Oleh: Stefanus Gunawan – Advokat
Sejak media sosial (medsos) menyebar di tengah masyarakat, sejak itu pula sebagian besar penggunanya tidak memanfaatkan untuk tujuan positif, berguna bagi berkehidupan sosial, tapi malah disalahgunakan. Mulai dipakai untuk melakukan penipuan, mengunggah visual pornografi, sampai menebar kebencian, fitnah dan menindas (bullying) secara sengaja.
Dari bentuk pemanfaatan yang kurang layak, kasus menebar kebencian, fitnah dan penindasan terhadap orang lain, secara kuantitas cukup banyak dilakukan masyarakat. Korbannya, mulai warga masyarakat biasa, artis, tokoh, politisi, pejabat hingga presiden.
Konyolnya, lambang negara seperti presiden digradasi dengan pernyataan, komentar dan tidakan kurang terpuji oleh pengguna medsos. Bahkan jadi bulan-bulanan dalam bentuk meme yang kurang santun, dan cenderung penghinaan.
Padahal suatu lambang negara semestinya dihormati, bukan malah sebaliknya dijadikan ajang caci maki serta tindakan kurang terpuji lainnya. Seolah-olah presiden itu warga negara biasa.
Perbuatan seperti itu, menurut saya sangat berbahaya, dan harus dicegah. Jika dibiarkan dapat dipastikan sebagai tindakan penghambatan atas perkembangan suatu bangsa. Terlebih lagi banyak bermunculan hasutan dalam bentuk opini, seakan presiden pelanggar hukum.
Selain presiden, kalangan artis paling banyak mendapat cacian, makian, kebencian dan fitnah dengan tanpa alasan yang jelas. Tindakan seperti kebencian dan hasutan dalam bentuk penyebaran secara luas di medsos, seyogianya dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Bahkan juga bisa merusak tatanan keharmonisan kehidupan bangsa yang selama ini terjaga dengan baik.
Menurut hemat saya, mengingat hasutan melalui medsos, atau kejahatan berpiranti jejaring internet itu berpotensi mengganggu eksistensi NKRI. Sebaiknya Kepolisian melakukan penindakan sebagaimana ketentuan hukum. Penzoliman seperti itu tidak bisa dibiarkan dan tidak bisa ditolerir.
Minta Maaf
Jika saya amati dari satu kasus ke kasus yang dilakukan pengguna medsos sepanjang lima tahun belakangan ini, para penghasut kebencian, penyebar fitnah dan penindas, setelah mendapat somasi atau tuntutan dari korbannya, atau mendapat banyak sorotan (viral) dari netizen, buntutnya minta maaf bermaterai Rp10.000. Kemudian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Permintaan maaf wajar-wajar saja, tapi proses hukum harus tetap berjalan. Pengadilan yang akan menentukan, apakah permintaan “maaf” dapat meringankan atau tidak pelakunya.
Apabila hanya ditempuh melalui jalan damai (restorative justice) atau permintaan maaf bermaterai, hal itu tentu saja dapat melukai rasa keadilan korban meme internet. Sebab, fitnah dan pencemaran nama baik yang diunggah melalui medsos bersifat publis. Dapat diketahui masyarakat secara luas. Dampaknya pun secara psikologis dapat mengganggu kondisi kejiwaan korban.
Artinya, kejahatan internet seperti itu tidak cukup minta maaf bermaterai atau jalan damai. Harus diproses hukum dan pelakunya mesti ditahan. Kasus ini sudah diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan hukum lainnya.
Surat Edaran Kapolri
Yang lebih mengejutkan, pada tanggal 19 Februari 2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran (SE) No. SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif. Di mana isinya, disebutkan jika pelaku fitnah dan pencemaran melalui piranti internet minta maaf, persoalan bisa diselesaikan melalui jalan damai dan jika terjadi proses hukum tidak perlu ditahan.
Dalam kaitan tindak pidana melalui medsos, apalagi ancaman pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE empat tahun dan atau denda paling banyak Rp750 juta, menurut pandangan saya sangat tidak mewakili rasa keadilan. Tentunya tidak membuat jera, bahkan berpotensi semakin meningkatkan kuantitas kasusnya. Karena itu, sebaiknya pelaku harus ditahan sebagaimana ketentuan undang-undang.
Terlebih lagi kasus fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap publik figur (artis), pejabat dan presiden, apakah cukup meminta maaf dengan materai lalu kasusnya selesai tanpa proses hukum?. Penyebaran kebencian terhadap simbol negara (presiden) tidak bisa diselesaikan cukup melalui restorative justice. Pelaku harus ditahan dan dihukum penjara. Tidak bisa tidak.
Seperti diketahui, Surat Edaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta jajarannya agar mengutamakan pendekatan restorative justice untuk perkara yang menggunakan UU ITE. Hal ini diprioritaskan terhadap para pihak yang telah mengambil langkah damai. langkah ini adalah komitmen dalam menerapkan penegakan hukum dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Yang menarik dan banyak mendapat sorotan adalah pernyataan Kapolri tentang tak perlunya penahanan bagi kasus fitnah, kebencian dan pencemaran jika pelakunya minta maaf. Begitu juga apabila kasusnya berlanjut ke pengadilan.
“Kecuali bagi kasus yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme,” tulis Kapolri dalam Surat Edaran.
Diharapkan jajarannya dalam menerima laporan masyarakat harus bisa membedakan antara kritik, masukan, hoaks, fitnah, kebencian dan pencemaran yang dapat dipidana. Selanjutnya ditentukan langkah yang akan diambil.
Ditegaskan Kapolri dalam Surat Edaran, pada saat menerima laporan penyidik diharapkan dapat berkomunikasi dengan para pihak, terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
Dalam kaitan SE Kapolri tersebut, saya selaku penulis menyerahkan penilaian kepada masyarakat, apakah perlu diterima atau ditarik kembali atau direvisi?.
Penulis adalah:
Ketua DPC Peradi Jakarta Barat (Peradi SAI)
Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek
Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI)