Oleh: Dr. Najab Khan, S.H.,M.H.
“Sesuatu yang diawali dari kesalahan, sulit terbangun fondasi kebenaran apalagi berharap keadilan”.
A. Pendahuluan
Makna ungkapan diatas tidak dapat dipandang remeh oleh siapa pun. Makna filosofi ini erat kaitannya dengan makna prinsip pertanggungjawaban hukum dalam proses penegakan hukum. Prinsip pertanggungjawaban hukum beririsan dengan makna prinsip perbuatan salah atau perbuatan benar menurut hukum.
Dalam prinsip penegakan hukum, perbuatan salah/benar dari seorang/lembaga tidak lah dapat dipandang dan diperlakukan secara partial atau berbeda antara satu perbuatan orang/lembaga dengan perbuatan orang/lembaga lainnya. Asas persamaan kedudukan dimata hukum (equliaty before the law principle)” juga merupakan asas/prinsip perwujudan dari makna penegakkan pertanggungjawaban perbuatan salah yang dilakukan seorang/lembaga yang tujuan akhirnya berharap ada keadilan.
Prinsip hukum demikian ditegaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 7 deklarasi Universal hak asasi manusia. Efek diberlakukannya asas/prinsip hukum ini membawa harapan dan menaikan tingkat kepercayaan pada setiap warga negara untuk “tidak merasa khawatir jika memperkarakan sindikasi kekuasaan rezim yang sewenang-wenang”.
Melalui jaminan asas kesetaraan pelayanan dan atau asas kesetaraan perlindungan hukum yang sama adilnya (egalitarianisme hukum) inilah rakyat menggantungkan harapan pada putusan hakim-hakim Yang Mulia sebagai Wakil Tuhan di muka bumi. Fakta dua putusan lembaga peradilan (Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK No.1/PHPU-PRES/XVII/2019, tanggal 24 Juni 2019 dan Putusan Mahkamah Agung atau MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019) merupakan dua fakta putusan hukum yang kedudukannya sama.
Fakta dua putusan ini tidak dapat dipandang yang satu lebih tinggi atau lebih penting dari putusan yang lain, apalagi salah satu putusannya dipandang lebih rendah atau ditafsir-tafsirkan sebagai putusan yang tidak penting. Dua putusan hukum tersebut sama-sama memiliki bobot supremasi hukum yang tinggi, istimewa dan wajib dihormati, dipatuhi oleh seluruh subyek hukum apakah ia berkedudukan sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan atau sebagai Presiden atau Wakil Presiden baik mewakili person pribadinya atau mewakili kelembagaan Kepresidenan. Mengamati dua putusan lembaga peradilan pada dua konteks kasus hukum yang berbeda dalam kaitan yang sama memunculkan beberapa masalah hukum baru dan menimbulkan ragam pendapat atau pandangan yang tidak mudah dinilai efektifitasnya oleh siapa pun.
B. Masalah
Seberapa efektifkah Putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 mempengaruhi Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai presiden dan wakil presiden akibat legalitas pertimbangan penetapan dirinya oleh KPU sudah dibatalkan Mahkamah Agung?.
C. Dua putusan hukum pada konteks berbeda kaitan sama
Dua putusan hukum pada “konteks yang berbeda dalam kaitan sama tetapi methode yang digunakan berbeda” cukup memberi efek positif terhadap proses penegakan hukum yang adil. Upaya menggugat KPU ke Mahkamah Agung merupakan strategi jitu dan sekaligus merupakan langkah hukum yang tepat dari rakyat menghadapi tembok kekuasaan sewenang-wenang. Dua putusan lembaga peradilan dalam kasus hukum ini akan dipandang adil atau sebaliknya akan dianggap tidak adil tentu diserahkan pada penilaian rakyat bukan diserahkan pada penilaian yang berkuasa atau ahli-ahli yang dibayar oleh oligarchi pendukung kekuasaan.
Efek dua putusan hukum ini “akan sama-sama memberi efek peringatan pada sosok seorang yang berkedudukan sebagai presiden dan atau wakil presiden” yang keterpilihannya tidak memuaskan rakyat, dipandang penuh kecurangan yang di-back up KPU. Rakyat menyadari kecurangan yang dilakukan KPU sebagai “upaya sindikasi suatu rezim” yang hanya dapat diatasi oleh hakim-hakim bijaksana dan mulia, atau hanya dapat dinasihati oleh orang-orang bijak dan bukan oleh sembarang orang atau oleh ahli-ahli hukum bayaran yang menggadaikan integritasnya.
Banyak Politikus, pakar hukum terkejut dan malahan dinasihati rakyat agar lebih bijak, lebih berhati-hati menyikapi setiap langkah upaya penegakan hukum yang adil, transparan yang diupayakan rakyat untuk mempertahankan kedaulatan bangsanya.
Fakta upaya hukum rakyat memperkarakan KPU atau memperkarakan Presiden dan Wakil Presiden sekalipun menunjukkan perkembangan positif dan progresif tetapi justru fakta upaya hukum semacam ini merupakan pembuktian rakyat lah pemilik kedaulatan tertinggi. Menyikapi luasnya ilmu pengetahuan hukum (baik pada tataran teori maupun praktik penegakan hukum) akan selalu memenuhi ruang pro dan kontra terhadap efek bekerjanya tiga (3) elemen sistem hukum yaitu Legal Structure, Legal Substance dan Legal Culture.
D. Efektifitas Putusan Mahkamah Agung
Beberapa Pakar Hukum Tata Negara berkomentar, putusan MK seakan dipandang lebih kuat dari putusan institusi peradilan lain. Pandangan pakar demikian seakan mengisyaratkan kedudukan putusan MK lebih tinggi dan segala-galanya dibandingkan dengan putusan lembaga lain (Putusan MA) terkait unsur Legal Structure. Bila ada putusan lembaga peradilan lain seakan dipandang lemah oleh pakar tersebut dan dikatakan tidak membawa pengaruh apa-apa walaupun putusan MA dan putusan MK sebetulnya merupakan putusan yang substansi hukumnya sama, sedangkan yang berbeda hanya konteks perkaranya.
Sebaliknya, ada pula segelintir pakar hukum berpendapat putusan MA merupakan putusan mandiri (stare decesis) serta dikatakan merupakan langkah putusan bijaksana terutama dalam menopang tegaknya hukum dan keadilan di negara yang menganut civil Law system. Baginya semua putusan hakim harus dipandang benar dan tidak dapat direndahkan atau dinilai tidak ada apa-apanya. Prinsip hukum yang menempatkan putusan hakim harus dipandang benar adalah sesuai dengan “prinsip hukum res judicata pro veritate habiture”.
Putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 merupakan langkah putusan efektif dalam upaya membongkar praktik hukum yang curang dan dilindungi oleh sindikasi kekuasaan rezim sewenang-wenang. Putusan MA demikian sebetulnya merupakan bentuk putusan bebas dari campur tangan pihak kekuasaan extra judicial. Putusan MA seperti ini sejatinya merupakan putusan hakim yang efektif dalam menopang proses tegaknya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setiap putusan hakim diharapkan rakyat agar mampu mewujudkan tugas pokoknya yaitu menafsirkan Peraturan/Undang-Undang secara aktual, menciptakan hukum baru, berani melakukan contra legem (menyelisih Undang-Undang atau mengesampingkan peraturan yang dibuat oleh sindikasi kekuasaan rezim yang sewenang-wenang), serta diharap berperan mengadili secara kasuistis bagi kepentingan kedaulatan rakyat.
Putusan MA semacam ini cukup efektif dan perlu terus dikembangkan untuk mengontrol jalannya sistem hukum dan penegakan hukum yang mulai melenceng dipraktikkan oleh sindikasi lembaga hukum (MK) dengan disokong oleh pihak-pihak lembaga non hukum (KPU, Bawaslu) yang korup. Putusan MA demikian juga efektif dalam menyadarkan ahli-ahli hukum agar tidak memandang putusan MK adalah putusan yang absolut dan segala-galanya.
MK walaupun memiliki tugas dan kewenangan mengadili atau memutus soal sengketa ada-tidaknya kecurangan perhitungan surat suara hasil pemilu tetapi sifat putusan MK sendiri sebenarnya tidak absolut jika berhadapan dengan praktik hukum yang tidak adil sebagaimana ungkapan filosofis diatas. Hasil hitung KPU yang tidak memuaskan rakyat dan tidak mencerminkan hasil hitung surat suara yang benar apalagi penetapan pleno nya dilakukan tengah malam saat rakyat sedang tidur lelap merupakan indikasi kecurangan yang lepas dari pertimbangan MK.
Kesalahan hitung dari KPU sudah diterangkan oleh saksi ahli dari KPU dan fakta modus kecurangannya pun sudah diperagakan dan dijelaskan oleh saksi-saksi lain yang hadir dalam persidangan di MK namun ternyata tidak mendapat pertimbangan yang adil. Bahkan diluar persidangan MK, dibuat talk show dan dikomentari oleh ahli-ahli hukum yang tidak obyektif serta terkesan pesanan.
Putusan MA ini merupakan langkah hukum awal dan dapat mendegradasi Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan kewenangan atau kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden karena tidak dilandasi penetapan yang dasar pertimbangan hukumnya benar. Putusan MA ini merupakan pintu masuk membongkar praktik curang KPU, “dengan catatan” asal putusan MA diikuti tuntutan eksekusi dan atau tuntutan-tuntutan hukum lainnya terhadap oknum sindikasi yang bersembunyi dibalik kekuasaan.
Tuntutan perbuatan melawan hukum (pidana/perdata) terhadap orang perorang atau terhadap lembaga KPU, Bawaslu yang telah dirasa turut berbuat tidak adil, turut berbuat tidak layak, tidak transparan kepada rakyat atau kepada pihak yang sedang berkontestasi merupakan tuntutan yang wajar dilakukan demi tegaknya hukum. Bahkan rakyat/partai/orang perorang yang merasa dirugikan oleh KPU/oleh Bawaslu juga dapat menuntut sampai pada “tuntutan pembubaran lembaga tersebut” demi mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan rakyat.
Hasil pemeriksaan persidangan MK yang penuh misteri dalam sengketa hitung surat suara pemilu tahun 2019 sudah dirasa rakyat. Pertimbangan aspek hukum dan keadilan yang benar dan professional terhadap bukti-bukti dan indikasi kecurangan hasil hitung surat suara diabaikan MK dan faktor inilah pemicunya sehingga tidak heran bila rakyat terus mempersoalkan hasil pemeriksaan maupun hasil pertimbangan hukum MK sekalipun putusan MK bersifat final dan mengikat.