JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – OC Kaligis kembali menyurati Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly. Dalam surat terbuka, Advokat senior ini memohon petunjuk Menkumham soal pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 41/PUU-XIX/2021 mengenai pemberian remisi.
“Semoga juga pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 41 yang Erga Omnes, dapat memenuhi semua harapan warga binaan yang sangat merindukan diperlakukan tanpa tebang pilih, termasuk mimpi semua para warga binaan untuk mendapatkan remisi,” harap OC Kaligis dalam suratnya.
Berikut isi surat terbuka selengkapnya yang ditulis langsung OC Kaligis dari Lapas Sukamiskin, Bandung:
Sukamiskin, Senin 18 Oktober 2021.
Hal : Mohon Petunjuk Pelaksanaan.
Kepada Yth: Bapak Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly SH. Phd.
Dengan hormat,
Saya Otto Cornelis Kaligis, Warga Binaan Lapas Sukamiskin, lahir di Makassar, 19 Juni 1942, berdomisili hukum sementara di Lapas Sukamiskin, Bandung, sebagai penghuni tertua di Lapas ini, bersama surat ini mohon petunjuk pelaksanaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIX/2021, mengenai pemberian remisi. Pemohon telah menjalani hukuman lebih dari 6 tahun dari vonis 7 tahun. Berikut ini alasan pemohon:
- Bertahun-tahun pemohon memperjuangkan remisi pemohon yang terpasung oleh penetapan non Justice collabolator KPK berdasarkan surat KPK Nomor: 2848/HK.6.04/55/06/2020 tanggal 16 Juni 2020 (lampiran 1). Perjuangan tersebut pemohon tujukan dan berlaku juga untuk seluruh teman seperjuangan pemohon di seluruh Lapas untuk mendapatkan perlakuan persamaan di depan hukum.
- Seandainya semua oknum KPK yang berkas perkara pidananya telah dinyatakan lengkap alias P.21, seperti kasus dugaan korupsi Bibit-Chandra, kasus dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana, Kasus dugaan pidana Abraham Samad, Bambang Wijojanto, dan kasus dugaan pembunuhan Novel Baswedan berakhir pada vonis mereka di Lapas, pemohon yakin bahwa mereka pun akan memperjuangkan remisi.
- Sebaliknya warga binaan yang tidak merugikan keuangan negara oleh KPK didakwa dan dituntut bersalah. Contohnya: Gubernur Papua, divonis karena kebijakan yang dibuatnya. Kebijakan mana tidak pernah terealiser. DPRD mensahkan pertanggung jawabannya sebagai Gubernur. Setelah pensiun Gubernur Barnabas Suebu dihukum tanpa adanya kerugian negara.
- Gubernur Ridwan Mukti, divonis tanpa bukti. Sama halnya dengan Gubernur Nur Alam yang tidak terbukti korupsi, divonis berdasarkan perikatan perdata selagi menjadi pengusaha, sebelum menjabat Gubernur.
- Menteri Jero Wacik divonis berdasar pemakaian DOM yang menurut kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden SBY, pemakaian DOM oleh Menteri Jero Wacik adalah sah menurut hukum.
- Menteri Surya Dharma Ali divonis bersalah, sekalipun temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara
- Miranda Gultom terpaksa divonis Hakim, sekalipun pertimbangan Hakim, Miranda Gultom tidak terbukti bersalah dalam perkara Bank Century yang keputusannya bersifat kolegial dibawah tanggung jawab Gubernur Bank indonesia. Masih banyak contoh-contoh lainnya, contoh tebang pilih, hasil penelitian pemohon di Lapas.
- Mengapa miscarriage of Justice sebagaimana saya uraikan di atas sering terjadi di era Novel Baswedan? Karena informasi yang beredar, KPK sering mengintimidasi hakim bersangkutan, bila berani membebaskan terdakwa. Buktinya bila KPK kalah dalam pertarungan Pra Peradilan, seperti halnya dalam kasus permohonan Jenderal Pol Budi Gunawan yang diputus Hakim Sarpin di Jakarta Selatan, Hakim yang bersangkutan dikulitin riwayat hidupnya melalui berita yang diduga direkayasa media pendukung Novel Baswedan.
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 41/PUU-XIX/ 2021, memberi harapan kepada warga binaan yang sama sekali dikecualikan dari perolehan. Tak dapat disangkal bahwa pemberian remisi berlaku secara tebang pilih .
- Remisi sesuai dengan hak para warga binaan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, hak remisi itu dimiliki oleh semua para warga binaan. KPK tidak lagi mempunyai otoritas mencampuri pemberian remisi. Otoritas pemberian remisi berada sepenuhnya ditangan Lembaga Pemasyarakatan.
- Ada 4 alasan hukum pada pertimbangan MK Nomor 41/2021 tersebut, tertuang di halaman 47 dan 48.(Lampiran 2)
- Pertama, alasan diterapkannya Restoratif Justice yang berdasarkan azas pengayoman, para warga binaan dipersiapkan untuk kembali membaur ke masyarakat setelah untuk sekian lama dibina. Warga binaan bukan lagi dijadikan obyek penjeraan dan pembalas dendaman sebagaimana terjadi di era UU Pemasyarakatan sebelumnya, di zaman kolonial.
- Tetapi para warga binaan diperlakukan sebagai subyek hukum yang harkat dan martabatnya sesuai falsafah Pancasila dijunjung tinggi. Saya lampirkan Pidato Pengukuhan Profesor saya berjudul: “Miscarriage of Justice dalam Sistim Peradilan Pidana. Perlunya Pendekatan Keadilan Restoratif (Lampiran 3).
- Kedua: Dihormatinya Legal Right yang adalah hak sepenuhnya para warga binaan. Warga binaan, berdasarkan konstitusi mendapat perlakuan yang sama didepan hukum. Jangan ada lagi diskriminasi pemberian remisi. Penghormatan perlakuan terhadap para warga binaan harus berdasarkan azas non diskriminasi. Hal ini berlaku baik menurut hukum nasional maupun sejalan dengan konvensi konvensi PBB dimana Indonesia juga duduk sebagai negara.
- Wewenang Penyidik, Penuntut Umum dalam hal ini termasuk KPK, berakhir setelah putusan Pengadilan mempuyai kekuatan hukum mengikat (in kracht van gewjisde).
- Setelah putusan final, otoritas pembinaan sepenuhnya ada ditangan Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi menjadi wewenang satu satunya Lembaga Pemasyarakatan, tanpa intervensi lembaga lainnya. Pendapat yang sama dianut oleh DPR-RI dalam laporan investagasi DPR-RI terhadap KPK pada tahun 2018.
- Mengapa saya mengajukan dasar alasan tersebut di atas?. Setelah putusan tersebut saya dan kawan-kawan di Lapas, coba mengajukan permohonan remisi. Ditolak oleh bahagian registrasi, karena syarat perlu adanya penyataan dari KPK mengenai bersedianya warga binaan, bekerja sama dengan KPK membongkar kasus korupsi. Perlu adanya penetapan Justice Collabolator dari KPK.
- Padahal sesuai dengan putusan MK Nomor 41 tersebut, warga binaan sepenuhnya berada dibawah otoritas Lembaga Pemasyarakatan tanpa campur tangan KPK. Lagipula penetapan KPK atas diri pemohon tersebut, diberikan setelah pemohon berstatus warga binaan. Setelah putusan vonis in kracht atas diri pemohon.
- Dasar penolakan: Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 03 tahun 2018 tentang syarat dan tata cara Pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat tertanggal 15 Februari 2018 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 24 Tahun 2021 tentang perubahan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 tahun 2020 tentang syarat dan tata cara pemberian asimilasi, pembebasn bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat bagi nara pidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 tertanggal 30 Juni 2021.
- Di saat saya ditangkap tanpa OTT, tanpa surat panggilan sesuai pasal 112 ayat (1) KUHAP, di saat itu saya mendapat penetapan non justice collabolator. Artinya seumur hidup saya tidak akan pernah dapat memperoleh remisi. Bagaimana mungkin saya bekerja sama, untuk fakta hukum yang sama sekali tidak saya ketahui.
- Berkas pemohon dimajukan tanpa barang bukti melanggar azas Probationes debent esse evidenes, id est perspicuae et faciles inteligi (bukti harus jelas). Saya diputus melanggar postulat Judex debet judicare secundum allegata et probate. Semua ketentuan yang tertera dalam pasal 183,184, 185 KUHAP, dilanggar oleh hakim dan penyidikan KPK (untuk jelasnya mengenai kasus pemohon, pemohon lampirkan 2 buku pemohon, lampiran 4 dan 5 berjudul “Kaligis Diadili” dan “ Upaya Terakhir Menggapai Keadilan.’)
- Para warga binaan hasil penyidikan kejaksaan rata-rata mendapatkan remisi. Sebaliknya warga binaan hasil penyidikan KPK mendapatkan remisi secara tebang pilih. Contohnya warga binaan Nazaruddin, yang mendapatkan remisi kurang lebih 50 bulan, sedangkan ada penyuap lainnya sama sekali tidak mendapatkan remisi. Mereka rata-rata warga binaan miskin, yang tidak punya jaringan dengan KPK.
- Menanggapi Putusan MK Nomor:41/2021, KPK pun di Media, mengakui bahwa wewenang pemberian remisi ada ditangan Lembaga Pemasyarakatan cq. Menteri Hukum dan HAM. Media pada umumnya seperti harian Kompas, Detik.com dan lain-lain, membenarkan bahwa remisi berlaku bagi semua warga binaan kecuali vonis seumur hidup dan vonis mati. (Lampiran beberapa keterangan media).
- Melengkapai surat permohonan pemohon, pemohon juga menyertakan beberapa pendapat ahli yang mendukung pemberian remisi tanpa tebang pilih.
- Semoga pendapat-pendapat mereka, dapat merupakan pertimbangan hukum bagi Bapak atau Dirjen Pemasyarakatan untuk mengeluarkan Peraturan Kementerian atau Instruksi Dirjen Pas, atau surat apapun yang dapat menjadi dasar Lapas di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pemberian remisi kepada para warga binaan yang wewenangnya hanya dimilliki oleh Lembaga Pemasyarakatan tanpa invervensi lembaga lain.
- Beberapa pendapat ahli termasuk pendapat Komisioner KPK di Media.
- Com-01/10/2021.09.12 WIB. ”KPK tanggapi Putusan MK. Setiap. Napi berhak dapat Remisi termasuk Korupsi. (Lampiran 6). Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pemberian remisi untuk narapidana termasuk tahanan kasus korupsi merupakan wewenang Dirjen Pas Kementerian Hukum dan HAM. “Terkait dengan semua napi berhak mendapat remisi, secara normatif,sebetulnya aparat penegak hukum selesai ketika kita melakukan eksekusi ke Lapas pemasyarakatan, sudah,” ucap Alex dalam konferensi pers, Kamis 30/9/2021”. Catatan Pemohon. Pemohon tak akan pernah mendapatkan remisi disebabkan terbitnya surat non Justice Collabolator, setelah putusan in kracht, setelah putusan dieksesusi oleh KPK. Vide lampiran 1.
- Detik News. Andi Saputra-detikNews, Kamis, 30 Sep.2021.11.48 WIB. “MK Nyatakan Koruptor hingga Bandar Narkoba Berhak Dapat Remisi!” “Sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan,”cetus Suhartaya. Catatan Pemohon. Hakim Konstitusi Suhartoyo adalah Ketua Majelis Perkara MK Nomor 41.(Lampiran 7.)
- Bagir Manan ex Ketua Mahkamah Agung dalam keterangan persnya (L 8) dan di berita Hukum Online (L.9} “Bahwa remisi itu hak setiap terpidana, itu harus kita tegaskan, prinsip. Hak setiap terpidana dari sistim pemidanaan modern, remisi merupakan bagian dari sistim pemidanaan itu:” katanya di kompleks Parlemen di Jakarta .
- Prof Bagir Manan tetap konsisten pada pendiriannya, sebagaimana kembali beliau nyatakan di hadapan para penasehat hukum kantor pemohon, ketika mereka beraudiensi dalam rangka konsultasi atas putusan MK Nomor 41, di rumah beliau pada tanggal 11 Oktober 2021. (Lampiran dan foto sebagai L.10)
- Berikut beberapa pendapat ahli yang mendukung upaya pemohon, Pendapat Hukum Prof. Laica Marzuki (l.11),, Pendapat Hukum Prof. DR. Suhandi Cahaya (L 12). Pendapat Hukum Ketua Umum Peradi DR. Juniver Girsang (L13))……….(Nanti yang menyusul DR. Hamdan Zoelva ex Ketua Mahkamah Konstitusi 14).
- Permohonan: Berdasarkan uraian di atas, pemohon berpendapat kiranya cukup alasan untuk memberi petunjuk pelaksanaan kepada para Kepala Lapas, agar para warga binaan yang berkelakuan baik dapat memperoleh remisi. Sampai saat ini permohonan hak-hak warga binaan terhalang oleh campur tangan KPK.
- Akhirnya semoga juga pertimbangan hukum putusan MK Nomor 41 yang Erga Omnes, dapat memenuhi semua harapan warga binaan yang sangat merindukan diperlakukan tanpa tebang pilih, termasuk mimpi semua para warga binaan untuk mendapatkan remisi.
Hormat saya. Pemohon.
Prof. Otto Cornelis Kaligis.
Cc. Yth. Bapak Presiden RI Joko Widodo dan Yth. Wakil Presiden RI Bapak Ma’ruf Amin sebagai laporan.
Cc. Yth. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Bapak Prof. DR Edward Omar Sharif Hiariej
Cc. Yth. DR. Ali Mochtar Ngabalin
Yth. Bapak Dirjen Pas Bapak Irjen Pol. Drs.Reynhard SP. Silitonga, SH.M.Si
Cc. Yth. Bapak Direktur Jenderal HAM Bapak DR. Mualimin Abdi, SH.MH.
Pertinggal. (*)