“Saya menyayangkan ada wartawan langsung ditangkap, dan ditetapkan sebagai tersangka hanya gara-gara berita, tanpa proses etik sesuai ketentua. Pasal perintangan pula yang dituduhkan.”
JAKARTA|SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum Stefanus Gunawan mengungkapkan keheranannya dan mempertanyakan sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan wartawan dengan sangkaan pasal perintangan atau Obstruction of Justice.
Ketua DPC Peradi-SAI Jakarta Barat itu berpandangan bahwa yang berhak menilai berita wartawan itu melanggar hukum atau tidak adalah Dewan Pers, bukan lembaga lain.
“Jika sebuah berita wartawan dianggap merugikan, atau dinilai melakukan perintangan terhadap proses hukum, bukan berarti wartawan yang menulis berita serta merta dapat dijadikan tersangka. Sebab, yang berhak menilai berita melanggar hukum atau tidak adalah Dewan Pers, bukan lembaga lain,” ujarnya Stefanus Gunawan dalam keterangan tertulis Senin (28/4/2025).
Menurut Stefanus, penetapan tersangka terhadap wartawan tanpa proses mekanisme etik di Dewan Pers sangat berbahaya. Ia menyebut tindakan itu jadi preseden buruk jika dibiarkan.
“Tidak tertutup kemungkinan ke depan pers akan mudah dikriminalisasi,” tandas advokat senior lulusan FH Unika Atma Jaya itu.
Stefanus mengungkapkan, penetapan tersangka terhadap TB, Direktur Pemberitaan salah satu stasiun televisi swasta dengan dugaan perintangan pelanggaran Pasal 21 UU Tipikor tidak tepat dan keliru.
“Sesuai ketentuan yang termaktub di dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, bahwa pers berhak melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Kebebasan dan kemerdekaan pers juga dijamin oleh perundangan. Dan patut dicatat, bahwa tidak boleh ada boikot atau beredel, pembungkaman ketika pers menyebarluaskan informasi kepada masyarakat,” papar peraih Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Ia mengingatkan bahwa pers juga berperan dalam penegakan hukum. Contohnya, kasus yang semula dipetieskan oleh oknum aparat, ketika pers menyiarkannya, kasus itu kemudian menjadi viral dan diproses hukum di pengadilan.
“Tak sedikit kasus yang merugikan masyarakat, terkuak lantaran peran pers. Terkait berita yang disiarkan TB, pertanyaannya siapakah yang berkompeten menilai suatu berita melanggar hukum atau tidak, dalam konteks tuduhan merintangi proses penyidikan yang dilakukan kejaksaan?,” kata Stefanus Gunawan yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI).
Dewan Pers
Ia kembali menyebutkan bahwa yang berhak menilai adanya pelanggaran hukum atau tidak adalah Dewan Pers melalui mekanisme etik.
“Saya menyayangkan ada wartawan langsung ditangkap, dan ditetapkan sebagai tersangka hanya gara-gara berita, tanpa proses etik sesuai ketentuan. Pasal perintangan pula yang dituduhkan. Menurut saya, ini diduga kategori kriminalisasi, mengingat profesi wartawan dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etika Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers No.6/Peraturan-DP/V/2008,” paparnya.
Stefanus menerangkan, ranah berita adalah etik. Apabila suatu berita dinilai telah menyudutkan, sesuai ketentuan yang berlaku ada hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan, atau pembuat berita dan penerbitnya meminta maaf. Tidak langsung menangkap dan memproses hukum wartawannya.
“Bila tidak berimbang, maka ada hak jawab. Namun bila kategorinya bukan produk jurnalistik dan ada dugaan unsur tindak pidana, maka dapat ditempuh jalur hukum. Setidaknya duduk bersama dulu di Dewan Pers bukan asal main tangkap dan tahan apalagi disangkakan dengan Pasal perintangan proses penyidikan,” terangnya.
Ia menambahkan, sikap main tangkap dan kriminalisasi juga terjadi terhadap advokat. Meski sudah jelas ada hak imunitas dan prosedur etik di Organisasi Advokat tetap diabaikan.
“UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat sudah jelas mengatur. Tapi diabaikan, akhirnya ditangkap tanpa proses etik organisasi. Hal ini yang kita disesalkan. Apakah dengan konferensi pers dan ekpos penangkapan serta penahanan dengan mengabaikan prosedur hukum kejaksaan merasa hebat?,” pungkasnya.
Kejagung
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan peran advokat MS advokat dan dosen JS, dan Direktur Pemberitaan sebuah TV swasta bersiaran di Jakarta TB dalam kasus dugaan perintangan penyidikan (obstruction of justice).
“Berdasarkan alat bukti yang telah diperoleh, penyidik menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu MS selaku advokat, JS selaku dosen dan advokat, serta TB selaku Direktur Pemberitaan JAK TV,” ungkap Harli dalam keterangannya, Selasa (22/4/2025).
Harli Siregar saat mendatangi Dewan Pers meminta agar kasus ini tak disangkut-pautkan dengan profesi jurnalistik.
“Berkali-kali saya sampaikan bahwa terkait dengan apa yang sedang dikerjakan oleh penyidik terhadap yang bersangkutan itu lebih kepada perbuatan personal. Itu, perbuatan personal,” ujar Harli Siregar, saat mendatangi Dewan Pers Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Menurut Harli, keterlibatan TB bukan karena dia jurnalis, melainkan karena apa yang ia lakukan secara pribadi.
“Itu perbuatan personal. Bahwa media itu hanya sebagai alat karena dia ketepatan berprofesi di media,” tegasnya.(tim)