Jakarta, SudutPandang.id – Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 (Perpres Ekstremisme) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (7/1/2021) lalu.
Praktisi Hukum senior OC Kaligis menilai Perpres No.7 Tahun 2021 adalah langkah tepat mengatasi tindakan makar yang menurutnya dewasa ini makin marak di Indonesia.
Advokat yang juga Akademisi ini pun menuliskan ulasannya soal Perpres No.7 Tahun 2021, melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Berikut isi surat terbuka OC Kaligis yang terima redaksi:
Sukamiskin, Jumat, 22 Januari 2021.
Hal: Menyongsong Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada terorisme.
Kepada Yang Terhormat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Republik Indonesia, Bapak Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan.
Dengan hormat,
Perpres Nomor 7 Tahun 2021 adalah langkah tepat mengatasi tindakan makar yang dewasa ini makin marak dideklarasikan oleh oknum pemimpin radikalis, melalui seruan-seruan kepada rakyat kecil yang tidak paham arti Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berikut ini ulasan saya, baik sebagai Praktisi maupun Akademisi:
1. Di waktu Pemerintahan Kolonial, Belanda meng-undang- kan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di tahun 1918, KUHP tersebut mengatur Pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan kejahatan terhadap ketertiban umum, pasal kejahatan terhadap penguasa umum. Semuanya diatur di Buku kedua: Bab-bab mengenai kejahatan.
2. Sedangkan Bab. XVI mengatur mengenai delik-delik penghinaan-penistaan. Contohnya: Tidak boleh misalnya dalam dakwaan, kaum minoritas dikelompokkan sebagai kafir yang darahnya halal untuk dipenggal. Sering khotbah-khotbah oknum tertentu yang menamakan dirinya Ustadz misalnya pada masa kampanye pemilihan Gubernur era Ahok, kita menyaksikan seruan “Jangan Pilih Kafir”. Jelas seruan semacam itu adalah penistaan yang ditujukan kepada kelompok minoritas, khususnya agama Kristen yang dianut oleh Ahok.
3. Padahal tidak dapat disangkal bahwa di era Reformasi, terdapat dua pemimpin nasional, yang mempraktekkan semangat toleransi, semangat kerukunan beragama. Beliau adalah Presiden Gus Dur. Gus Dur selain adalah tokoh toleransi, beliau juga mendasarkan kepemimpinannya berdasarkan azas Bhinneka Tunggal Ika, demi menjaga keutuhan NKRI. Tokoh lainnya adalah Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin.
Pertama kali dalam sejarah, Pak Joko Widodo – Ma’ruf Amin menunjuk calon tunggal Kapolri beragama Katolik, menyingkirkan issu kafir yang lagi tersebar luas di Indonesia, hasil provokasi oknum-oknum tertentu, yang hendak meng-kotak-kotakkan bangsa Indonesia, sekaligus memecah belah NKRI yang berdasar Bhinneka Tunggal Ika, Kesatuan dalam Perbedaan, Perbedaan dalam Kesatuan.
4. Ketika Bapak Presiden memilih seorang beragama Katolik sebagai Kapolri, DPR-RI setelah mengikuti pemaparan visi dan misi yang disampaikan oleh Jenderal Polisi Lystio Sigit Prabowo, secara aklamasi mereka menyetujui penunjukkan Lystio Sigit Prabowo. Bukti sebagian besar Pemimpin dan Wakil Rakyat Indonesia, sangat menghargai makna Bhinneka Tunggal Ika dalam menjaga keutuhan NKRI.
5. Indonesia adalah Negara Hukum. Itu kata konstitusi. KUHP sebagaimana saya jelaskan di atas adalah aturan pentingnya Pemerintahan yang sah, dijaga dan dibela keutuhannya dalam wadah NKRI.
Pemerintahan Kolonial Belanda pun melalui KUHP secara vertikal mengatur perlindungan hukum terhadap Kepala Negara, Perlindungan Hukum Keamanan Negara dan Perlindungan Hukum terhadap Penguasa Negara.
6. Penurunan baliho oleh Polisi Pamong Praja, yang merupakan bahagian Penguasa Umum, yang tidak ditaati oleh FPI adalah bukti adanya kejahatan jabatan. Mereka dengan sengaja melakukan perlawanan, dengan memasang kembali baliho yang diturunkan Polisi Pamong Praja. Hanya berhasil, ketika Tentara turun tangan. Ini gambaran, bagaimana anarkisnya oknum-oknum yang katanya simpatisan HRS, dengan terang-terangan mengabaikan tindakan Penguasa Umum.
7. Belum lagi seruan-seruan kelompok 212, dan entah nama kelompok apa lagi yang akan diploklamirkan, yang tujuannya mengajak persaudaraan Islam untuk membentuk Pemerintahan berdasar Syariah atau struktur Pemerintahan Khilafah islamiyah dengan dasar hukum syariat Islam. Kelompok ini sudah seharusnya dilibas sejak dini sesuai Perpres Nomor 7 Tahun 2021.
8. Apapun nama kelompok yang akan diproklamirkan harus diadili, selama masih meneruskan perjuangan HRS. Pasti kelompok radikal ini akan tetap memperjuangkan lahirnya Negara Agama melalui revolusi dan makar.
9. Mudah-mudahan intelijen Indonesia dalam hal ini BIN, melibas mereka sejak dini. Jangan lagi dilakukan “pembiaran”, sehingga kelompok ini berkembang biak, memperjuangkan cita-cita makar mereka.
10. Dengan dibubarkannya HTI, FPI, rakyat pun dapat dengan mudah men-indentifikasi siapa=siapa yang sependapat dengan upaya makar, upaya revolusi, upaya mengepung Istana, upaya mendeklarasikan bahwa Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin adalah Pemerintahan Illegal.
11. Beranikah Fadli Zon, Anies Baswedan, Amin Rais dengan terang-terangan mengutuk seruan revolusi atau seruan-seruan menggulingkan pemerintahan yang sah, yang dideklarasikan HRS?. Jawabannya: Pasti tidak. Paling-paling yang mereka lakukan adalah pembelaan terhadap FPI yang dilarang.
12. Untuk identifikasi fakta keberpihakan dan dukungan mereka terhadap HRS yang ingin melakukan revolusi, pengambil alihan kekuasaan, publik pun dengan mudah dapat mengetahui bahwa Fadli Zon, Anies Baswedan, Amin Rais dan kawan-kawan adalah termasuk barisan pendukung gerakan revolusi HRS.
13. Saya yakin bahwa sebahagian besar umat Islam, cinta NKRI berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Bukan sebaliknya mengajak kelompok kecil untuk melakukan revolusi sebagaimana dikumandangkan HRS.
14. Sebenarnya dengan memakai KUHP ciptaan kolonial, semua oknum anarkis, pemecah belah persatuan, sejak dini, bisa dilibas. Bisa dihabisi, sebagaimana dilakukan oleh Presiden Soeharto melalui UU Subversif, UU Nomor 11/PnPs/1963. Dilahirkan di era Pemerintahan Presden Soekarno, dilaksanakan di Pemerintahan Soeharto. Soeharto berhasil membuat Indonesia bebas dari tindakan anarkis. “Pembiaran” sama sekali tidak dilakukan oleh aparat keamanan.