YOGYAKARTA, SUDUTPANDANG.ID –Keraton Yogyakarta kembali menggelar tradisi sakral Grebeg Besar Idul Adha 1446 H, yang menjadi salah satu warisan budaya paling dinanti oleh warga lokal maupun wisatawan. Ribuan pengunjung memadati kawasan Alun-Alun Utara dan Masjid Gedhe Kauman untuk menyaksikan prosesi arak-arakan gunungan hasil bumi, simbol sedekah dari raja untuk rakyatnya.
Pada perayaan tahun ini, terdapat penyesuaian penting dalam mekanisme pembagian ubarampe gunungan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang kerap diwarnai aksi rebutan atau dirayah, Keraton Yogyakarta menerapkan sistem distribusi langsung melalui abdi dalem secara tertib dan merata kepada masyarakat yang hadir.
Kanjeng Pangeran Hario (KPH) Notonegoro, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Kridhomardowo, menjelaskan bahwa perubahan ini mengacu pada pranata adat era Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dengan tujuan menjaga kesakralan, ketertiban, dan kelancaran seluruh prosesi Grebeg.
“Tradisi Grebeg bukan sekadar perayaan budaya, melainkan wujud nyata rasa syukur dan penghormatan kepada tatanan kosmos yang dipegang teguh oleh masyarakat Yogyakarta,” ujar KPH Notonegoro dikutip Minggu (8/6/2025).
Pada Grebeg Besar tahun ini, enam gunungan yang terdiri dari Gunungan Kakung (Lanang) dan Gunungan Wadon, berisi hasil bumi seperti ketan, wajik, lemper, dan berbagai makanan tradisional, diarak dari Keraton menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan sebelum dibagikan kepada masyarakat.
Salah satu aspek unik tahun ini adalah penerapan tradisi nyadhong, di mana pihak luar seperti Sekretaris Daerah (Sekda) DI Yogyakarta datang langsung ke Keraton untuk menerima gunungan, bukan sebaliknya.
Hal ini dilakukan untuk menegakkan nilai cadhong, yakni permintaan secara tertib, sebagai lambang kerendahan hati dan penghormatan terhadap berkah dari raja.
Agar prosesi berlangsung aman dan kondusif, aparat dari TNI dan Polri turut membentuk pagar manusia sepanjang jalur arak-arakan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kericuhan serta memastikan pembagian gunungan dilakukan secara adil dan terorganisir.
“Kami ingin menjaga tradisi ini tetap sakral dan bermartabat. Semua peserta bisa mendapatkan bagian tanpa harus berebut,” imbuh Notonegoro.
Warga yang turut hadir merasa senang dengan perubahan ini. Sumanti (53), warga asal Bengkulu yang mengikuti Grebeg untuk kedua kalinya, mengaku terharu bisa menerima bagian dari gunungan tanpa harus bersaing dengan pengunjung lain.
“Alhamdulillah, saya mendapat wajik dan lemper dari gunungan. Rasanya ini seperti berkah langsung dari Keraton,” ungkapnya.
Selain di Masjid Gedhe Kauman, pembagian ubarampe juga dilakukan di beberapa titik lain dengan sistem yang sama Kompleks Kepatihan Pemda DIY , Ndalem Mangkubumen dan Pura Pakualaman.
Semua lokasi mengikuti tata cara distribusi tanpa dirayah, menjaga nilai-nilai luhur budaya Jawa yang menjunjung tertib, rasa hormat, dan gotong royong.
Tradisi Grebeg Besar Keraton Yogyakarta bukan hanya atraksi budaya, melainkan juga pengingat akan pentingnya silaturahmi, spiritualitas, dan harmoni sosial. Dengan penyesuaian teknis yang lebih tertib dan filosofi yang mendalam, perayaan Idul Adha 2025 ini menjadi contoh bagaimana budaya dan modernitas bisa berjalan beriringan tanpa kehilangan ruh aslinya.(PR/04)