Oleh : Dr. Najab Khan, S.H., M.H.
Akhir-akhir ini berkembang berita negatif di beberapa daerah yang menyebutkan pasien meninggal dunia karena diduga terpapar Covid-19 ternyata dicurigai tidak benar oleh masyarakat (keluarga pasien). Kecurigaan masyarakat cukup beralasan, karena vaksin/obat Pandemi Covid-19 memang belum ditemukan dan alat rapid test atau PCR Swab pun banyak diberitakan tidak akurat dan palsu. Masyarakat juga terpengaruh informasi yang menyebutkan alat rapid test dan PCR Swab buatan China yang diimport oleh Spanyol, Belanda dan Inggris akhirnya dikembalikan lagi ke China karena diduga tidak akurat.
Fakta demikian, turut membawa dampak kecurigaan masyarakat pada buruknya penanganan penyebaran Covid-19 sehingga pasien yang meninggal dunia pun ada yang diambil paksa dari rumah sakit dan dibawa pulang (peristiwa di Makasar, Bekasi dan Blora). Tragisnya masyarakat di beberapa tempat seperti di Cileungsi, pedagang di Tanah Abang Jakarta Pusat, di Kelapa Gading Jakarta Utara menolak dan tidak mau ditest menggunakan alat rapid test (PCR Swab). Alasannya macam-macam, antara lain tidak tepat waktunya, ada yang menyebut alat testnya tidak akurat dan ada pula yang beralasan sebetulnya teman mereka sehat wal’afiat, tetapi oleh petugas dinyatakan terpapar Covid-19.
Fakta lain yang sulit dibantah, ternyata Pemerintah sampai hari ini belum juga memberi rekomendasi yang pasti bagaimana mencegah atau mengobati penyakit yang disebabkan Covid-19. Mereka (masyarakat) yang terinfeksi virus Covid-19 hanya diharuskan menerima perawatan saja untuk meredakan atau mengobati gejala, dan yang sakit serius pun “hanya diharuskan dibawa ke rumah sakit” tanpa kejelasan mau diberi obat/vaksin apa sehingga menimbulkan pertanyaan yang tidak pernah terjawab dengan baik.
Masalah :
Bagaimana cara efektif melindungi masyarakat (pasien) dan bagaimana cara mengatasi penyebaran Virus Covid-19 ditengah-tengah belum ditemukannya obat/vaksin Covid-19 ?.
Menyepelekan penyebaran Covid-19
Dibeberapa wilayah Indonesia memang sedang menghadapi banyak masalah terkait penyebaran Pandemi Covid-19. Entah dari mana asal sumber penyebaran virusnya, apakah disebar oleh orang (WNI) yang keluar masuk Indonesia atau oleh orang asing yang sedang berkunjung ke Indonesia atau dari sumber penyebaran binatang ke manusia tidak pernah terungkap jelas.
Pemerintah RI, mitra kerjasama Internasional, pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat masih disibukkan langkah-langkah pengendalian gejala wabah dan belum sampai pada tataran pengendalian penggunaan vaksin.
Sebagai bagian masyarakat dunia, Pemerintah Indonesia disamping memiliki kewajiban juga mempunyai tanggung jawab untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang semua orang tahu telah meresahkan dunia (Public Health Emergency of International Concern). Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah “membuat regulasi”, sebetulnya sudah diamanatkan oleh Regulasi Internasional di bidang kesehatan sejak tahun 2005 (International Health Regulation/IHR tahun 2005).
Dalam melaksanakan amanat regulasi Internasional, Pemerintah Indonesia harus menghormati sepenuhnya harkat-martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan menerapkannya harus bersifat universal.
Memang awalnya agak disayangkan perilaku pejabat otoritas Pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan langkah antisipatif penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19, bahkan ada yang menilai terlambat penanganannya. Beberapa pejabat pemerintah terlalu menyepelekan penyebaran wabah Covid-19 (misalnya Menteri Kesehatan memberi penjelasan “nanti sembuh-sembuh sendiri”), padahal faktanya banyak terjadi korban meninggal dunia. Catatan terakhir korban Covid-19, terkonfirmasi (positif) sejumlah 42.762, korban meninggal dunia sejumlah 2.339 dan korban sembuh sejumlah 16.768. (TVRI tanggal 19 Juni 2020).
Langkah Kebijakan Pemerintah
Dilihat dari sisi fakta, sampai saat ini sulit mengetahui sebab-sebab terjadinya Pandemi Covid-19 dan bahkan kapan atau berapa lamakah Covid-19 akan hilang dari wilayah Indonesia juga masih menjadi teka teki. Tidak ada satu pihak pun mengetahui dengan pasti kapan muncul dan berakhirnya Pandemi Covid-19 di Indonesia, termasuk dunia medis pun masih sibuk melakukan penelitian serta tidak jarang terjadi silang pendapat dalam mengatasi penyebaran Covid-19. Tajamnya perbedaan pendapat tentang gejala maupun penyebaran wabah Covid-19 membuat kebijakan antisipasi yang dilakukan Pemerintah (Otoritas Covid-19) menjadi carut marut, tidak terkoordinir dengan baik dan merugikan masyarakat (pasien).
Ada negara yang mengambil langkah kebijakan “lockdown” untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran Pandemi Covid-19 seperti yang dicontohkan Kota Wuhan, Beijing (China dalam periode ke-2 penyebaran Covid-19) atau Rusia, Vietnam, tetapi ada pula negara yang melakukan kebijakan “Social Distancing” (Physical Distancing) seperti Indonesia, Amerika, dan lain-lain sebagai pilihan langkah strategis dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Argumen pilihan kebijakan tersebut sama-sama beralasan, namun Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mengeluarkan dan menetapkan kebijakan social distancing sebagai pilihan penanganannya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tanggal 31 Maret 2020.
Daerah tercepat yang merespon kebijakan Pemerintah Pusat adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang PSBB di Wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tanggal 07 April 2020 dan melalui Peraturan-peraturan yang diterbitkan Gubernur DKI.
Langkah kebijakan PSBB yang diambil pemerintah semata-mata bertujuan untuk memperhatikan dua aspek pokok kehidupan masyarakat.
Pertama, aspek ekonomi, aspek ini dipandang paling penting oleh pemerintah agar supaya dunia usaha tetap bergerak walaupun terbatas.
Kedua, aspek kesehatan masyarakat, aspek ini juga dipandang penting agar kesehatan masyarakat tetap terjaga walaupun sebagian pihak menganggap kesehatan masyarakat rentan terganggu karena masyarakat diberi kelonggaran keluar rumah dan bertemu dengan banyak orang termasuk kelonggaran terhadap orang asing yang masuk Indonesia dan bisa saja menularkan virus.
Memang sulit mengukur tingkat keberhasilan atau efektifitas dari dua pilihan kebijakan tersebut karena yang satu titik berat fokusnya ada pada aspek ekonomi (dunia usaha) yang maksud dan tujuannya agar masyarakat dapat beraktifitas mencari nafkah. Sedangkan yang lainnya fokus menjaga aspek kesehatan masyarakat.
Mereka yang memilih tidak keluar rumah beranggapan, bila kesehatan terjaga maka aspek ekonomi mudah diraih dan sebaliknya jika faktor kesehatan buruk (masyarakat terpapar Covid-19) maka aspek ekonomi masyarakat hanya menjadi angan-angan belaka. Pertanyaannya sekarang, bagaimana pemerintah melindungi masyarakat (pasien) di tengah-tengah vaksin Covid-19 yang belum ditemukan.
Perlindungan Hukum Masyarakat (Pasien)
Banyak ahli biomedik ataupun ahli lain mempelajari, menyusun catatan dan meneliti gejala Covid-19 maupun obat/vaksin penangkalnya. Hingga hari ini catatan tentang gejala Covid-19 masih kontroversi, obat atau vaksin untuk mengobati pasien masih sebatas wacana dan sedang diuji ke publik. Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara lain juga menghadapi permasalahan yang sama dan tidak juga memberi jawaban yang pasti.
Selama belum efektif, belum efisien cara mengantisipasi penyebaran Covid-19, maka selama itu pula pemerintah (Kepala Pemerintahan) dari suatu negara yang terpapar Pandemi Covid-19 akan menuai kritik dan dipersoalkan kemampuannya. Satu di antara banyak masalah yang dipertanyakan antara lain soal cara efektif melindungi masyarakat (pasien) dan cara efisien mengatasi penyebaran Covid-19.
Selama ini banyak pihak menulis, mengupas dan merekomendasikan cara-cara efektif mengatasi penyebaran Covid-19, tetapi hanya pada sisi tataran antisipasi terhadap “gejala luarnya saja”. Seperti masyarakat diwajibkan rajin mencuci tangan, menggunakan masker dengan benar, menjaga imunitas tubuh (daya tahan tubuh), menerapkan physical distancing, membersihkan rumah dan melakukan disinfektan secara rutin, memperhatikan etika batuk dan bersin, menghindari perkumpulan sosial, menghindari menyentuh wajah, menghindari menyentuh barang pribadi, rajin membersihkan perabotan di sekitar lingkungannya, dan lain-lain.
Sedangkan pada sisi tataran menanggulangi “gejala didalam penyakit akibat Covid-19” tidak dikupas dan tidak direkomendasikan apa-apa sehingga masyarakat (pasien) tidak terlindungi dan obat atau bantuan kebutuhan pokok masyarakat diberikan seadanya sementara vaksin belum ditemukan.
Sisi penanggulangan “gejala didalam penyakit akibat Covid-19” tidak pernah dijelaskan dan dikontrol perkembangannya oleh pemerintah. Padahal pada sisi ini berpotensi kuat terjadi penyelewengan, baik penyelewengan dana penanggulangan Covid-19 maupun penyelewengan cara kerja petugas. Melalui “stigma pelabelan alasan Covid-19” oleh petugas membuat rakyat seakan hanya disuruh percaya, hanya diminta diam.