“Kliping berita di dalam ketentuan pidana secara umum belum bisa disebut barang bukti, paling bisa dijadikan petunjuk. Alat bukti pidana yang sah bagi peradilan pidana di Indonesia, adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.”
Oleh: Stefanus Gunawan, S.H.,M.Hum.
Akhir-akhir ini banyak elemen masyarakat melakukan pelaporan maupun gugatan perdata terhadap pejabat atau institusi pemerintah dan anggota masyarakat hanya bermodalkan kliping atau link berita media massa (online). Tanpa menyertakan bukti otentik yang dapat dibenarkan secara hukum, sebagaimana ketentuan hukum tentang alat bukti yang sah.
Alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan hukum, diatur di dalam: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUH Pidana), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUH Perdata), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah direvisi menjadi UU No. 19 Tahyn 2016, UU Mahkamah Konstitusi (MK) dan perundangan hukum lainnya.
Misalnya, salah satu contoh kelompok masyarakat yang melapor dugaan perbuatan pidana pejabat menggunakan kliping berita berisi pernyataan orang dan hasil investigasi, yakni Partai Adil Makmur (Prima) dan Pro Demokrasi (Prodem). Dua elemen ini melaporkan Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polda Metro Jaya. Mereka mendesak agar mengusut dua pembantu Presiden Joko Widodo tersebut yang diduga berbisnis pengadaan alat tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
Atas laporan itu, pertanyaannya, apakah dapat dibenarkan secara hukum laporan pidana hanya berdasarkan bukti kliping berita?.
Dalam konteks ini, nampaknya kliping berita di dalam ketentuan pidana secara umum belum bisa disebut barang bukti, paling bisa dijadikan petunjuk. Alat bukti pidana yang sah bagi peradilan pidana di Indonesia, adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. KUHA Pidana mengaturnya di Pasal 184 ayat (1), dan Pasal 188 yang mengatur tentang alat bukti petunjuk. Tak ada disebutkan berita atau informasi.
Begitu juga pada KUHAPerdata, alat bukti yang termaktub di dalam proses peradilan perdata di antaranya berupa dokumen, surat, keterangan saksi dan ahli, persangkaan, pengakuan, sumpah dan pemeriksaan setempat. Ketentuan hukum ini diatur pada Pasal 1866 dan Pasal 164.
Informasi Elektronik
Meski di KUHAPidana/Perdata tak menyebut kliping berita sebagai alat bukti, namun secara khusus informasi elektronik (link berita media online) diatur dalam Pasal 5 UU ITE. Pada pasal itu disebutkan, informasi, dokumen atau hasil cetakan elektronik merupakan alat bukti hukum yang sahi di persidangan. Sejak perundangan ini diberlakukan pada tahun 2008, kini sudah lazim alat bukti dipakai di peradilan Indonesia.
Artinya, ketentuan hukum tersebut dapat dijadikan salah satu pengakuan alat bukti elektronik, baik untuk kasus pidana maupun perdata. Sebab, menurut perundangan ini, informasi maupun dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Lantas, apakah link berita sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 UU ITE dapat dijadikan alat bukti, atau setidaknya sebagai pintu masuk bagi proses kasus pidana di pengadilan?.
Secara hukum, sebagaimana ketentuan hukum, Pasal 5 UU ITE dapat diterima dan bisa dijadikan penentuan pada proses persidangan di pengadilan. Sebab, sejauh ini proses hukum pidana terkait kasus media sosial umumnya menggunakan ketentuan hukum tersebut, yaitu pembuktian berupa informasi, dokumen atau hasil cetakan elektronik.
Namun begitu, masalah link maupun kliping berita dalam konteks sebagai alat bukti hukum, kembali kepada kewenangan hakim yang mengadili. Pengetahuan hakim adalah sesuatu yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Perdebatan
Terus terang, kliping atau link berita dapat dijadikan alat bukti atau tidak, masih menjadi perdebatan para pakar hukum. Argumentasainya berkutat pada ketentuan hukum KUHAPidana dan Perdata, UU ITE, dan UU Mahkamah Konstitusi (MK). Intinya, apakah berita itu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum atau tidak.
Ada ahli hukum mengatakan, kliping atau link berita umumnya berasal dari pernyataan orang (narasumber). Setiap pernyataan atau komentar yang dijadikan berita, belum tentu dapat dijadikan bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena bukti dalam bentuk link atau kliping berita, tidak bisa memenuhi kualifikasi di persidangan. Dan tidak cukup kuat argumentasi hukumnya, kecuali jika kemudian disusul bukti otentik yang dapat mendukung pernyataan tersebut.
Pakar hukum lainnya mengingatkan, berdasarkan UU ITE dan UU MK disebutkan, bahwa informasi elektronik (link berita), dokumen elektronik dan hasil cetakan elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Keberadaannya tak bisa terbantahkan, meski di dalam pasal KUHAPidana maupun Perdata tak cukup jelas disebutkan. Terlebih lagi apabila informasi elektronik itu adalah produk jurnalis sesuai kaidah dan prosedur yang memiliki kebenaran. Sepanjang tak ada pihak yang keberatan atas produk jurnalis.
Alat Bukti
Apa itu alat bukti?. Secara hukum diartikan, bahwa alat bukti adalah sesuatu berhubungan dengan perbuatan yang dapat dipergunakan sebagai pembuktian kepada hakim, untuk memberi keyakinan atas tindakan seseorang melanggar hukum.
Adapun definisi alat bukti yang saha secara hukum, yaitu berkaitan dengan alat-alat yang berhubungan dengan perbuatan pidana, dan sebagai pembuktian di persidangan untuk meyakinkan hakim akan adanya tindak pidana.
Kembali pada pertanyaan di atas, apakah dapat dibenarkan mempidanakan orang dengan bukti kliping berita?.
Jawabannya, sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Namun, diterima atau tidak sebagai alat bukti menurut hukum, perlu pendalaman penyelidikan pada pra-penyidikan dan gelar perkara aparat yang menangani laporan tersebut.
Penyidik KPK maupun Kepolisian akan melakukan penyelidikan kolerasi kliping atau link berita yang dijadian bukti awal adanya dugaan tindak pidana. Apakah dapat dijadikan pintu masuk dalam proses peradilan pidana, atau sebaliknya. Seperti diketahui, laporan kelompok Prima diterima oleh penyidik KPK. Dan pengaduan elemen Prodem ditampung Polda Metro Jaya. Selanjutnya akan dilakukan penyidikan.
Apabila laporan tersebut tujuannya menesak KPK dan Kepolisian untuk melakukan pemeriksaan terhadap Erick Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan yang diduga berbisnis PCR, tidak dibiarkan sebatas pemberitaan saja, itu suatu tindakan yang dapat dibenarkan. Tapi yang tidak benar, jika hal itu dilakukan lantaran atas perintah pihak ketiga dalam konteks mengganggu pemerintahan Indonesia.
*Penulis adalah Advokat senior, Ketua DPC Jakarta Barat Peradi SAI, Ketua LBH Iska Jabodetabek