SEJARAH mengajarkan pada kita, media yang bertahan dan berumur panjang bukanlah media yang paling kuat tetapi media yang paling dapat beradaptasi dengan keadaan sambil tetap menjunjung etika bisnisnya.
Ada banyak tantangan media saat ini secara umum, yakni media sosial sudah lebih disukai dibandingkan dengan media massa, dalam mencari informasi. Tentu kita tidak akan bertahan kalau justru mengisi media kita dengan produk media sosial, menjadikannya sebagai rujukan, acuan, misalnya karena sedang viral. Itu sama saja dengan bunuh diri, membiarkan parasite terus menggerogoti tubuh kita. Tetaplah setia pada jurnalisme, ciptakan produk yang bermutu, yang menyentuh kebutuhan publik, menjadi forum untuk diskusi dan dialog masalah yang relevan.
Tantangan kedua adalah kemudahan teknologi yang membuat segalanya dapat tersajikan dengan gratis, sehingga produk media kita pun dapat dilihat dari laman lain tanpa pembaca perlu masuk ke halaman kita. Hasil kerja keras dan penuh keringat kita harus mudah diakses namun hak cipta agar tetap terjaga sehingga hak ekonomi pun terjada. Untuk itu memang harus ada regulasi yang melindungi media yang membayar wartawan dan memutar otak untuk menghasilkan berita.
Namun khusus bagi media lokal, sekarang ini kesempatan untuk menjadi besar justru ada di depan mata apabila mereka menjadi “tuan rumah” untuk semua hal yang terjadi di daerahnya. Apabila mereka membuat liputan lebih dalam, lebih bermutu, dan lebih cepat, maka justru mereka akan dicari, dikutip, yang ujung-ujungnya memberi pendapatan yang baik. Oleh karena itu media lokal harus makin memperkuat kualitas dan kompetensi wartawannya, fokus pada penggarapan topik-topik lokal yang menarik, dan tentu mengikuti perkembangan isyu di luar yang relevan bagi pembacanya. Sungguh tidak mudah membuat media siber kalau yang ingin dihasilkan adalah media yang berkualitas. ***
Penulis adalah Wartawan Senior yang juga Wakil Ketua Dewan Pers