YOGYAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Isu kebebasan berpendapat dan bentuk-bentuk aksi mahasiswa kembali menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Demokrasi Substantif dan Anarkisme Taktis: Dilema Etika dalam Aksi Mahasiswa”. Acara ini berlangsung di Soeltan Cafe and Eatery, Banguntapan, Bantul, dan diikuti sekitar 40 peserta dari berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis mahasiswa.
Diskusi ini diprakarsai oleh Constitutional Law Study Yogyakarta (CLS), sebuah lembaga kajian hukum yang aktif mendorong literasi konstitusi dan demokrasi di kalangan generasi muda.
Direktur CLS, Muhammad Faisal, membuka acara dengan pernyataan bahwa gerakan mahasiswa hari ini perlu diarahkan kembali pada esensi perjuangan, bukan semata aksi simbolik atau reaktif.
“Kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial. Aksi mahasiswa jangan sampai terjebak pada bentuk destruktif yang justru merusak substansi gerakan itu sendiri,” tegas Faisal.
CLS menekankan pentingnya ruang dialog yang sehat agar mahasiswa dapat memahami demokrasi tidak hanya sebagai prosedur formal, melainkan juga sebagai perjuangan substansial untuk keadilan dan kesetaraan.
Acara ini menghadirkan tiga narasumber lintas generasi dan latar belakang:
1. Yoyok Suryo, aktivis mahasiswa era 1990-an, mengingatkan bahwa semangat perlawanan zaman Orde Baru dibangun atas dasar strategi, etika perjuangan, dan semangat kolektif yang kuat. Ia mengkritik kondisi gerakan mahasiswa saat ini yang dianggap lebih terpecah dan kehilangan arah.
2. Handini, M.I.Kom, CDMP, dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, menyoroti tantangan digitalisasi dalam gerakan mahasiswa. Ia menyebut media sosial sebagai arena baru perjuangan, namun juga menyampaikan keprihatinan terhadap minimnya ruang diskusi kritis di lingkungan kampus saat ini.
3. Hanafi Saha, S.H., praktisi hukum dari HAM & Associates, menyoroti kemunduran demokrasi yang justru dimunculkan oleh elite politik dalam sistem demokratis itu sendiri. Ia menegaskan bahwa gerakan mahasiswa harus menjauhi anarkisme dan tetap menjunjung etika serta supremasi hukum.
“Mahasiswa harus menjaga marwah gerakan sebagai representasi suara rakyat yang cerdas, terstruktur, dan bermartabat. Kritik itu penting, tapi cara menyampaikannya juga harus etis dan bertanggung jawab,” ujar Hanafi.
Diskusi ini juga mencerminkan semangat mendorong demokrasi substantif, yaitu bentuk demokrasi yang melibatkan keterlibatan aktif rakyat dalam proses pengambilan keputusan, bukan sekadar prosedural dan formalitas pemilu.
CLS berharap kegiatan ini menjadi pemicu semangat baru bagi mahasiswa di Yogyakarta untuk terus menjadi bagian dari gerakan sosial yang progresif, reflektif, dan transformatif. Acara ditutup dengan pemberian sertifikat penghargaan kepada para narasumber sebagai bentuk apresiasi kontribusi pemikiran mereka.(PR/04)