Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan Harus Adil

Proses Pemeriksaan Pidana di Pengadilan Harus Adil
Jhon SE Panggabean, S.H., M.H.(Foto:Dok.Pribadi)

“Sangat disayangkan jika dalam RUU KUHAP terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak adil dan merugikan posisi terdakwa maupun penasihat hukumnya. Salah satunya adalah Pasal 197 ayat (10) yang menyatakan: “Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari advokat selama persidangan.”

Oleh: Jhon SE Panggabean, S.H., M.H.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini sedang dibahas di DPR akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah berlaku selama 45 (empat puluh lima) tahun. Undang-undang tersebut dinilai perlu disesuaikan dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Perlu diingat bahwa UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP 1981) yang masih berlaku hingga saat ini adalah sebuah karya agung. Undang-undang ini merupakan hasil kodifikasi dan unifikasi hukum pidana formil yang menyatukan serta mengatur seluruh proses penanganan perkara pidana, mulai dari penyelidikan hingga upaya hukum biasa dan luar biasa.

Dalam KUHAP 1981 ditegaskan tonggak perlindungan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses hukum, termasuk hak untuk membela diri dan didampingi penasihat hukum (advokat) selama pemeriksaan di tahap penyidikan, serta hak untuk mendapatkan peradilan yang adil. KUHAP 1981 juga merupakan upaya untuk memperbaiki praktik peradilan masa lalu yang berlandaskan paradigma crime control model (model pengendalian kejahatan), yang tidak selaras dengan prinsip hak asasi manusia berdasarkan due process of law.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, KUHAP mengalami dinamika dan tantangan, termasuk kebutuhan revisi agar tetap relevan dengan arah politik hukum pidana, yang menurut Marc Ancel merupakan perpaduan antara ilmu dan seni. Sebutan “karya agung” bagi KUHAP menunjukkan pentingnya peran undang-undang ini sebagai induk kodifikasi hukum acara pidana dalam membentuk sistem hukum pidana Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Sudarto.

BACA JUGA  Kevin Lilliana Lanjutkan Proses Hukum Pelecehan Seksual Berbasis Elektronik

Revisi KUHAP menjadi momentum penting untuk terus meningkatkan kualitas penegakan hukum, termasuk pengawasan terhadap penyidik dan lembaga penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, RUU KUHAP yang akan menggantikan KUHAP 1981 haruslah lebih baik, dalam arti lebih adil dan memberikan kesetaraan di hadapan hukum bagi masyarakat. Hukum acara pidana sebagai hukum formil menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, pendakwaan, penuntutan, pemeriksaan, hingga putusan pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, sampai Peninjauan Kembali.

Selama ini, baik secara teori maupun praktik, penanganan perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa di Pengadilan Negeri telah berjalan dengan baik. Secara garis besar, proses ini dimulai dengan pembacaan surat dakwaan, tanggapan atas dakwaan, pemeriksaan saksi dan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun dari pihak terdakwa (termasuk advokat), dilanjutkan dengan pemeriksaan terdakwa, pembacaan tuntutan JPU, pembelaan (pledoi), replik, duplik, dan diakhiri dengan pembacaan putusan hakim. Dari rangkaian proses ini, tampak bahwa setelah pemeriksaan terdakwa, tidak ada lagi kesempatan bagi JPU untuk mengajukan saksi atau ahli tambahan.

BACA JUGA  Pelaku Penyebar Video Syur Mirip Rebecca Klopper Didakwa Dua Pasal

Oleh karena itu, sangat disayangkan jika dalam RUU KUHAP terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak adil dan merugikan posisi terdakwa maupun penasihat hukumnya. Salah satunya adalah Pasal 197 ayat (10) yang menyatakan: “Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari advokat selama persidangan.”

Pasal 197 ayat (10) ini patut dikritisi. Berdasarkan KUHAP yang berlaku dan praktik peradilan yang telah berjalan, sebelum pemeriksaan terdakwa, seharusnya pemeriksaan saksi dan ahli dari JPU telah selesai. Lantas, mengapa RUU KUHAP justru memberikan kesempatan tambahan kepada JPU untuk memanggil saksi atau ahli setelah pemeriksaan terdakwa, terlebih lagi dengan tujuan menyanggah pembuktian dari advokat?.

Selama ini, setelah pemeriksaan terdakwa, proses peradilan berlanjut dengan pembacaan tuntutan oleh JPU, lalu pledoi oleh terdakwa/advokat. Oleh sebab itu, kehadiran Pasal 197 ayat (10) sangat aneh dan berpotensi mencederai asas peradilan yang adil (fair trial), apalagi jika saksi atau ahli tambahan tersebut tidak memiliki Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada tahap penyidikan. Bukankah BAP merupakan dasar JPU dalam menyusun surat dakwaan?.

Menurut penulis, pasal tersebut sangat tendensius dan tidak berlandaskan kajian ilmiah yang komprehensif. Kemunculannya di RUU KUHAP menimbulkan pertanyaan: untuk kepentingan siapa ketentuan itu dibuat? Apakah pasal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan kesepakatan internasional tentang the prevention of crime and the treatment of offenders yang digagas oleh PBB?

Advokat, terutama yang biasa menangani perkara pidana, tentu keberatan terhadap ketentuan tersebut. Selain tidak adil, ketentuan ini juga menciptakan ketidakseimbangan dalam proses peradilan. JPU sejak awal sudah mendapatkan banyak ruang dalam proses penyidikan dan persidangan. Namun mengapa setelah pemeriksaan terdakwa masih diberi kesempatan lagi untuk memanggil saksi atau ahli tambahan guna menyanggah pembuktian dari advokat?

BACA JUGA  Resah Praktik Oligarki, Luthfi Yazid dan Rekan Bentuk Tim Advokasi JURKANI

Hal ini jelas tidak adil dan sangat tidak fair. Selama ini, justru pihak terdakwalah yang menyanggah dakwaan dan tuntutan dari JPU. Namun dalam RUU KUHAP, peran itu justru dibalik dengan memberi ruang kepada JPU untuk menyanggah pembuktian advokat. Ini bertentangan dengan prinsip peradilan yang setara (equality of arms) dan tidak mencerminkan asas due process of law yang adil.

Oleh karena itu, menurut Jhon SE Panggabean, S.H., M.H., Pasal 197 ayat (10) harus dicabut dari RUU KUHAP karena bertentangan dengan semangat integrated criminal justice system dalam pembaruan hukum acara pidana Indonesia.

*Penulis Oleh: Jhon SE Panggabean, S.H., M.H., adalah Advokat senior, tinggal di Jakarta