JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Biaya hidup tinggi dan trauma pengasuhan menjadi penyebab gangguan kesehatan mental yang paling banyak dialami di Jakarta, demikian dikemukakan psikolog sekaligus Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (PP HIMPSI), Samanta Elsener, M. Psi.
“Selain itu trauma akibat pengasuhan atau pelecehan, ‘bullying’, biaya hidup tinggi, menjadi ‘sandwitch generation’, hutang, beban sosial juga bisa jadi penyebab,” katanya dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Faktor lainnya, menurut Samanta, jarak rumah ke kantor yang jauh membuat seseorang rentan mengalami masalah fisik sehingga meningkatkan faktor risiko stres, “burnout”, depresi, cemas, hingga performa kerja menurun.
Kendati demikian, menurut dia, sekadar bercerita (talk theraphy) tidak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan gangguan kesehatan mental tersebut.
Sehingga, dia berharap, program yang disediakan pemimpin Jakarta mendatang dapat lebih komprehensif.
Permasalahannya itu adalah kemacetan. “Solusi yang dibutuhkan warga Jakarta adalah bagaimana macet bisa terurai dan kualitas udara Jakarta bisa lebih baik,” katanya.
Sehingga, kata Samanta Elsener, indeks kualitas hidup dan tingkat kebahagiaan masyarakat bisa lebih sejahtera lagi secara psikologis.
Di sisi lain, psikolog klinis Kasandra Putranto juga menyampaikan bahwa depresi dan kecemasan merupakan salah satu primadona masalah kesehatan mental di Jakarta.
“Kalau data riset kesehatan dasar itu sebenarnya ada yang sudah dikeluarkan oleh Kemenkes. Yang jelas memang kecemasan, depresi, masih jadi salah satu primadona masalah kesehatan mental selain gangguan lain, terutama setelah pandemi,” katanya.
Mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap gangguan mental. Dalam data yang sama, Riskesdas 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental emosional.
Selain itu, lebih dari 12 juta orang dalam kelompok usia yang sama mengalami depresi.
Penyebabnya tentu akan sangat beragam. “Mulai dari genetik, pola asuh, tekanan, lingkungan dan lain-lain,” katanya.
Karena itu, kata dia, hal ini yang perlu ada dalam program kerja pemimpin Jakarta kelak. Sehingga diharapkan data riskesdas bisa menjadi lebih baik di tahun depan.
“Yang jelas salah satunya Jakarta adalah penyumbang angka kekerasan seksual, kemudian penyumbang angka adiksi narkoba,” katanya.
Jadi, kata dia, begitu banyak masalah di Jakarta yang harus menjadi perhatian calon pemimpin di depan supaya bisa memusatkan perhatian dalam kebijakan-kebijakannya dan membuat program-program yang memang bermanfaat serta bisa diakses oleh masyarakat. (Ant/02)