“Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah juga merupakan sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di Tanah Air.”
YOGYAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pengamat Hukum Tata Negara TM Luthfi Yazid, menyesalkan sikap Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang berusaha menganulir dan membegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60/PUU-XXII/2024 terkait Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah.
Hal itu disampaikan Luthfi Yazid kepada wartawan usai aksi demo RUU Pilkada di Yogyakarta, Kamis (22/8/2024).
“Hentikan kongkalikong. Putusan MK No. 60 inilah yang mau dianulir oleh Baleg DPR RI. Putusan itu memungkinkan partai yang tidak punya kursi di DPRD dapat mencalonkan kepala daerah,” kata Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Mantan Pengacara Capres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 dan pengacara Capres Ganjar Pranowo tahun 2024 itu mengendus niat Rapat Baleg DPR RI yang ugal-ugalan. Menerapkan barbarianisme hukum dalam membahas revisi UU Pilkada yang berusaha menganulir putusan MK.
Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePa-RI) itu mengungkapkan upaya DPR yang berusaha menganulir putusan MK dengan berbagai alasan.
Pertama, lanjutnya, motif utama Baleg DPR adalah materi dan kekuasaan. Sebab dengan adanya putusan MK No. 60 tersebut, maka kartel partai politik untuk kepentingan Pilkada telah diamputasi oleh MK.
“Kedua, selama ini untuk menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, sang calon harus membayar upeti dan mahar kepada partai politik dengan jumlah yang sangat besar. Dengan adanya putusan MK No. 60, peran partai politik dalam urusan Pilkada diminimalisir,” kata alumnus Warwick University Inggris itu.
Ketiga, tambahnya, putusan MK adalah sejajar dengan UU dan sifatnya final and binding. Sehingga harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab itu, tidak dapat dianulir bahkan oleh MK sendiri.
“Upaya busuk yang dilakukan Baleg DPR untuk membahas revisi UU Pilkada serta upaya untuk mengambil keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU dengan demikian harus dihentikan,” paparnya.
Keempat, apa yang dilakukan oleh Baleg DPR RI hanyalah puncak gunung es dari carut-marutnya persoalan bangsa, terutama dalam satu dasawarsa ini. Hal ini bukan saja mencederai nilai demokrasi, namun juga inkonstitusional serta merupakan langkah pembusukan total (total decayed) atas prinsip negara hukum.
“Upaya yang dilakukan oleh Baleg DPR RI adalah juga merupakan sebuah anarkisme hukum (legal anarchism) yang berdampak jangka panjang dan mengancam demokrasi di Tanah Air,” kata advokat senior itu.
Presiden Soekarno dan Gus Dur
Ia mengaku teringat bagaimana Presiden Soekarno membubarkan DPR (Konstituante) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Konstituante benar-benar lenyap di zaman itu.
Presiden Gus Dur juga pernah mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, tapi sayangnya Dekrit Gus Dur tidak memiliki “power of force”, sehingga parlemen saat itu tetap bercokol, berkuasa.
Ia menilai kedua Presiden RI yang karismatik itu vis a vis dengan DPR, sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini justru berangkulan dengan DPR. Suatu perbedaan yang tentunya sangat mencolok.
“Tidak ada jalan lain selain menciptakan kesadaran kolektif untuk membangun kembali demokrasi demi menjaga mandat konstitusional dan marwah bangsa mewujudkan negara hukum yang berkeadilan,” tandasnya.
Ia menyatakan, masyarakat sipil, para cendikiawan, para advokat, buruh, petani, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya harus berani peduli dan bersuara demi tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini.
“Perjuangan menegakkan cita-cita negara hukum yang berkeadilan, inilah saatnya, sekarang, atau kita akan tenggelam sebagai sebuah bangsa,” tegasnya.
Ia mengatakan, keberlanjutan keculasan yang dipertontonkan maupun yang tidak tampak selama ini sudah semestinya ditinggalkan dan malah harus “diperangi” bersama.
“Ingatlah bahwa keberanian itu seperti virus. Ia akan menular. Justitia Omnibus, justice for all, keadilan untuk semua,” pungkas advokat dan pernah menjadi peneliti dan dosen tamu di University of Gakushuin Tokyo itu.(01)