Hemmen

OA Rasa Ormas

Muhammad Yuntri
Muhammad Yuntri (Foto:Naba SP)

Ada sebagian advokat senior merasa terdegradasi kebanggaannya atas profesi yang ditekuninya selama ini, karena begitu banyaknya pesaing baruyang kurang berkualitas dalam memberi advokasi hukum di masyarakat dan kurang konsistennya dalam memegang teguh kaidah-kaidah dalam menjalani profesi.”

Oleh: Muhammad Yuntri
Advokat Senior di Jakarta

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Tiga tahun lalu tepatnya pada tahun 2019, kami selaku pengurus pusat salah satu organisasi profesi advokat di Jakarta hadir mendampingi seorang calon advokat untuk mengikuti prosesi pengambilan Sumpah Advokat bersama para calon advokat dari Organisasi Advokat (OA) lainnya di Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya.

Empat bulan kemudian di tempat yang sama, PT Surabaya, oknum advokat tadi muncul lagi mendampingi 20 orang calon advokat baru versi OA dengan nama baru untuk mengikutsertakan calon peserta baru yang dia rekrut dari masyarakat. Dia dekati saya sembari sesumbar mengatakan, ”Kedudukan kita sejajar Bang, sekarang Saya juga seorang Presiden OA. Mau mendampingi anggotaku yang mau diambil sumpahnya di sini”.

Sambil geleng-geleng kepala, muncul dua pertanyaan dari mulut saya padanya. “Berapa biaya yang sampeyan kenakan pada mereka?.” Dia menjawab, rata-rata Rp20 juta per orang, karena paketnya khusus. Saya tanya lagi dia, “Apakah masih ingat dengan pelajaran etika profesi di PKPA yang diajarkan tahun lalu, dan bagaimana tuh tanggung jawab moralmu terhadap advokat abal-abal yang baru kau produksi ini, jika nanti di antara mereka ada yang kelak “mal-praktik” di masyarakat?. Sambil menunduk dan balik badan, dia berlalu di depan saya menuju anak-anak asuhannya yang mau disumpah itu.

Spontan Saya bergumam dan di benak muncul rasa penyesalan karena telah membesarkan “anak ular”. Tidak mau taat azas dan kaidah-kaidah organisasi, aturan hukum, bahkan nilai etika yang diajarkan pun sudah dilabraknya. Begitu gampangnya mendapatkan “cuan” dengan memanfaatkan peluang dari Surat Ketua MA-RI No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tersebut yang intinya menyatakan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari organisasi manapun. Bahkan PT dalam juklaknya menegaskan bahwa OA yang badan hukumnya telah terdaftar di Kemenkumham RI yang boleh mengajukan permohonan sumpah tersebut.

Seolah rekayasa multitafsir dari SKMA ini mereka jadikan peluang untuk memproduksi anggota sebanyak-banyaknya seperti halnya rekrumen anggota pada organisasi kemasyaratan guna menghimpun dan menunjukan kekuatan massa dari para anggotanya, sekaligus mendapatkan banyak cuan sebagai peluang bisnis.

Padahal anggota yang mereka rekrut tersebut berada dalam ranah institusi organisasi profesi yang lebih mengutamakan mutu dan kualitas dan integritas kepribadian para anggotanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada para klien yang membutuhkan jasa mereka guna membela hak dan kepentingan klien. Halmana tidak akan terlepas dari keharusan memiliki tingginya wawasan dan ilmu pengetahuan hukum, keterampilan dan sikap tindak yang bijak dan santun serta rendah hati dan berani bersikap dan bertindak jujur dengan prinsip kebenaran, teliti dan kehati-hatian tanpa mudah terpengaruh rayuan keberpihakkan pada pihak lawan. Apalagi personal Advokat tersebut juga masuk dalam kategori salah satu unsur dari “catur wangsa” penegakkan hukum di Indonesia, yang punya wilayah kerja di seluruh wilayah Republik Indonesai yang ditetapkan pasal 5 UU Advokat No. 18 tahun 2003.

OA dan Advokat :

Sebelum lahirnya UU Advokat No. 18 tahun 2003, rekrutmen pengacara praktik dilakukan oleh PT setempat. Wilayah kerjanya hanya di wilayah hukum PT yang bersangkutan saja. Untuk bisa berpraktik di seluruh wilayah Indonesia, maka sang pengacara harus sudah berpengalaman menangani 10 kasus hukum pidana dan 10 perkara perdata. Setelah itu baru bisa mengikuti ujian Advokat yang diselenggarakan PT yang sama, jika dinyatakan lulus serta sudah memenuhi persyaratan akan diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman.

Setelah lahirnya UU Advokat No. 18 tahun 2003 rekrutmen advokat dilakukan oleh OA yang mengacu kepada UU Profesi Advokat tersebut. Historikal kewenangan tersebut berawal dari pembicaraan FKAI (Forum Komunikasi Advokat Indonesia) dengan Ketua MA-RI Prof. Bagir Manan dan disetujui untuk melakukan ujian advokat secara bersama pada tahun 2002 setelah FKAI melebur menjadi KKAI. Akhirnya konsep advokat dan mekanisme rekrumen advokat tersebut dimasukkan dalam UU Advokat Tahun 2003.

Jadi advokat merupakan produk dari OA. Eksistensi awal seorang advokat ditentukan oleh OA yang melahirkannya. Jika OA berani menyimpang dari aturan UU Advokat dan menyalah-tafsirkan SKMA No. 73 serta menganggap surat tersebut sederajat dengan UU atau dengan kata lain bisa menggantikan kedudukan UU Advokat, maka  muncullah musibah seperti yang terjadi saat ini. Dimana advokat begitu gampangnya diproduksi secara instan oleh OA yang didirikan malah tanpa melalui prosedur yang benar dan juga tidak mengacu kepada ketentuan pasal 28 UU Advokat, melainkan mengacu kepada UU Ormas No. 17 tahun 2013. OA yang tumbuh menjamur saat ini di seluruh Indonesia, yang mungkin layak dikatakan sebagai “OA rasa Ormas”.

Nomenklatur, Makna dan Eksistensi Surat Ketua MA No.73

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan