Oleh Hendra J Kade
Tulisan ini, seperti terbaca dari judul, betul terkait keabsahan Ketua Dewan Pers saat ini, Ninik Rahayu.
Penulis mencoba mempelajari lebih jauh dan lebih dalam dari sisi hukum. Mempelajari tentang bagaimana tindakan administrasi yang diperlukan begitu Ketua Dewan Pers (alm) Prof. Azyumardi Azra berhalangan tetap.
Hasilnya : Ternyata keabsahan Wakil Ketua Dewan Pers menjadi Ketua Dewan Pers difinitif menggantikan (alm) Prof. Azyumardi Azra yang wafat saat sedang menjabat Ketua Dewan Pers tanggal 18 September 2022 tidak memerlukan tindakan administrasi selevel Berita Acara Rapat Pleno apalagi selevel Surat Keputusan Dewan Pers.
Hal ini sesuai amanat UU Pers dan Statuta Dewan Pers yang berlaku saat itu yaitu Statuta Dewan Pers 2016 (Statuta 2016). Dan juga sesuai dengan contoh ketatanegaraan dalam penggantian yang mengedepankan norma “otomatis digantikan oleh”.
Contoh ketatanegaraan yang penulis maksudkan adalah pergantian Presiden Soeharto yang menyatakan berhenti dari jabatan Presiden tahun 1998 lalu kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Presiden Soeharto diangkat dengan Ketetapan MPR. Dan begitu juga dengan Wakil Presiden Habibie diangkat dengan Ketetapan MPR pula. Bahkan nomer Ketetapan MPR tentang pengangkatan keduanya berbeda.
Namun saat Presiden Soeharto berhenti, fakta historisnya, tidak lagi membutuhkan Ketetapan MPR baru untuk mengangkat dan mengesahkan Wakil Presiden Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto yang berhenti sebelum habis masa jabatannya itu.
Apalagi sidang MPR khusus untuk menetapkan Wapres BJ Habibie menjadi Presiden difinitif, sama sekali tidak diperlukan.
Pun tidak diperlukan memberikan status Pelaksana Tugas (Plt) kepada Wapres BJ Habibie sambil menunggu sidang MPR untuk menetapkan Presiden difinitif, bahkan terpikirkan pun tidak oleh ahli hukum dan politik manapun di republik ini.
Wakil Presiden BJ Habibie hanya perlu mengucapkan Sumpah Jabatan sebagai Presiden, sekali lagi, sama sekali tidak perlu Ketetapan MPR apalagi sampai harus ada Sidang MPR.
Hal ini kenapa bisa terjadi?
Jawabannya sederhana saja dari sisi hukum, karena penggantian Presiden yang berhalangan tetap ditengah jalan oleh Wakil Presiden yang sedang menjabat menganut norma hukum “digantikan otomatis oleh”.
Norma hukum yang sama juga dianut dan diberlakukan Dewan Pers melalui Statuta 2016.
Statuta Dewan Pers itu merupakan operasionalisasi dari UU Pers. Kira-kira sama seperti Peraturan Pemerintah pada UU yang lain yang bersifat generalis.
Sehingga secara hukum, posisi Ketua Dewan Pers pengganti (alm) Prof. Azyumardi Azra hanya dan hanya bisa bisa dijabat oleh Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat secara otomatis dan berlaku seketika itu juga, tidak bisa oleh orang lain atau oleh sebutan lain.
Pengisian posisi Ketua Dewan Pers oleh orang selain oleh Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat adalah benar-benar tidak sah secara hukum, apapun alasan dan argumentasinya.
Termasuk tidak sah pula pengisian posisi Ketua Dewan Pers dengan sebutan lain seperti sebutan Pelaksana Tugas (Plt) sebagai pengisi kekosongan sementara, sekalipun itu diisi oleh Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat.
Kenapa demikian?
Karena norma hukum “otomatis digantikan oleh Wakil Ketua Dewan Pers” masih menjadi satu-satunya norma hukum positif yang sah dan berlaku saat Prof. Azyumardi wafat di Malaysia.
Dan norma hukum itu sangat jelas sehingga tidak memerlukan tafsir lain sama sekali.
Fakta hukumnya adalah Wakil Ketua Dewan Pers yang sedang menjabat saat Prof. Azyumardi wafat adalah bernama Muhamad Agung Dharmajaya.
Setelah ada kepastian dan bukti tak terbantahkan bahwa Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra berhalangan tetap karena wafat, pejabat yang seharusnya melakukan tindakan administratif adalah Sekretaris Sekretariat Dewan Pers, bukan Anggota Dewan Pers.
Sekretaris Sekretariat Dewan Pers hanya perlu pengumuman bahwa Ketua Dewan Pers atas nama Prof. Azyumardi Azra berhalangan tetap karena meninggal dunia saat masih menjabat.
Lalu mengumumkan bahwa Wakil Ketua otomatis menjadi Ketua Dewan Pers sesuai Statuta Dewan Pers yang berlaku.
Pengumuman dibuat oleh Sekretaris Sekretariat Dewan Pers pada kesempatan pertama dan dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Sekretariat Dewan Pers diatas kertas dengan kop Sekretariat Dewan Pers.
Sekali lagi, sama sekali tidak memerlukan Berita Acara rapat pleno Dewan Pers apalagi Surat Keputusan Dewan Pers.
Lantas bagaimana jika tetap dilaksanakan rapat pleno Dewan Pers yang menghasilkan Berita Acara Pleno dan Surat Keputusan yang mana keputusannya bertentangan dengan norma hukum “otomatis dijabat oleh”?.
Faktanya hukumnya, memang dilaksanakan rapat pleno Dewan Pers untuk menetapkan pengganti (alm) Prof. Azyumardi Azra.
Fakta hukumnya, pleno tersebut memang membuat keputusan disaat Statuta 2016 masih berlaku.
Fakta hukumnya, Wakil Ketua Dewan Pers yang berasal dari unsur perusahaan pers itu, Muhamad Agung Dharmajaya, hanya ditetapkan sebagai Plt Ketua Dewan Pers sampai dipilihnya Ketua Dewan Pers difinitif.
Fakta hukumnya, diperlukan waktu sekitar 4 (empat) bulan untuk menetapkan Ketua Dewan Pers difinitif.
Fakta hukumnya, Statuta 2016 diubah dalam kurun waktu 4 (empat) bulan itu menjadi Statuta Dewan Pers 2023 (Statuta 2023) dengan menghilangkan hak unsur wartawan dan unsur perusahaan pers menduduki jabatan Ketua Dewan Pers, hanya unsur tokoh masyarakat yang boleh menjabat Ketua Dewan Pers.
Fakta hukumnya, ketentuan perubahan dalam Statuta 2023 itu bertentangan dengan UU pers, melanggar Hak Azazi Manusia, melanggar hak konstitusional, dan menghilangkan azas kepastian hukum.
Fakta hukumnya, Ninik Rahayu dipilih kemudian sebagai Ketua Dewan Pers menggunakan Statuta 2023 padahal Statuta 2023 itu ditandatangani sendiri oleh Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers.
Fakta-fakta hukum diatas memunculkan pertanyaan hukum.
Jika Statuta 2023 ditandatangani Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers, bukankah itu berarti Ninik Rahayu dipilih sebagai Ketua Dewan Pers sebelum Statuta 2023 itu disahkan?
Kalau Ninik Rahayu sudah menjadi Ketua saat Statuta 2023 disahkan bukankah itu berarti Ninik Rahayu dipilih sebagai Ketua Dewan Pers merujuk kepada Statuta 2016?
Kalau Ninik Rahayu dipilih berdasarkan Statuta 2016, bukankah Ninik Rahayu bukan Wakil Ketua Dewan Pers, lantas kok bisa menggantikan Ketua Dewan Pers yang berhalangan tetap?
Kalau Ninik Rahayu dipilih sebagai Ketua Dewan Pers merujuk kepada Statuta 2023, bukankah saat Ninik Rahayu terpilih sebagai Ketua Dewan Pers Statuta 2023 belum sah karena baru disahkan oleh Ninik Rahayu setelah terpilih sebagai Ketua Dewan Pers?
Fakta-fakta hukum dan pertanyaan-pertanyaan hukum diatas hanya akan membawa kita kepada satu kesimpulan pasti bahwa ketidak absahan Ketua Dewan Pers yang dijabat oleh Ninik Rahayu sangat jelas dan terang benderang secara hukum.
Hal ini sudah pernah penulis tulis secara terperinci dalam sebuah tulisan di salah satu media online dibawah judul : Keabsahan Penetapan Ketua Dewan Pers 2022-2025.
Masyarakat pers Indonesia sebagai pilar ke empat demokrasi seharusnya, selayaknya, menjadi tauladan bagaimana hukum ditegakkan dan bagaimana hukum dihormati. Bukan bagaimana hukum disiasati dan diakali.
Setidaknya itu bisa ditunjukan dengan mentaati norma hukum yang berlaku saat penggantian Ketua Dewan Pers yang wafat. Bukannya berakrobat dengan memainkan hukum bahkan apalagi sampai menciptakan norma hukum akrobatik seperti Statuta 2023.
Jika bukan pers sebagai pilar keempat demokrasi yang memberikan contoh bagaimana melakukan penegakan hukum itu, siapa lagi?
Tulisan ini penulis tulis karena demikian besarnya dampak ketidak absahan Ketua Dewan Pers yang dijabat Ninik Rahayu ini terhadap kepentingan publik, khususnya kepentingan publik pemangku kepentingan langsung maupun tidak langsung Dewan Pers.
Penggunaan APBN yang dikelola Dewan Pers tentu akan sangat sulit dipertanggungjawabkan karena dikelola oleh institusi yang Ketuanya tidak memiliki legitimasi dan keabsahan secara hukum.
Semua dokumen-dokumen yang diterbitkan Dewan Pers tentu dipertanyakan keabsahannya karena ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers yang tidak memiliki keabsahan secara hukum proses pengangkatannya.
Padahal tidak sedikit dokumen-dokumen penting yang memerlukan otorisasi dari Ketua Dewan Pers, seperti dokumen hasil pemeriksaan laporan dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik, dokumen hasil verifikasi perusahaan pers, dokumen hasil UKW, dokumen pembentukan Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers 2024-2028, dan dokumen-dokumen lainya.
Sebuah pertanyaan penutup dari penulis.
Apakah masyarakat pers Indonesia akan membiarkan Dewan Pers dipimpin oleh Ketua Dewan Pers yang tidak memiliki legitimasi hukum yang berasal dari akrobatik permainan norma hukum yang dijabat Ninik Rahayu dengan resiko sedemikan besar dan mengerikan ini?
Tentu, seharusnya, normalnya, logisnya, jawabannya adalah TIDAK.
Ayo benahi Dewan Pers!!!
*Penulis adalah Ketua Bidang Non litigasi LKBPH PWI Pusat.