Jakarta,SudutPandang.id-PDI Perjuangan, Rabu (15/1/2020), telah membentuk tim hukum terkait kasus dugaan suap yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politisi Harun Masiku.
Tim Kuasa Hukum ini terdiri dari beberapa pengacara terkemuka yang dipimpin kader PDIP I Wayan Sudirta dengan Wakil Yanuar Wasesa. Kemudian anggota tim hukumnya yaitu Teguh Samudera, M.Nuzul Wibawa, Krisna Murti, Paskaria Tombi, Heri Perdana Tarigan, Benny Hutabarat, Kores Tambunan, Johannes L.Tobing dan Roy Jansen Siagian.
Mencermati perkara dugaan suap dan situasi yang berkembang hingga saat ini, Tim Hukum PDIP langusng menyatakan sikap.
Berikut tujuh poin yang disampaikan oleh Tim Kuasa Hukum PDIP dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (15/1/2020) :
1. Bahwa seluruh Warga Negara Indonesia wajib dan taat pada hukum, tanpa kecuali. Namun pada saat bersamaan, seluruh aparat penegak hukum, khususnya dalam hal ini KPK, juga wajib mengedepankan azas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan seharusnya selalu menjunjung tinggi mekanisme hukum (pro-justisia).
2. Bahwa persoalan penetapan calon terpilih berdasarkan Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung RI yang biasa dilakukan oleh partai politik adalah persoalan sederhana sebagai bagian dari kedaulatan Parpol, yang pengaturannya telah diatur secara tegas dan rigid dalam peraturan perundang-undangan.
Pengajuan Penetapan Calon Terpilih yang dimohonkan kepada KPU oleh PDI Perjuangan adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No: 57P/HUM/2019 tertanggal 19 Juli 2019 terhadap uji materi Peraturan KPU dan juga Fatwa Mahkamah Agung RI, sehingga tidak ada pihak manapun baik Parpol atau KPU yang dapat menegosiasikan hukum positip dimaksud.
3. Bahwa Penangkapan terhadap Wahyu Setiawan-Komisioner KPU dkk (Agustiani Tio Fridelina-Mantan Bawaslu, Syaiful Bahri-Swasta) selaku penyelenggara negara yang dikaitkan dengan proses Permohonan Pelaksanaan Putusan MA tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai operasi tangkap tangan, karena menurut hemat kami, tidak sesuai dengan definisi “Tertangkap Tangan” yang diatur di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Tertangkap Tangan adalah “tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Berdasarkan release yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perbuatan yang diduga sebagai perbuatan pidana dilakukan pada “pertengahan Desember 2019 dan akhir Desember 2019”, sedangkan penangkapan yang dilakukan oleh KPK ‘dilaksanakan’ pada tanggal 8 Januari 2020.
4. Bahwa oleh karena itu, apa yang terjadi menurut pendapat kami tidak dapat dikategorikan sebagai OTT, melainkan hasil konstruksi hukum berdasarkan penyadapan dan proses penyelidikan berdasarkan Sprin Lidik yang ditanda tangani oleh Ketua KPK tanggal 20 Desember 2019 pada saat terjadinya pergantian Pimpinan KPK sebagaimana tersebut di atas.
Yang kemudian terjadi framing dari media tertentu dengan berita adanya dugaan suap yang dilakukan oleh 2 (dua) orang staff Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan kepada penyelenggara negara sehubungan dengan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislatif terpilih di daerah Sumatera Selatan sebagaimana disampaikan oleh Andi Arif, framing penggeledahan kantor PDI Perjuangan, framing PTIK dan framing OTT yang sebenarnya bukan OTT, dan lain sebagainya.
Terhadap hal tersebut menurut hemat kami yang terjadi adalah dugaan ada upaya sistimatis dari “Oknum KPK” yang melakukan “pembocoran” atas informasi yang bersifat rahasia dalam proses penyelidikan kepada sebagian media tertentu, dengan maksud untuk merugikan atau menghancurkan PDI Perjuangan.
5.Kami sangat menyesalkan adanya pemberitaan sepihak yang objek pemberitaannya tersebut seharusnya merupakan konten pro-justisia yang belum terbukti akan kebenarannya dan masih berada pada tahap penyelidikan, sehingga terhadap hal tersebut, tidak tertutup kemungkinan kami akan mengambil langkah hukum secara perdata dengan berkonsultasi kepada Dewan Pers.
6. Bahwa terkait upaya penggeledahan dan penyegelan yang hendak dilakukan oleh penyidik KPK di Gedung PDI Perjuangan pada tanggal 9 Januari 2020 tanpa izin tertulis dari Dewan Pengawas, adalah perbuatan melanggar hukum dan melanggar kode etik, karena berdasarkan UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 37 B ayat (1) huruf (b), pada intinya menyatakan: “Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan”, dan Pasal 47 ayat (1) menyatakan : “Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”. Oleh karena itu menurut hukum, izin tertulis dari Dewan Pengawas adalah hal yang wajib dan mutlak harus ada.
Selanjutnya penggunaan Sprint Lidik lama guna melaksanakan OTT pada masa kepemimpinan Pimpinan KPK yang baru tentu saja bertentangan dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 dalam Pasal 70B dan Pasal 70C.
Pasal 70B menyatakan “Pada saat Undang-undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”
Pasal 70C menyatakan “pada saat Undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang ini”
7. Bahwa dari pandangan kami, konstruksi hukum yang terjadi sebenarnya adalah perkara penipuan dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum tertentu.(red/for*)