JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Surat penawaran restrukturisasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dinilai menabrak etika, peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini disampaikan sejumlah nasabah Jiwasraya yang telah memenangkan gugatan melawan perusahaan plat merah tersebut di pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Machril, salah satu nasabah Jiwasraya menyebut tawaran terakhir restrukturisasi kepada nasabah yang putusannya sudah inkracht telah melecehkan lembaga peradilan dan masuk kategori “Contempt of Court“.
Ia menjelaskan, dalam surat penawaran terakhir restrukturisasi Jiwasraya kepada nasabah Bancassurance diberi waktu sampai 30 September 2023 dengan kata pancingan sebagai bentuk itikad baik, jika tidak ikut polis akan ditinggal Jiwasraya.
“Bagaimana mungkin nasabah yang sudah menang gugatan dengan putusan inkracht malah ditawarkan untuk ikut restrukturisasi, kenapa bukan melaksanakan putusan pengadilan?. Ini namanya pembangkangan terhadap putusan peradilan inkracht oleh PT. Asuransi Jiwasraya dan sudah melecehkan lembaga peradilan masuk kategori Contempt of Court,” kata Machril dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Ia memaparkan, UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.21 Tahun 2011 turunannya berupa Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 pasal 40 ayat 3 menyebutkan dalam hal proses penyelesaian klaim telah dilimpahkan kepada pengadilan, perusahaan atau unit syariah wajib membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah adanya putusan pembayaran klaim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau ditetapkan lain dalam putusan pengadilan.
“Kemudian perintah Presiden RI Joko Widodo dalam rapat internal pada tanggal 23 Mei 2022 dan 13 Januari 2023 bahwa hutang negara yang sudah mendapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkracht kepada swasta dan rakyat harus dibayar,” katanya.
“Karena itu adalah kewajiban negara. Jangan rajin dan disiplin saat mengejar hutang saja. Demikian diungkapkan Presiden yang disampaikan Menko Polhukam pada tanggal 11 Juni 2023 kepada media saat ramai-ramainya Bos jalan tol menagih piutangnya sebesar Rp800 miliar kepada Pemerintah dalam hal ini kepada Menteri Keuangan,” sambung dia.
Mewakili nasabah lainnya, Machril juga menilai surat Jiwasraya kepada nasabah bancassurance atau Bancas tidak etis, masih menampakkan keperkasaannya tapi lupa dan sengaja mengabaikan etika, peraturan serta hukum yang berlaku.
“Perusahaan BUMN tidak lepas dari pada UU BUMN No.19 Tahun 2003 dalam konsideransnya jelas ada 3 point penting yang harus dijadikan pedoman, yakni demokrasi ekonomi, profesional dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Sepatutnya, lanjutnya, Jiwasraya melakukan bisnis komitmen moralnya harus tetap terjaga sebagai perusahaan yang memakai atribut negara, unsur pengayoman terhadap masyarakat dan memberikan rasa keadilan, sehingga penyelesaian cara restrukturisasi tidak menimbulkan penderitaan yang bertambah.
“Dan juga jangan menyalahgunakan kewenangan yang menimbulkan rasa kecemasan dan ketakutan serta tidak ada kepastian hukum,” pungkasnya.
Pemaksaan
Hal senada disampaikan OC Kaligis, yang juga mendapat surat penawaran restrukturisasi dari Jiwasraya. Advokat senior itu menyebut surat penawaran restrukturisasitersebut sebagai pemaksaan kepada nasabah yang telah memenangkan tuntutan melalui pengadilan.
“Dalam perkara saya Nomor: 219/Pdt.G/2020/PN.JKT.PST, pihak PT. Asuransi Jiwasraya telah berusaha memasukan bukti restrukturisasi yang dibuat sepihak. Majelis Hakim yang memeriksa perkara sudah tegas menolak bukti tersebut,” kata OC Kaligis.
“Patuhi dan laksanakan saja perintah pengadilan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah inkracht, bukan malah menawarkan restrukturisasi dengan dalih beririkad baik. Sudah tidak mau patuh dengan putusan pengadilan, sekarang memaksa nasabah dengan menawarkan restrukturisasi, luar biasa sekali Jiwasraya ini,” katanya.
“Siapapun sudah paham bahwa Indonesia sebagai negara hukum berarti hukum memiliki kekuatan mengikat yang harus dipatuhi oleh seluruh warga negara dan pemerintah. Hukum menjadi landasan bagi tindakan dan keputusan yang diambil oleh individu, kelompok, lembaga, maupun pemerintah. Tidak ada kekuatan atau otoritas yang berada di atas hukum,” sambung OC Kaligis.(tim)