JAKARTA,SUDUTPANDANG.ID – Secara teoritis, demokrasi merupakan upaya menghormati hak-hak individu. Negara-negara di luar dari rumpun demokrasi memberikan gambaran tentang keruntuhan utama karena kurangnya penghormatan terhadap hak-hak individu. Adanya Demokrasi menujukkan kedaulatan rakyat dan juga kebebasan atas individu-individu. Demokrasi telah memberikan kepada individu berupa penghormatan akan kebebasan berpendapat, berorganisasi dan berbicara. Demokrasi juga menempatkan kebebasan pers, yang menunjukkan tidak adanya pengabaian pertimbangan moral dalam negara demokrasi.
Kehidupan bernegara dijalankan memiliki tujuan tiada lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, yang diwujudkan utamanya melalui pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dewasa ini diyakini, bahwa untuk mencapai cita-cita kesejahteraan itu, maka jalan demokrasi merupakan pilihan yang paling tepat, meskipun praktek demokrasi itu sendiri sering menghadirkan berbagai tantangan dan permasalahan.
Pada perkembangan satu tahun pemerintahan Jokowi, berdasarkan Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), yang dapat kita membaca dalam publikasi media, menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan skor meski peringkat tetap sama. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan penurunan skor 6.3 dari yang sebelumnya 6.48. Dengan skor 6,3, posisi Indonesia bahkan tertinggal oleh Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Penuruan skor ini adalah angka terendah yang diperoleh dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
Demokrasi mengimpilikasikan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan untuk berbicara, berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi yang dapat dibutuhkan bagi perdebatan politik dan ranah mikro adalah pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan. Demokrasi di Indonesia saat ini, acapkali dianggap seperti layaknya sebuah “rumah produksi” dan berbiaya tinggi, sayangnya telah mengabaikan nilai-nilai ideologis dalam berpolitik pada proses pemilihan umum. Praktik pada pemerintahan, kadang- kadang dan seringkali Pemerintah bertindak represif, dengan manangkapi dan menjebloskan orang-orang yang berbeda pendapat terhadap pemerintah ke dalam sel-sel penjara.
Ketegangan dalam politik saat ini, sejak 2017 lalu, telah merebak layaknya ‘virus’ beberapa politisi di Indonesia terjangkiti virus demagogue. Politisi gemar mengaduk-aduk perasaan masyarakat dalam komunikasi politik, biasanya dengan menggunakan isu RAS, untuk kepentingan politiknya, daripada mengajak berpikir secara obyektif dalam mencari jalan keluar misalnya menyangkut masalah problematika kesejahteraan masyarakat. Secara fakta memang tak bisa dikesampingkan bahwa politik selalu melahirkan demagogue, namun demagogi mendorong tumbuh suburnya radikalisme. Inilah yang menyebabkan Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) begitu keras menampakkan kekhawatiran akan output demokrasi Indonesia adalah bibitnya radikalisme.
Perhelatan pemilu juga acap berubah seperti kompetisi penawaran program diganti dengan prioritas menggunakan materi (uang) semata, tak hanya di lingkungan masyarakat. Akan tetpai, ini juga terjadi fenomena ‘mengguyur’ basis konstituen partai dengan uang semata. Tentunya hal ini akan merusak semangat anggota-anggota partai politik dalam membesarkan partai politik berdasarkan perjuangan partai itu untuk kepentingan masyarakat. Dapat dipastikan akan terjadinya konflik internal, dalam realitas sikap berupa ‘bara dalam sekam’ di kepartaian, seperti antarsesama kader-kader partai, ada yang mendasari membangun partai dengan program nyata bagi masyarakat karena mereka sejatinya juga warga masyarakat, tetapi ada pula yang merasa kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari adanya perhelatan pemilu. Faktor inilah yang juga menyembulkan komunikasi di masyarakat bahwa Pemilu kita berbiaya mahal.
Di sisi lain, korupsi akan dapat makin populer menjadi hot news, ini tak lain, perilaku instan tersebut akan membuat sosok tersebut terasing dalam basis partainya, mau tak mau, praktek instan akan terus dilakukannya, dan inilah yang menyebabkan biaya di pemilihan dan biaya hidup sebagai wakil rakyat akan memaksanya untuk mencari dana dengan terus menerus. Sehingga dipikirannya tak tampak lagi halal dan haram dan memudarnya nilai luhur bekerja sebagai wakil rakyat. Seperti hilangnya percapakan mengenai mempertanyakan dan mendorong perumusan mekanisme dalam pengkaderan dan penentuan calon-calon wakil rakyat, sebab cara instan yang selama ini dipraktekkan telah menghasilkan wakil rakyat yang terasing dengan konstituen dan pemilih, bahkan fatalnya wakil rakyat tergagap dalam proses pembuatan kebijakan di Gedung Parlemen.
Istilah demokrasi seakan mudah disampaikan, akan tetapi sekadar pernyataan emosional bagi setiap orang, setiap pihak, setiap partai politik, juga setiap negara. Sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat tidak harus menjadi sekedar bebas mengemukakan pendapat, tetapi harus bertanggungjawab dan beretika dalam berpendapat. Menentukan parameter nilai etika dalam berpendapat yang ideal tak dimungkiri amat sulit.
Sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, dan berdemonstrasi. Sayangnya, ketika aspirasi itu disampaikan ternyata tidak sampai, malah menimbulkan kekhawatiran dan kerusakan itu sendiri. Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka bisa menikmati demokrasi, tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan mudah masuknya pengaruh asing dan isu ketakutan akan orang Asing (xenophobia) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat bagi Indonesia, sebagai suatu negara demokrasi yang tengah melakukan konsolidasi.
Pada masa reformasi, kita telah memiliki suasana demokrasi secara lebih nyata yang dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia dari berbagai lapisan dibanding era pemerintahan sebelumnya. Akan tetapi suasana demokrasi belumlah diiringi dengan keadaan politik, pertahanan dan keamanan, dan sisi ekonomi yang kuat, stabil serta berpihak kepada rakyat secara nyata. Keadaan itu bukan sesuatu yang berdiri sendiri melainkan rangkaian panjang dari mis manajemen pemerintahan yang telah demikian akut. Di masa reformasi ini juga, bangsa Indonesia menghadapi massa yang penuh gejolak, diantaranya semangat keterbukaan demokrasi, penegakan hak asasi manusia, persaingan global dan perkembangan teknologi dan informasi yang pesat. Fenomena ini perlu dicermati semua pihak, hal tersebut mendorong tekad untuk berupaya membentuk sikap warga negara yang baik, salah satunya dengan pembelajaran sikap demokratis terhadap sesama.
Demokrasi sejatinya menghendaki adanya kebebasan dan kesetaraaan bagi setiap individu untuk menjamin partisipasi rakyat dapat tersalurkan. Proses politik yang baik dalam demokrasi dilakukan atas dasar keinginan rakyatnya. Disini pentingnya negara demokrasi menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), yakni kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi, kebebasan pers, dan kebebasan memilih wakil rakyat secara langsung, rakyat diberikan kebebasan bukan dimobilisasi, juga adanya kebebasan memeluk agama dan lain-lain.
Demokrasi sejatinya juga mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Demokrasi yang baik dan kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat. Proses pembentukan keputusan pemerintah dalam demokrasi menempatkan rakyatnya, bukan malah menghasilkan perubahan fundamental di tengah masyarakat dengan didasari oleh kepentingan dari pemerintahnya semata. Dengan demikian, demi terciptanya proses demokrasi, negara berkewajiban untuk membuka, menjaga, semua saluran-saluran demokrasi, baik saluran demokrasi formal melalui lembaga wakil rakyatnya (DPR) dan partai politiknya, maupun saluran-saluran demokrasi non-formal seperti penyediaan informasi dan kesempatan masyarakat menyampaikan pendapatnya, sebagai bagian dari sarana interaksi sosial, seperti stasiun televisi, radio, media Pers, dan lain-lain. ***
PENULIS: Muhamad Fajri Ridwan, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo, Serang, Banten