Hukum  

Perpanjangan Penahanan Dinilai Semena-mena, Muhammad Yuntri Praperadilkan PT Jakarta

Kasus Penganiayaan Anak di Bawah Umur. Advokat Ormas/ PT Jakarta Praperadilan
Muhammad Yuntri, SH, MH. (Dok.SP)

“Perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakrta yang keempat kalinya dalam kasus ini adalah tidak benar, karena kewenangan Pengadilan Tinggi menurut ketentuan Pasal 28 dan 29 KUHAP hanyalah 30 hari ditambah 60 hari.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Advokat Muhammad Yuntri melayangkan gugatan praperadilan terhadap Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan Lembaga Permasyarakatan (Lapas) terkait perpanjangan masa penahanan terhadap kliennya oleh Wakil Ketua PT Jakarta yang dinilai semena-mena menyalahi aturan hukum yang berlaku.

Ucapan Sudut Pandang untuk Bupati Pasuruan

Praperadilan terhadap PT Jakarta ini dilayangkan advokat senior di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Sidang perdana praperadilan telah digelar pada Kamis (13/3/2025) disidangkan oleh Hakim Tunggal Achmad Rasyid Purba.

Yuntri menuturkan, praperadilan ini diajukannya untuk memeriksa apakah perpanjangan penahanan yang dilakukan oleh Wakil Ketua PT Jakarta sah atau ilegal. Pasalnya, menurutnya, perpanjangan tersebut bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Dalam kasus ini terdakwa pada saat penyidikan tidak ditahan, baru ditahan saat P-21 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Rutan Salemba.

“Selama pemeriksaan persidangan, JPU menahannya 20 hari, diperpanjang oleh Hakim PN 30 hari, diperpanjang oleh Hakim PN 60 hari, diperpanjang pertama oleh Ketua PT Jakarta 30 hari, perpanjangan kedua oleh Ketua PT Jakarta 30 hari, perpanjangan ketiga oleh Ketua PT Jakarta 30 hari, dan perpanjangan keempat oleh Wakil Ketua PT Jakarta 60 hari,” ujar Yuntri dalam keterangannya, Jumat (14/3/2025).

Yuntri menyatakan bahwa perpanjangan penahanan tersebut menimbulkan kejanggalan. Padahal, sesuai ketentuan KUHAP masa penahanan terdakwa hanyalah 180 hari.

“Akan tetapi sampai saat ini terdakwa sudah ditahan lebih 180 hari, yaitu 199 hari per hari ini. Inilah tujuan dilakukannya praperadilan ini,” ungkap Yuntri.

Ia pun menanyakan apakah penahanan terdakwa suatu kewajiban atau suatu kebutuhan. Kalau hanya kebutuhan, maka hal itu sudah selesai dilakukan pada saat penyidikan dan pemeriksaan perkara di Majelis Hakim PN.

“Semestinya terdakwa dilepaskan dari tahanan dan minta jaminan dari keluarganya agar tidak melarikan diri atau mengulangi perbuatan itu lagi. Sedangkan jika dianggap suatu kewajiban, maka inilah salah satu penyebab over kapasitas Rumah Tahanan Negara,” kata Yuntri.

Bahkan, lanjutnya, ada Rutan yang kapasitas warga binaannya cuma 1.500 orang malah menampung sampai 3.000 orang. Hal itu sangat tidak manusiawi dan juga berdampak kepada Anggaran APBN.

Lebih lanjut Yuntri mengungkapkan, praperadilan ini juga bertujuan untuk menguji agar hakim atau institusi yang berwenang menahan terdakwa harus teliti akan ketentuan KUHAP yang mengatur tentang penahanan tersebut.

“Bukan berarti bisa bertindak semena-mena terhadap diri terdakwa untuk menahannya tanpa dasar hukum yang jelas atau Onvoldoende gemotiveerd, tidak cukupnya pertimbangan hukum bagi hakim untuk menahan terdakwa,” ujarnya.

Uji Materiil di MK

Selain itu, kata Yuntri, pihaknya akan melakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang subjek termohon praperadilan ini yang tidak hanya terhadap Penyidik Polri atau JPU. Melainkan bisa juga dilakukan terhadap Hakim atau institusi Pengadilan yang tidak punya dasar atau diduga melanggar ketentuan KUHAP.

“Dengan demikian, dasar praperadilan diharapkan tidak saja menyangkut masalah salah tangkap, salah tahan, mengingat locus dan tempos delicti. Melainkan terhadap status tersangka dan mestinya termasuk tidak sahnya perpanjangan penahanan oleh Hakim atau Institusi Pengadilan,” tandasnya.

Ia menjelaskan, untuk masalah praperadilan ini, semestinya hakim juga melakukan penemuan hukum baru (rechtvinding). Mengingat hal ini terkait dengan hak asasi manusia (HAM) pada diri terdakwa. Seperti halnya pernah dilakukan Hakim Sarpin Rizaldi tahun 2015 lalu, yaitu menjadikan status tersangka sebagai objek Praperadilan yang ternyata dikuatkan oleh putusan MK-RI dan sampai saat ini dikenang jasanya oleh seluruh masyarakat Indonesia.

“Dengan rechtvinding ini akan bermakna bagi masyarakat bahwa hakim tunggal praperadilan itu tidak hanya bertugas secara rutinitas seperti biasa dalam memutus perkara sah tidaknya penangkapan, penangkapan atau salah prosedur ataupun salah locus delicti atau tempos delicti. Melainkan betul-betul jeli dan teliti melihat fakta yang sebenarnya apakah semua tindakan tersebut sudah sesuai ketentuan KUHAP UU No.8 Tahun 1981,” papar alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad) Bandung itu.

Ia menambahkan, jika ada yang tidak sesuai maka tindakan aparat penegak hukum haruslah dibatalkan dan berdampak kepada dibebaskannya tersangka atau terdakwa dari jeratan hukum JPU. Sedangkan dalam perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua PT yang keempat kalinya dalam kasus ini adalah tidak benar, karena kewenangan Pengadilan Tinggi menurut ketentuan pasal 28 dan 29 KUHAP hanyalah 30 hari ditambah 60 hari.

“Jadi perpanjangan penahanan yang ketiga ataupun yang keempat haruslah ada alasan yang mendasarinya sesuai prosedur yang berlaku,” tegasnya.

Ia kembali mengungkapkan, kasus ini baru akan berproses di tingkat kasasi, semestinya kewenangan dari Hakim Agung untuk perpanjangan penahanan. Bukan lagi oleh Wakil Ketua PT yang telah mencaplok kewenangan Hakim Agung.

“Makanya tindakan ilegal perpanjangan penahanan kliennya oleh Wakil Ketua PT Jakarta itu harus dinyatakan tidak sah dan masuk kategori Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan tindakan sewenang-wenang,” katanya.

“Bahkan putusan banding dijatuhkan pada tanggal 4 Februari 2025, dan jangka waktu penahanan terdakwa juga jatuh pada tanggal 4 Februari 2025 juga. Akan tetapi kenapa Wakil Ketua PT Jakarta malah memperpanjang lagi masa penahanan terdakwa dari tanggal 5 Februari 2025 sampai tanggal 4 April 2025 ?. Hal ini menjadi tanda tanya bagi masyarakat akan ketidakpastian hukum atas penetapan yang diterbitkan oleh Wakil Ketua PT Jakarta tersebut,” tambahnya.

Tindakan ini telah mendapat atensi dari Badan Pengawas Hakim MA-RI yang meminta ketua PT Jakarta untuk mengklarifikasi tindakan bawahannya itu dan menyampaikan klarifikasinya dalam batas waktu 14 hari kepada badan KIMWAS MA-RI.

Harus Sesuai KUHAP

Yuntri juga menyayangkan pihak Rutan terkait perpanjangan penahanan tersebut. Semestinya Rutan teliti menerima perintah dari institusi yang memintanya untuk menempatkan warga binaan.

“Apakah sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP UU No.8 Tahun 1981. Tidak hanya berpatokan pada Surat Edaran MA Tahun 1987, dimana SEMA hanyalah bersifat internal di lingkungan peradilan, dan tidak masuk dalam hirarkhis per UU di Indonesia berdasarkan UU No.12 Tahun 2011, yang sangat jauh tingkatannya dibandingkan ketentuan KUHAP yang berlaku sebagai UU yang mengikat seluruh bangsa Indonesia yang statusnya nomor dua setelah UUD’45,” terangnya.

Jadi dalam rechtvinding ini, Yuntri berharap penegak hukum hendaknya bertindak dengan slogan “biasakan benar dan jangan membenarkan kebiasaan yang belum tentu benar.”. Momentum praperadilan ini juga diharapkan semua aparat penegak mulai dari penyidik kepolisian, jaksa, maupun hakim dari seluruh tingkatan pertama, banding maupun kasasi hendaknya bekerja secara teliti dan profesional. Karena tidak tertutup kemungkinan produk hukum mereka dalam melakukan penahanan maupun memperpanjang status tersangka atau terdakwa akan rawan untuk dilakukan praperadilan.

“Sehingga akan muncul nilai-nilai profesional yang baru ke depan dalam bertindak dan menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Tidak hanya bisa memaksakan kehendak dan berlindung di balik ketentuan UU yang salah dalam menafsirkan penerapannya sebagai suatu justifikasi tindakannya itu akan mungkin akan sangat merugikan HAM bagi tersangka atau terdakwa yang belum tentu bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” papar Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Itu.

Terkait praperadilan itu, Humas PT Jakarta Sugeng Riyono dikonfirmasi via WhatsApp menyatakan bahwa bisa dilihat argumentasi dalam persidangan prapradilan itu seperti apa, karena hal itu menyangkut masalah penetapan penahanan.

“Kalau memang tidak berwenang nantikan akan diputuskan oleh hakimnya dalam persidangan. Apakah memenang ada perbuatan kewenangan atau yang digugat, karna sudah memang kelebihan yang seharusnya tidak ditahan tapi ditahan ya, nanti kita lihat dalam persidangan aja ya bagaimana prosesnya,” kata Sugeng saat dikonfirmasi.(tim)

BACA JUGA  Kejagung Tetapkan Tiga Tersangka Baru Korupsi BTS Kominfo