkah upaya membuat kebijakan regulasi yang tidak bijak.

D. Regulasi tidak padu dan tidak antisipatif

Memang awalnya arah kebijakan membuat regulasi tentang percepatan penanganan Covid-19 di desain melalui cara menerbitkan Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden. Tujuannya untuk mempercepat penanganan wabah Pandemi Covid-19, tetapi ternyata isi maupun sifat pengaturan kebijakannya tidak sesuai dengan asas hukum, prinsip hukum maupun nilai dasar dalam hukum serta memiliki ekses menguntungkan pihak-pihak tertentu dan memperlambat penanganan wabah Covid-19. Dalam beberapa kajian terdapat isi Peraturan Presiden yang tidak padu dengan peraturan diatasnya maupun dengan peraturan setingkat atau yang lebih rendah.

Eksesnya, produk regulasi yang diterbitkan serta diberlakukan untuk tujuan mempercepat penanganan wabah Covid-19 justru akhirnya dipertanyakan masyarakat, dipandang tidak antisipatif dan penuh masalah.

E. Bentuk kegiatan layanan kesehatan dan perbandingannya

Jika diperhatikan, produk hukum yang ada dapat dibagi dalam dua bagian bentuk kegiatan upaya layanan kesehatan pada tabel 1.

Tujuannya: untuk mengobati, mencegah penyakit, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Dari gambaran bentuk kegiatan upaya layanan kesehatan pada tabel 1 tercermin pula
gambaran mengenai kedudukan maupun perbandingannya sebagaimana tergambar dalam
tabel 2 :

Walaupun kedua bentuk layanan kesehatan tersebut dapat diperbandingkan perbedaan maupun persamaannya, namun kedua bentuk layanan ini saling terkait dan berhubungan satu sama lain, terutama terkait dengan soal peningkatan kemampuan pembangunan SDM tenaga kesehatan. Sepintas kedua bentuk kegiatan layanan kesehatan berbeda. Tetapi sesungguhnya keduanya memiliki tujuan dan target yang sama yaitu bagaimana mencegah atau mengobati penyakit yang ada baik berupa wabah atau non wabah penyakit menular agar masyarakat memiliki kemampuan hidup sehat. Sebetulnya pelaksanaan regulasi penanganan wabah Covid-19 dibuat dan diberlakukan untuk semata-mata bertujuan menguatkan landasan regulasi yang sudah ada sebagai cermin Indonesia merupakan Negara hukum bukan Negara kekuasaan.

Sebaliknya jika ternyata ada regulasi dibuat atau diberlakukan saling bertentangan, tidak padu serta mengandung kelemahan maka tugas masyarakat memberi masukan pada “regulator” agar regulasi yang diterbitkan tidak saling bertolak belakang. Masyarakat hukum kesehatan utamanya dalam sistem Negara hukum berkewajiban mengkritisi semua bentuk kelemahan regulasi bidang kesehatan agar fungsi dan peran tenaga kesehatan tidak menjadi tumpuan objek yang disalah-salahkan oleh penerima layanan kesehatan.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan