Surat Terbuka
DILARANG TANPA SOLUSI
(NASIB GELAP NELAYAN LOMBOK)
Kepada Yth,
Presiden Republik Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP).
Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Ombudsman Kantor Perwakilan Nusa Tenggara Barat.
Salam untuk semesta alam,
Kami menulis surat terbuka sejatinya untuk memperbaiki, menemukan solusi yang terbaik dan membangun masyarakat yang sadar hukum, serta meminta pemerintah dalam merumuskan dan menerapkan berbagai hukum dan kebijakan dengan memadukan kesejahteraan masyarakat.
Ratusan nelayan terancam kehilangan mata pencaharian. Hari naas, Selasa (9/11), menimpa nelayan Malimbu, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat Amril Husen dengan 3 anggota nelayan dan Wirdani dengan 6 anggota nelayan. Mereka ditangkap oleh gabungan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Polisi Perairan dan Udara, TNI AL, Polsus Dinas Perikanan NTB, saat memanah ikan di laut. Pada saat itu cuaca buruk. Rupanya, mereka tanpa sadar terbawa arus hingga masuk ke Gili Matra, areal yang merupakan zona konservasi. Kapal mereka digeledah, karena dicurigai membawa bom atau potas yang terlarang dan merusak karang. Meski tidak ditemukan bukti bom dan potas, tetap dipaksa memilih ancaman pidana atau menandatangani surat penyerahan alat-alat secara sukarela. Akhirnya, mereka menandatangani penyerahan 1 kompresor, 1 rol selang sepanjang 150 meter, dan 3 buah dakor, sedangkan dari kapal WIrdani tersita 1 kompresor, 1 rol selang panjang 150 meter, dan 2 buah dakor.
Pihak PSDKP diduga tidak profesional, dalam surat penyerahan itu terdapat kekeliruan misalnya:
1. Menjatuhkan sanksi teguran kepada Amril dan Wirdani atas kesalahan yang dilakukan oleh Syamsudin. Padahal tidak ada satu pun nelayan bernama Syamsudin yang ditangkap saat itu.
2. Surat ditandatangani oleh Koordinator Satwa Lombok Timur, 12 November 2021. Padahal locus kejadiannya di Kabupaten Lombok Utara.
3. Nelayan juga tidak diberi salinan surat penyerahan barang nelayan tersebut, surat hanya dibacakan. Pihak PSDKP pun baru memberi salinan surat penyerahan barang nelayan seminggu setelah penyitaan barang, itu pun setelah diminta tim Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum – Fakultas Hukum Universitas Mataram (BKBH FH Unram).
Secara lisan, PSDKP menyampaikan kepada nelayan Malimbu tersebut, akan memusnahkan dakor dan selang itu pada hari Selasa (16/11), sementara kompresor tetap ditahan hingga nanti dijual untuk membeli pengganti alat tangkap yang lain. Para nelayan dan BKBH FH Unram, Jumat (12/11) berunding dengan PSDKP dan meminta tidak memusnahkan alat-alat nelayan sebelum menemukan solusi dan memberikan alat pengganti kompresor, yakni scuba diving lengkap kepada para nelayan. Para nelayan dan tim BKBH Unram hingga sekarang berhasil menunda upaya pemusnahan alat tersebut sampai pihak pemerintah menyediakan alat pengganti, tetapi alat-alat nelayan tersebut masih ditahan. Alasan pihak PSDKP, tetap menahan alat-alat nelayan tersebut, karena laporan dari nelayan Gili Air dan Gili Trawangan yang keberatan dengan alat bantu kompresor yang digunakan nelayan Malimbu.
Alasan PSDKP itu dibantah oleh komunitas nelayan Gili Air, mereka menilai hanya sebagai upaya adu domba sesama nelayan. Sesepuh Gili Trawangan dan aktivis pelestari terumbu karang, Haji Rukding mengaku tidak keberatan jika nelayan pemanah menggunakan kompresor karena pemerintah tidak mampu memberikan solusi pengganti alat tersebut. Terlebih lagi, pada masa krisis ekonomi sekarang ini, kondisi nelayan sangat memilukan.
Seminggu setelah operasi penangkapan nelayan Malimbu, Selasa (16/11) lalu, peristiwa serupa menimpa nelayan Gili Air, Lombok Utara. Penangkapan yang itu dilakukan oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Para nelayan dengan heran berujar, “Kami tidak tahu kenapa kami dilarang. Padahal kami tidak mencuri, tidak merampok.” Yang kian mengherankan para nelayan, aktivitas itu dilakukan di luar kawasan konservasi Gili Matra.
Sejumlah nelayan Gili Air menceritakan nasib buruk yang menimpa mereka. Sekitar 60 (enam puluh) nelayan Gili Air ditangkap dan saat itu dipaksa untuk menghentikan mencari ikan. Padahal mereka telah mengeluarkan dana sekitar satu juta rupiah untuk memodali bahan bakar. Para nelayan tersebut meminta waktu untuk meneruskan aktivitas mencari ikan karena jika seketika itu harus menghentikan aktivitas , maka tidak dapat mengembalikan modal. Karena tetap meneruskan aktivitas mencari ikan, menurut para nelayan, mereka diancam akan ditembak dan perahu mereka akan ditabrak oleh aparat.
Para nelayan itu didesak untuk berlabuh, alat-alat kelengkapan melaut mereka, utamanya kompresor hendak disita, namun para nelayan menolak. Mereka mengaku baru tahu dilarang mencari ikan dengan menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernapasan saat menyelam dan memanah ikan. Mereka mempertanyakan, “kenapa tidak dari awal dilakukan sosialisasi (pelarangan kompresor) terkait masalah ini?”.
Para nelayan dipaksa menandatangani surat yang isinya secara sukarela menyerahkan alat-alat menyelam, atau jika tidak maka akan dipidana. Nelayan Gili Air menolak. Alasannya, satu-satunya keahlian dan sumber penghidupan mereka itu adalah menyelam dan memanah ikan. Karena takut dengan ancaman pidana, maka sejak saat itu, para nelayan Gili Air sama sekali tidak berani melaut dan praktis harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ada ribuan keluarga nelayan dan perempuan penjual ikan di Gili Matra, Malimbu, Teluk Nara, Senggigi, Batu Layar, Sekotong, Labuhan Lombok, Sambelia, dan belum termasuk Sumbawa dan Bima yang menggantungkan hidupnya dari melaut. Jumlah ini mencapai jutaan jika ditambahkan nelayan se- Indonesia. Nelayan Malimbu yang alat-alatnya ditahan, harus pinjam uang rentenir dan menjual barang sekedar menyambung hidup. Bayangkan, sejak tanggal 9 November 2021 para nelayan itu tidak memperoleh sumber penghidupan apa pun. Para nelayan itu hanya dengan lara berharap setidak-tidaknya disediakan alternatif lain, bila aktivitas melaut dengan kompresor dilarang, mereka menginginkan tersedia alat bantu selam yang tidak melanggar hukum.
Alih-alih menyediakan solusi alternatif terhadap permasalahan, kata nelayan yang ditangkap di lapangan, malah petugas PSDKP dan Dinas Perikanan NTB berujar “Ya, terserah.”
Dengan nada pilu para nelayan meminta perhatian pemerintah, “Kalau kami dilarang tapi pemerintah tidak memberikan solusi pengganti alat yang tidak melanggar hukum, namanya bukan pembinaan, melainkan pembinasaan.”
Bila membaca aturan, sesuai pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, disebutkan “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) tersebut mengungkapkan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompresor.
Pasal tersebut tergolong sebagai perumusan delik materiil, yang artinya harus dibuktikan apakah kompresor yang digunakan nelayan untuk memanah (bukan untuk mengebom atau meracun ikan) itu mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Nelayan membuat rekonstruksi dan perbandingan: memanah dengan alat bantu kompresor dan yang tidak menggunakan, potensi merusak terumbu karang lebih besar yang tidak menggunakan kompresor. Dalam rekonstruksi, para nelayan membuktikan bahwa cara memanah dengan alat bantu kompresor tidak merusak terumbu karang dan ekosistem laut.
Nelayan menilai ada sikap diskriminatif terhadap nelayan dan wisatawan. Berdasarkan pengamatan nelayan, kerusakan terumbu karang dan sumber daya ikan justru terjadi di kedalaman dua sampai lima meter, yakni di area wisata. Sedangkan terumbu karang dan sumberdaya ikan di areal aktivitas nelayan, yakni di kedalaman lima belas hingga dua puluh lima meter justru lestari dan terjaga, ini dibuktikan dengan melimpahnya sumber daya ikan. Ada indikasi kuat, kerusakan karang di area wisata disebabkan oleh penggunaan tabir surya (sunblock) oleh wisatawan yang mengandung sejumlah bahan kimia yang berbahaya bagi terumbu karang dan biota laut. Sejumlah jurnal internasional bahkan mengonfirmasi bahwa penggunaan tabir surya dapat merusak ekosistem karang dan merusak sumber daya ikan. Penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh Journal Archives of Environmental Contamination and Toxicology (2015) menunjukkan bahwa tabir surya ikut menyumbang sebagian besar dalam kerusakan terumbu karang selama ini.
Setelah alat-alat nelayan disita, tanpa alat bantu pernapasan kompresor, nelayan Malimbu dan Gili hanya mampu paling banyak memanah tiga ekor ikan, meski telah menyelam semalaman. Untuk memenuhi penghidupan keluarganya jumlah itu sama sekali tidak cukup, “Cuma cukup untuk lauk.” Nelayan sebenarnya menyadari alat bantu kompresor tidak menyehatkan, tetapi tidak ada pilihan, karena harga alat scuba diving lengkap tidak mungkin bisa dijangkau oleh nelayan kecil. Sementara keahlian secara tradisional dan turun temurun hanya menyelam dan memanah ikan.
Pelarangan aktivitas nelayan yang berbarengan dengan international event, World Superbike (WSBK) di Sirkuit Mandalika – Lombok tentu menghadirkan tanda tanya para nelayan dan banyak pihak, sebab selama puluhan tahun, tidak pernah ada penangkapan semasif ini.
Dalam surat pernyataan ini kami menuntut:
1. Jika alat bantu menyelam kompresor dilarang dan dianggap melanggar hukum, maka pemerintah harus menyediakan alat pengganti berupa scuba diving lengkap dengan subsidi pengisian oksigen untuk nelayan.
2. Hentikan provokasi dan adu domba antar nelayan yang seolah penangkapan nelayan oleh petugas karena laporan dari nelayan lain sehingga memicu konflik horizontal sesama nelayan.
3. Perlu ada perubahan paradigma dalam tubuh PSDKP dan Dinas Perikanan agar menghentikan segala bentuk intimidasi dan lebih menekankan pendekatan kemanusiaan, serta memadukan kesejahteraan nelayan dan kelestarian lingkungan.
Mataram, 21 November 2021
Yang menyatakan solidaritas,
1. Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) FH Universitas Mataram
2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
3. Pukat Korupsi Universitas Gajah Mada
4. Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM)
5. Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi (PPHD) FH Universitas Brawijaya
6. Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH)
7. Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Tadulako
8. Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)
9. Asosiasi Studi Sosio-Legal Indonesia (ASSLesi)
10. Kaukus Indonesia Kebebasan Akademis (KIKA)
11. Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Universitas Airlangga
12. Metajuridika FH Universitas Mataram
13. Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Universitas Mulawarman
14. PUSAKO Universitas Andalas
15. Pusat Studi Anti-Korupsi & Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya
16. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTB
17. Pusat Pengembangan Hukum dan Gender (PPHG) FH Universitas Brawijaya
18. Lembaga Pengembangan Wilayah NTB (LPW NTB)
19. Constitutional and Adm Law Society (CALS)
20. Kaukus Indonesia Kebebasan Akademis (KIKA) Aceh
21. Relawan Sahabat Ana.(*)