Hemmen
Hukum  

Tuntutan Emirsyah Satar Dinilai Melanggar HAM

Tuntutan Emirsyah Satar Dinilai Melanggar HAM
Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 Maskapai Garuda Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.(Foto:NB SP)

“Subyek dakwaan sama. Locus Delicti dan Tempus Delicti (tempat dan waktu)-nya juga sama.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia dalam perkara pengadaan dan kerugian operasional pesawat dinilai melanggar HAM. Perkara yang sama sebelumnya telah disidangkan, sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan azas nebis in idem, bahwa perkara yang sama tidak dapat dilakukan persidangan hingga dua kali. Dalam perkara genosida saja asas nebis in idem masih berlaku, apalagi perkara korupsi.

Kemenkumham Bali

Demikian disampaikan Monang Sagala, Kuasa Hukum mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, menanggapi tuntutan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024).

Dalam perkara ini, JPU mengajukan tuntutan pidana penjara selama 8 tahun kepada Emirsyah Satar, disamping uang denda dan uang pengganti.

Monang Sagala mengatakan, seluruh fakta tentang pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 & ATR 72-600 dan kerugian operasional pesawat Bombardier CRJ 1000 & ATR 72-600 periode 2012 – 2014 sudah pernah terungkap dalam penyidikan di KPK tahun 2018 dan sudah pernah diperiksa serta disidangkan pada tahun 2020-2021.

“Subyek dakwaan sama. Locus Delicti dan Tempus Delicti (tempat dan waktu)-nya juga sama,” kata Monang dalam nota pembelaan (pledoi).

Ia mengungkapkan, dalam sidang tahun 2020-2021, kliennya juga sudah dikenakan uang pengganti karena dianggap telah merugikan keuangan negara cq Garuda sebesar 2,1 juta dollar Singapore disamping uang denda sebesar Rp1 miliar yang telah dibayar.

“Bahkan dalam sidang tahun 2020-2021, Pak Emir sudah dikenakan Pasal 65 KUHP tentang perbarengan atau concursus sehingga seluruh hukuman terhadap Pak Emir terkait peristiwa pengadaan dan kerugian operasional tersebut sudah terserap, tidak boleh dihukum ulang,” katanya.

“Apalagi berdasarkan fakta persidangan terbukti bahwa hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dakwaan adalah salah hitung. Diskon (tiket) penumpang yang harusnya menjadi variabel pengurang digunakan menjadi variabel penambah, sehingga otomatis hasil perhitungan BPKP salah total,” sambung Monang.

Selain itu, lanjutnya, BPKP juga terbukti dalam persidangan secara sengaja mengesampingkan fakta bahwa pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 dilakukan untuk mewujudkan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025 jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.

“MP3EI adalah program pemerintah yang dilaksanakan untuk mempercepat dan memperkuat pembangunan ekonomi sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis wilayah dalam enam koridor,” jelasnya.

Monang juga mengungkapkan, keterangan saksi mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu. Dalam persidangan Marie Elka Pangestu menerangkan bahwa pada tahun 2011 Garuda Indonesia diminta untuk membantu negara membuka jalur penerbangan baru dan meningkatkan pariwisata sesuai program MP3EI. Marie menyebut Pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 yang dimilki Garuda sangat membantu pemerintah pada saat itu.

“Klien kami juga terlibat aktif dalam rapat dan diskusi dengan Tim MP3EI yang dipimpin oleh Ibu Marie Elka Pangestu,” katanya.

Masih menurut Monang, selama Emirsyah Satar menjabat sebagai Dirut Garuda, perusahaan milik BUMN ini selalu untung. Sekalipun operasional Bombardier CRJ 1000 & ATR 72-600 rugi, namun secara keseluruhan maskapai tersebut tetap untung.

“Karena ada subsidi silang dari rute utama. Dukungan Garuda untuk membuka rute-rute penerbangan baru di daerah remote yang sangat meningkatkan konektivitas dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan wujud dan fungsi sosial BUMN,” terangnya.

Selanjutnya, Monang juga menyampaikan keterangan Prof. Juajir Sumardi dalam persidangan. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu menjelaskan bahwa jika tidak ada fakta dan perbuatan terdakwa yang baru pasca putusan (perkara di KPK) berkekuatan hukum tetap, maka perkara ini nebis in idem.

“Prof. Juajir Sumardi menambahkan bahwa dalam perkara suap yang menjerat Emirsyah Satar di KPK tahun 2020-2012 sudah terkandung unsur penyalahgunaan kewenangan (Pasal 3 UU Tipikor) dan kerugian negara (Pasal 2 UU Tipikor) terbukti bahwa klien kami juga dihukum membayar uang pengganti, sehingga perkara saat ini (2024) adalah nebis in idem,” paparnya.

Kemudian mantan Jampidus Kejagung RI, Prof. Widyo Pramono di hadapan persidangan juga menjelaskan hal yang sama. Bahkan, Prof Widyo Pramono menyebut hal ini sebagai suatu pendzoliman.

“Kami berharap Pengadilan sebagai benteng terakhir akan memberikan putusan seadil-adilnya” harap Monang Sagala.(tim)

BACA JUGA  Sempat Bebas, Terdakwa Kasus Dugaan Pencabulan Anak Kembali Jadi Pesakitan di PN Jaktim