Hemmen

Catatan Hendry Ch Bangun, Membuat Media (Siber)

Catatan Hendry Ch Bangun
Hendry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers (dok.SP)

SEKARANG ini Undang Undang Pers no 40 tahun 1999, memberi keleluasaan untuk mendirikan perusahaan pers bagi siapapun, termasuk negara. Dampaknya nyata di lapangan, hampir setiap hari lahir media (siber) baru. Tidak diketahui berapa jumlah media siber saat ini. Pernah diasumsikan, berdasarkan jumlah provinsi dan kabupaten kota di Indonesia, sekitar 40.000.

Dewan Pers bekerjasama dengan Univesitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tengah melakukan survei bukan sensus media dan diharapkan hasilnya bisa diketahui pada awal Desember 2021 nanti. Tetapi apakah kelak jumlahnya sudah mencakup media siber yang ada? Tidak tahu.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Saat melakukan kunjungan, beberapa kali saya bertanya ke Boss media siber, untuk mengecek pemahaman atas visi misi mereka. Sebagian besar, tidak faham apa itu visi misi. Kebanyakan asal menuliskan, tanpa mengerti makna kalimat yang dia tuliskan itu. Padahal visi misi inilah landasaan untuk menjalankan media, mulai dari perencanaan sampai membuat angle berita. Visi misi pula yang membuat news value sebuah media berbeda dengan media lainnya.

Visi misi inilah yang menjadi dasar bagi Pemimpin Redaksi, untuk memberikan perintah penugasan ke para redaktur agar peristiwa yang diliput, berita yang dibuat tidak melenceng dari tujuan pendirian media. Termasuk di dalamnya panjang pendek berita, ragam bahasa, angle penulisan, bahkan narasumber yang dimintai pendapatnya.

Contoh sederhana, sebuah peristiwa perampokan sepeda motor, tentu news value-nya berbeda bagi media nasional dan media lokal, atau koran bisnis dengan koran metropolitan. Mutasi jabatan di lingkungan kabupaten, tidak sama nilai beritanya antara koran setempat dan koran yang terbit di Jakarta.

Kalau visi media lokal adalah menjadikan masyarakatnya lebih cerdas, religius, dan partisipatif dalam pembangunan, tentu saja berita-berita yang disajikan relevan dengan itu. Perbanyaklah aneka berita pendidikan, perkembangan teknologi, kemajuan di berbagai bidang, tampilkan liputan yang bernuansa keagaman, tokoh yang bisa menjadi teladan di rumah tangga dan kehidupan, orang sukses, dan berita edukasi dan informasi tentang kewajiban warga negara dari berbagai angle dan peristiwa.

Tetapi faktanya isi beritanya malah kegiatan Bupati atau Walikota, program kerja dinas-dinas, rilis apa saja, tanpa mempertimbangkan visi misi medianya. Asal muat supaya beritanya banyak atau kadang karena sudah terlanjur bekerjasama karena ada kontrak. Beritanya gado-gado, tapi karena mungkin kebanyakan timun atau kangkung, dan bumbunya kelebihan garam, maka hidangan berita yang tersaji tidak enak dikunyah.

Maka kalau secara teori isi sebuah media adalah hasil perencanaan, kebanyakan media siber di daerah ini, diisi tergantung apa yang diperoleh dari pihak lain. Bahkan kadang Pemimpin Redaksi tidak bisa memperkirakan apa yang akan dibawa pulang reporternya dari lapangan.

Kekacauan visi misi ini pun terjadi di media siber besar di Jakarta, tidak heran. Ada media ekonomi, yang malahan lebih sibuk mengurusi gossip artis dan berita politik. Ada media ekonomi yang membuat judul beritanya seperti berita olahraga.

Kalau ada tren berita sejarah, maka seketika muncul berita tentang masa lalu, entah peristiwa atau tokoh, yang tidak relevan sama sekali. Apa urusannya membuat berita, siapa pembunuh Kubilai Khan? Siapa yang peduli dengan Ken Dedes atau penyebab runtuhnya Majapahit ? Apa pentingnya berita soal Pangeran Arab yang homoseks? Untuk apa memberitakan agama seorang artis?.

Klik bait membuat apa yang sedang viral segera digarap beramai-ramai. Cukup dicarikan dengan satu komentar, jadilah berita baru. Dikait-kaitkan, disambung-sambungkan. Apa saja tentang kecelakaan Vanessa Angel, langsung diutak-atik bahkan sampai sepekan setelah kematiannya.

Mereka ini tidak peduli dengan jurnalisme, karena yang dipedulikan adalah seberapa banyak masyarakat mengklik judul beritanya. Sebab itu berarti uang masuk. Puluhan ribu berarti sekian juta, sekian ratus ribu atau sekian juga pengklik berarti sekian ratus juga. Ironisnya, banyak pengelola media itu wartawan senior, dulunya wartawan dari media berkualitas. ***

Dari wartawan menjadi pengusaha media siber, tidak bisa langsung lompat. Dia harus belajar banyak karena ada perbedaan besar antara membuat berita dan “menjual” berita. Antara mengedit berita dengan memberdayakan berita. Antara mencari informasi dengan mencari peluang dan uang. Antara sekadar menerima gaji dan berpikir bagaimana agar gaji wartawan media kita dapat terus terbayarkan. Dan yang terpenting, karena pernah menjadi wartawan diharapkan mereka ini dalam menjalankan bisnis dengan etika, menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme. Bukan menjadi pedagang yang asal untung.

Dua tantangan harus dihadapi sekaligus, yakni membuat berita di media kita sesuai dengan visi misi dan menjadikannya disukai audiens sehingga berdampak pada ketahanan ekonomi perusahaan.

Membuat berita harus dimulai dari kalkulasi, berapa berita yang dimuat perhari, dan berita macam apa?. Lalu kaitannya dengan jumlah wartawan dan editor yang harus dimiliki, dengan level kompetensi macam apa?.

Dari sini saja sudah bisa dibayangkan, modal mendirikan media tidak murah, walaupun kini media dibolehkan berkantor di kantor bersama. Mahal karena harus ada alat kerja, alat komunikasi untuk kordinasi, harus memberi gaji minimal setara UMP, harus mengikutkan mereka di BPJS Ketenagakerjaan. Karena ada perencanaan maka setidaknya ada rapat virtual sehari sekali atau kalau mungkin rapat tatap muka. Ada pula rapat evaluasi.

Menjual berita berarti harus memahami pasar media kita. Harus ada survei, pasar masyarakat mana yang diincar, memahami karakter mereka, termasuk status ekonomi sosial audiens. Kalau hanya bermodalkan klik bait, maka itu artinya media kita memperebutkan pasar umum yang sudah dikeroyok puluhan atau ratusan kompetitor. Apakah mampu? Maka lebih baik cari pasar yang masih bisa, meskipun perlu waktu lebih lama untuk mendapatkan audiens.

Artinya kualitas karya jurnalistik yang diproduksi harus berkualitas, menarik, enak dibaca, terpercaya. Dan ini hanya bisa dihasilkan oleh wartawan yang sudah matang, mungkin spesialis, yang pastilah harus diberi kesejahteraan memadai. Ya kembali lagi, modal perusahaan harus kuat, untuk menggaji SDM yang baik.

Saat ini hampir tidak ada celah pasar yang kosong, termasuk lokal yang juga bertebaran media siber. Dengan kapasitas ekonomi terbatas, di dalamnya terikut alokasi anggaran media di APBD, secara logika di sebuah kabupaten hanya ada 10 media yang bisa hidup. Namun kenyataannya ada satu kabupaten/kota, yang jumlah medianya lebih dari 100. Maka kebanyakan seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. ***

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan