Hemmen
Hukum  

Kejahatan Berteknologi dalam Pandangan Stefanus Gunawan

Stefanus Gunawan, S.H., M.Hum (Foto:SP)

“Aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, harus lebih tegas lagi menindak para pelaku kriminal satu ini. Dan hakim harus menjatuhkan hukuman seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera. Sebab kejahatan ini bukan hanya meresahkan masyarakat, tapi juga merusak sendi-sendi perekonomian negara.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Maraknya tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat menjadi perhatian khusus Advokat senior, yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI) Stefanus Gunawan, S.H. M.Hum. Secara khusus, Pengacara bersahaja ini menyoroti kejahatan berteknologi (cyber crime) yang kian marak di tengah kemajuan teknologi informasi.

“Kejahatan jalanan seperti begal, rampok, penodongan, dan perampasan kerap menimbulkan rasa takut dan kecemasan masyarakat. Sebab, selain merugikan material, kadang menyakiti fisik korbannya hingga menghilangkan nyawa. Tindakan kriminal yang satu ini dilakukan secara terang-terangan oleh pelakunya,” kata Stefanus Gunawan, dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (9/2/2022).

“Tapi tidak demikian halnya dengan kriminal berteknologi. Tindak pidananya memang tidak secara langsung menimbulkan rasa takut dan kecemasan, karena dilakukan tidak secara kasat mata, dan tidak menyebabkan fisik terluka, atau nyawa melayang akibat dianiaya,” sambung Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Suara Advokat Indonesia (SAI) Jakarta Barat ini.

Menurut Stefanus, kejahatan teknologi atay cybercrime sekalipun membuat rasa takut para korbannya, tapi kejahatan ini bersifat silent killer, membunuh dalam diam. Seperti halnya penyakit kanker, muncul tanpa gejala, tapi dapat menyebabkan kerusakan permanen organ tubuh dan kejiwaan manusia hingga berujung kematian.

“Tindakan kriminal berteknologi oleh penjahatnya dapat dilakukan di atas tempat tidur atau sambil santai dengan secangkir kopi serta sepiring cemilan. Tanpa perlu bawa senjata api, pisau atau golok yang digunakan pada kejahatan konvensional. Hebatnya lagi, pelaku kejahatan berteknologi agak sukar disentuh hukum jika tindakannya bersifat global, atau lintas antar negara. Sulit menentukan yuridiksi hukum terhadap pelakunya. Ini kerap terjadi pada kasus pidana ekonomi,” papar Advokat peraih gelar Magister Hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Ia menuturkan, sekalipun kejahatan berteknologi sifatnya santun, dalam diam, tapi kerugian yang ditimbulkan jauh lebih luas dibandingkan dengan tindakan kriminal jalanan yang hanya merugikan seputar individu. Dampak kerugiannya, ekonomi, sosial, politik maupun budaya, bahkan tak tertutup kemungkinan negara bisa bangkrut.

“Mengingat dampak kriminal berteknologi mengerikan bagi perorangan, perusahaan, lembaga maupun pemerintahan, sejauh ini berbagai pihak yang mengerti sangat berbahayanya kejahatan yang satu ini terus berusaha melakukan penguatan perisai komputerisasinya. Hal ini agar sistem yang dipergunakan tidak mudah diretas oleh para bandit canggih. Meskipun begitu, tetap saja kebobolan oleh para peretas ulung,” kata Stefanus, yang juga Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek.

Ia mengungkapkan, seperti diketahui kejahatan berteknologi dengan berbasis komputer dan piranti komunikasi (internet) terus meningkat dari hari ke hari, baik secara kuantitas (jumlah) maupun kualitas. Modus kejahatannya hanya dapat dimengerti oleh orang yang paham serta menguasai bidang teknologi teknologi informasi. Sementara pelakunya tidak mudah teridentifikasi, mengingat sangat menguasai teknologi komputer dan internet.

Ketentuan Hukum

Stefanus menerangkan, dengan berkembangnya piranti komputer atau jaringan komunikasi handphone di tengah masyarakat, maka jenis kejahatan cyber crime juga semakin luas. Bukan hanya sebatas penipuan, tindak pidana lain juga terjadi. Di antaranya pembobolan kartu kredit dan rekening bank nasabah, penipuan identitas, pemalsuan bukti pembayaran cek, penipuan lelang dan kepercayaan (confidence fraud) dan pelanggaran hak cipta.

“Tidak hanya tindak pidana umum yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tapi dilakukan secara daring atau online, misalnya fitnah, menebar berita bohong (hoaks) dan kebencian, penghinaan, pornografi dan lainnya,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan hukum kejahatan berteknologi ini terbagi dua. Pertama, mengatur tentang transaksi elektronik, dan kedua tentang masalah suatu perbuatan yang dilarang (cybercrimes).

“Misalnya, tindakan fitnah, menebar berita bohong (hoaks) dan kebencian, serta perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan dan pornografi kini menjadi bagian dari kejahatan berteknologi jika dilakukan menggunakan jejaring internet seperti piranti komputer komunikasi (laptop), atau peralatan seperti telepon genggam (handphone),” jelas Stefanus.

Stefanus Gunawan, S.H.,M.Hum (Foto:dok.pribadi)

Ia menyebutkan, jumlah tindakan pidana cybercrime jauh lebih banyak dibandingkan kejahatan transaksi elektronik atau jenis ekonomi. Kepolisian Indonesia mencatat, bahwa jenis kejahatan yang sudah diatur di dalam (KUHP) selama lima tahun belakangan ini terus meningkat.

“Kepolisian mencatat, pidana dengan piranti teknologi pada tahun 2017 ada 1.338 kasus, lalu pada 2018 menjadi 2.552 kasus, kemudian pada 2019 meningkat jadi 3.436 kasus. Dan laporan masyarakat atas tindak pidana lewat jejaring komputer komunikasi ini hingga akhir Desember 2021 hampir mendekati 5.000 kasus. Artinya, kasus pidana umum dalam konteks cybercrime melonjak sampai 300 persen,” katanya.

Sementara, tambahya, kejahatan ekonomi seperti penipuan, pembobolan kartu kredit dan rekening bank nasabah, penipuan identitas, pemalsuan bukti pembayaran cek, penipuan lelang dan kepercayaan (confidence fraud) secara daring serta pelanggaran hak cipta, secara kuantitas masih bisa dihitung dengan jari setiap tahunnya.

UU ITE

Stefanus kembali menjelaskan, sebelum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 diberlakukan pada 21 April 2008, kemudian diperbaiki menjadi UU ITE No.19 Tahun 2016, pidana umum seperti penghinaan (perbuatan tidak menyenangkan), fitnah, pencemaran, dan lainnya sudah diatur di dalam KUHP.

“Ancaman terhadap pidana umum yang termaktub di UU ITE memang jauh lebih tinggi. Misal, kasus pencemaran. Pasal 310 ayat (1) KUHP sanksi pidana kurungan badan sembilan bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500. Sedangkan hukuman pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE penjara empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750 juta,” ungkapnya.

“Tapi anehnya, meskipun ancaman pidana UU ITE tinggi, sepertinya tidak membuat takut masyarakat. Justru perbuatan pelanggaran hukum dengan menggunakan piranti jejaring internet tidak berkurang, malah terus bertambah,” lanjut Advokat yang berkantor di Jalan Arjuna, Jakarta Barat ini.

Stefanus mengatakan, hal ini berkaitan ada pandangan bahwa pengungkapan pendapat lewat jejaring internet di media sosial (medsos) merupakan ekspresi atau sikap atas suatu kejadian. Bukan suatu kebencian, fitnah atau pencemaran yang bersifat perbuatan terlarang atau pelanggaran hukum.

“Lantaran anggapan seperti itu, masyarakat sepertinya tak peduli dengan ancaman pidana UU ITE. Buntutnya, timbul sikap suka hati menyampaikan ekspresi lewat Medsos, meski kemudian muncul laporan pidana dari orang yang merasa dirugikan. Seperti diketahui, sejauh ini banyak artis, tokoh masyarakat dan pejabat yang merasa dicemarakan nama baiknya di Medsos, melapor pihak yang merugikan dirinya ke polisi,” bebernya.

Memang tak disangkal lagi, kata Stefanus, perkembangan teknologi memunculkan banyak media sosial berjejaring internet di tengah masyarakat. Dan hal ini seolah-olah memberikan kebebasan berekspresi penggunanya. Padahal, jika piranti itu disalahgunakan atau diartikan lain, maka ekspresi yang notabene menyerang harkat dan martabat orang lain, ada sanksi hukumnya.

“Fenomena seperti itu, yang kini merambah di tengah masyarakat, dan sanksi hukuman UU ITE yang begitu tinggi, sepertinya tak menjadi ancaman. Orang tak lagi segan membuli orang lain dengan cacian, atau kalimat nyinyir. Orang tak lagi ragu menebar kebencian dan fitnah terhadap orang lain. Mereka sesuka hatinya, atau tak lagi mengenal batas etika dan norma aturan bersosial, menggunakan piranti berteknologi tersebut,” terang Stefanus.

Dalam kaitan sanksi hukum atas kejahatan berteknologi atau cybercrime, ia berharap aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, harus lebih tegas lagi menindak para pelaku kriminal satu ini.

“Dan hakim harus menjatuhkan hukuman seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera. Sebab kejahatan ini bukan hanya meresahkan masyarakat, tapi juga merusak sendi-sendi perekonomian negara,” pungkas penerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari ‘Anugerah Indonesia’ dan ‘Asean Development Citra Award’s dari Yayasan Gema Karya ini.(red)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan