‘Goodwill’ dan Negara Gagah-Gagahan’ Antara Startup Menjual Angin dan Negara Membeli Gengsi

Startup
Dr Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)

“Kapitalisme bekerja bukan sebagai sistem produksi nilai, tetapi sebagai sistem pertunjukan: siapa yang bisa tampil paling meyakinkan, dialah yang mendapatkan modal”

Oleh : Dr. Kemal H Simanjuntak.MBA

Dalam ekosistem startup yang sedang digandrungi, narasi besar yang diamini banyak pelaku usaha adalah ini jalan hidup startup sejati adalah menuju IPO. Seolah itu adalah akhir dari segala pencapaian dan puncak gunung emas bagi perusahaan yang bahkan belum tentu mencetak laba. Padahal, jika disibak lebih dalam, IPO hanyalah gerbang masuk ke dunia lain dunia persepsi dan ilusi yang dibungkus rapi oleh teknokrat pasar dan seniman akuntansi.

IPO memang mahal. Bukan hanya dari segi biaya administratif atau hukum, tetapi terutama dari segi pengelolaan persepsi. Segala hal dikemas dalam bentuk narasi: pertumbuhan pengguna, potensi pasar, teknologi disruptif, dan berbagai istilah bombastis lainnya. Dalam tahap ini, proses yang disebut book building memainkan peran sentral sebuah panggung untuk menciptakan ilusi permintaan, menetapkan harga yang seolah-olah wajar, dan menjual keyakinan bahwa startup tersebut adalah investasi masa depan.

Di balik tirai, rekayasa akuntansi bekerja tanpa sorotan. Goodwill, aset tak berwujud yang seharusnya mencerminkan keunggulan bersaing, justru menjadi alat utama untuk menggelembungkan valuasi. Tak sedikit startup yang memanfaatkan goodwill untuk membangun kekayaan semu. Nilai-nilai yang dilekatkan pada merek, basis pengguna, atau potensi teknologi yang belum terbukti, dimasukkan sebagai aset, padahal kenyataannya hanyalah proyeksi yang sangat spekulatif.

Maka tidak mengherankan jika valuasi perusahaan bisa melambung ratusan kali lipat dari pendapatan aktualnya.
Begitu melantai di bursa dan memperoleh kapitalisasi pasar yang tinggi yang disebut marcap perusahaan tersebut memperoleh kekuatan finansial baru. Ia bisa menarik sumber daya dari pasar uang, menerbitkan obligasi, melakukan merger, bahkan menciptakan entitas baru berdasarkan nilai pasar yang sepenuhnya dibentuk oleh persepsi.

BACA JUGA  Faisal Basri: Pemulihan Ekonomi Tidak Merata

Dalam skenario ini, kapitalisme bekerja bukan sebagai sistem produksi nilai, tetapi sebagai sistem pertunjukan: siapa yang bisa tampil paling meyakinkan, dialah yang mendapatkan modal. Ekonom dan investor ternama Warren Buffett pernah menyindir valuasi startup yang mengandalkan “Revenue tanpa profit dan narasi tanpa bukti.” Ia menyebut ini sebagai bentuk “financial euphoria syndrome” yang bisa membutakan investor publik. Dalam konteks ini, ilusi lebih penting daripada realita dan celakanya, banyak yang bersedia membeli mimpi.

Sosiolog asal Korea Selatan Byung-Chul Han bahkan menyebut dunia startup dan platform sebagai bagian dari “masyarakat prestasi yang semu,” di mana pengakuan lebih berharga dari produksi nyata. Kita tidak lagi mengejar nilai-nilai produktif, tetapi lebih suka mengejar branding dan visibility. Dalam konteks IPO startup, branding korporat dan janji masa depan cukup untuk menggiring modal publik masuk.

Contoh Kasus Lokal: IPO Bukalapak

Kita tentu masih ingat betapa euforia menyelimuti IPO Bukalapak di tahun 2021. Dengan nilai emisi saham sebesar Rp21,9 triliun, ini merupakan salah satu IPO terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia. Selama proses book building, valuasi Bukalapak terbang tinggi, digadang-gadang sebagai tonggak sejarah unicorn lokal memasuki kancah publik.

Namun hanya berselang beberapa bulan, harga saham Bukalapak merosot tajam hingga turun lebih dari 70% dari harga IPO.

Investor ritel merugi, sementara pemodal awal dan insider telah melakukan exit strategy yang rapi. Bukalapak tidak sendirian. Banyak startup teknologi yang melantai di bursa pada masa yang sama mengalami tekanan serupa, karena pasar mulai menyadari bahwa fundamental keuangan tidak mendukung valuasi awal yang bombastis.

BACA JUGA  Prabowo Ingin Indonesia Bersahabat dengan Semua Negara

Beberapa pengamat, seperti Hendri Saparini, ekonom dari CORE Indonesia, menyatakan bahwa valuasi startup sering kali tidak rasional karena terlalu mengandalkan proyeksi, bukan kinerja. Ia menekankan pentingnya pemerintah dan regulator untuk memberikan edukasi kepada investor publik agar tidak menjadi korban narasi kosong.

Kegagapan Negara dan Ilusi Inovasi

Namun di balik gegap gempita startup yang melesat ke bursa, ada kenyataan getir yang tersembunyi di balik layar: riset dan pengetahuan tidak pernah menjadi fondasi utama. Sebagian besar negara yang ingin membangun ekosistem inovatif paham bahwa riset adalah kunci. Tanpa itu, segala bentuk inovasi hanya bersifat imitasi atau pengejaran tren sesaat. Sayangnya, Indonesia justru memperlakukan riset seperti beban anggaran. Proporsi belanja riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 hanya sekitar 0,23%, jauh di bawah Singapura (2%), Malaysia (1,4%), dan bahkan Vietnam yang sudah menyentuh 0,5%. Indonesia berada di posisi terbawah dari 40 negara dalam survei World Bank terkait intensitas riset terhadap PDB.

Prof. Emil Salim, tokoh ekonomi dan lingkungan hidup, pernah menegaskan bahwa tanpa riset, kita hanya akan jadi bangsa yang terus tergantung pada teknologi impor dan narasi luar. Ia menyebut kondisi ini sebagai “bangsa peniru dengan semangat bangga- banggaan,” yang artinya, kita suka tampak hebat tapi tidak punya isi.

Negara ini gemar sekali berbicara tentang digitalisasi, G20, revolusi industri 4.0, dan transformasi ekonomi. Tetapi ketika ditanya berapa anggaran riset nasional, jawabannya bikin miris. Ketika ditanya berapa dana untuk kecerdasan buatan, kebijakan data nasional, atau pengembangan teknologi pangan, jawabannya sering kali nihil atau tak jelas arah.

Dalam situasi ini, riset bukan hanya tidak diprioritaskan, tapi juga dianggap tidak seksi dalam narasi pembangunan. Ketika yang dielu-elukan adalah unicorn dan valuasi, siapa yang peduli pada laboratorium dan jurnal ilmiah?

BACA JUGA  Naikkan Tarif Tol di Tengah Pandemi, Ridwan Kamil Kritik Jasa Marga

Akhir Kata: Menjual Angin, Membeli Gengsi

Ironi ini memperlihatkan bagaimana ekonomi modern bisa dijalankan bukan atas dasar produksi nilai, tetapi produksi ilusi. Dan lebih ironis lagi, negara pun ikut terjebak dalam permainan ini
membanggakan status, mencitrakan pertumbuhan, tapi lupa membangun kekuatan fundamental.

IPO menjadi simbol keberhasilan palsu; dan status G20 menjadi simbol kebanggaan yang kosong. Startup menjual angin dan negara membelinya atas nama kebanggaan nasional. Maka jangan heran jika hari ini kita lebih sibuk mengejar “goodwill” di neraca keuangan, ketimbang mengejar good science di ruang riset.

Lebih senang memoles aplikasi yang viral, daripada mendanai universitas yang berinovasi. Sementara negara tetangga membangun ekosistem riset sejak bangku SD, kita justru membangun kampanye digital yang penuh gaya.

Inilah wajah “modernitas instan” kita: startup lari ke bursa, negara lari ke panggung internasional, tapi keduanya lupa bahwa dasar dari semua kemajuan tetaplah ilmu pengetahuan yang tidak bisa dibangun dengan goodwill atau persepsi, melainkan dengan kerja keras dan riset jangka panjang.

*Penulis Dr Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)