“Jika negara tak mampu atau tak mau menghentikan TPL, maka rakyatlah yang harus mengambil peran. Dan sejarah telah menunjukkan, ketika rakyat bersatu, tak ada kekuatan yang bisa menahannya”
Oleh: Dr Kemal H. Simanjuntak, MBA
Selama lebih dari 40 tahun, masyarakat Tapanuli hidup berdampingan dengan luka. Luka ekologis, sosial, hingga psikologis yang tak pernah benar-benar sembuh, justru diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di balik nama yang terus berubah dari Indorayon menjadi Toba Pulp Lestari (TPL) semangat yang menggerakkannya tetap sama: eksploitasi tanah dan air atas nama pembangunan.
Namun pembangunan seperti apa yang layak disebut pembangunan, jika ia menanggalkan martabat, merobek struktur sosial, dan menyisakan deret panjang konflik agraria?
Nama TPL begitu lekat dengan kisah luka masyarakat adat di wilayah Tapanuli Raya. Puluhan ribu hektare lahan adat diubah menjadi konsesi industri. Hutan-hutan larangan ditebang menjadi eukaliptus. Sungai-sungai berubah warna dan bau.
Mata air mengering dan yang paling tragis: relasi antarkampung, antar keluarga bahkan antar saudara, ikut retak hanya karena satu hal tanah yang dulu diwariskan, kini digugat oleh negara atas nama investasi.
Kisah penolakan terhadap TPL d/h Inti Indorayon Utama bukan baru kemarin. Ia telah melahirkan puluhan gerakan akar rumput, mulai dari pemuda gereja, komunitas adat, organisasi petani hingga para tokoh diaspora Batak di kota-kota besar.
Tapi seiring waktu, gerakan ini berkali-kali disudutkan sebagai “provokator”, “anti pembangunan”, bahkan “radikal”. Ironisnya, label-label tersebut kerap muncul bukan dari korporasi itu sendiri, melainkan dari mulut orang Batak yang (mungkin) merasa telah menjadi bagian dari elit yang tercerahkan.
Sejarah selalu mencatat bahwa dalam setiap bentuk kolonialisme, selalu ada anak bangsa yang bersedia menjadi perantara. TPL tidak kekurangan mereka. Orang pintar Batak yang seharusnya menjadi tiang moral dan intelektual masyarakat justru lebih sering tampil sebagai juru bicara perusahaan, membela eksploitasi dengan narasi “manfaat ekonomi”.
Sayangnya, mereka terlalu sibuk mengutip data pertumbuhan dan lapangan kerja, tetapi menutup mata terhadap korban sosial, ekologis, dan psikologis yang lebih dalam dan lebih luas.
Belakangan, TPL terlihat berupaya menciptakan wajah baru. Menggandeng komunitas kreatif, mendukung acara budaya, bahkan membangun citra sebagai “perusahaan hijau”.
Filantropi pun digencarkan bantuan alat musik, bibit tanaman, hingga pembuatan jalan yang disebut sebagai kontribusi pada pembangunan desa. Namun di balik semua itu, ada hal yang tak bisa ditutupi: trauma kolektif masyarakat terhadap kehadiran perusahaan ini.
CSR yang digembar-gemborkan itu, tak lebih dari remah-remah meja kekuasaan. Dana sosial dilempar sebagai pengalih perhatian dari luka yang jauh lebih besar: kerusakan ekologis permanen dan hilangnya hak atas tanah adat.
Kita tidak bisa bicara rekonsiliasi, jika akar masalahnya belum diselesaikan: pengakuan atas tanah ulayat yang dirampas dan perusakan lingkungan yang belum pernah benar-benar ditanggung jawabkan.
Mungkin TPL mengira, dalam dunia digital hari ini, cukup dengan menggandeng influencer, membuat video dokumenter berwarna-warni, lalu membentuk opini publik. Namun yang mereka lupakan adalah satu hal: rakyat Tapanuli tidak lagi bisa ditipu dengan narasi palsu.
Generasi muda kini telah melek informasi. Mereka membaca laporan agraria, memahami peta konflik, dan melihat celah ketimpangan dengan mata yang lebih tajam. Mereka tidak anti industri, tapi mereka anti penindasan. Mereka tidak menolak kemajuan, tapi menolak kemajuan yang menghancurkan masa depan.
Kita perlu menyebutkan secara jujur: TPL bukan satu-satunya perusahaan bermasalah di negeri ini, tapi TPL adalah simbol dari apa yang salah dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Di mana izin diberikan tanpa persetujuan rakyat.
Di mana hukum lebih mendengarkan investor daripada inang-inang penjaga hutan. Dan di mana pembangunan didefinisikan semata sebagai pertumbuhan ekonomi tanpa etika, tanpa keadilan, tanpa keberlanjutan.
Sudah saatnya kita mengakhiri ini.
TPL telah menjalankan operasinya lebih dari cukup waktu. Jika selama empat dekade yang mereka hasilkan adalah konflik, kerusakan, dan trauma, maka publik berhak untuk mengatakan cukup. Tidak ada perusahaan yang lebih besar dari rakyat.
Tidak ada investasi yang lebih penting dari keberlanjutan hidup anak cucu kita di tanah leluhur mereka. Kami tidak sedang emosional. Kami sedang rasional. Karena kami percaya, keadilan ekologis adalah fondasi dari keadilan sosial. Dan mustahil ada perdamaian di atas tanah yang terus diperkosa.
Gerakan #TutupTPL bukan gerakan emosional temporer. Ia adalah simpul kolektif dari penderitaan, harapan, dan kesadaran bahwa Tapanuli tak boleh terus-menerus dijajah dalam balutan baju korporasi.
Jika negara tak mampu atau tak mau menghentikan TPL, maka rakyatlah yang harus mengambil peran. Dan sejarah telah menunjukkan, ketika rakyat bersatu, tak ada kekuatan yang bisa menahannya.
TPL mungkin bisa membeli waktu dengan dana CSR dan narasi keberlanjutan.
Tapi mereka tak bisa membeli masa depan rakyat Tapanuli yang telah memilih untuk berdiri, bersuara, dan berkata Cukup sudah. Sudah saatnya kau pergi. Ephorus dan pimpinan agama telah sejak lama menyuarakan.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)







