Gugatan Perdata
Masih belum menerima kenyataan, lanjut Peter, pada tanggal 30 September 2013, Wiyanto Halim mengajukan gugatan perdata terhadap kliennya Suherman Mihardja Cs di Pengadilan Negeri Tangerang dengan register perkara No. 542/PDT.G/2013/PN.TNG. Kali ini, gugatannya dikabulkan.
“Atas putusan tersebut klien kami melaporkan Majelis Hakim ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dan sudah diberikan sanksi. Padahal klien kami sudah bisa membuktikan bahwa Johannes Gunadi sudah meninggal dunia dan klien kami juga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten dan sesuai dengan putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 99/PDT/2014/PT BTB tanggal 15 Januari 2015, dengan amar putusan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12 Juni 2014, No: 542/Pdt.G/2013/PN.Tng yang dimohonkan banding tersebut,” papar Peter.
Tak terima putusan Pengadilan Tinggi, Wijanto Halim mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung No 3221 K/Pdt/2015 tanggal 24 Febuari 2016, dengan amar putusan menolak permohonan Kasasi dari pemohon kasasi Wijato Halim.
“Dan atas putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut, kembali Wijanto Halim mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, dan berdasarkan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung Nomor: 481 PK/Pdt/2018 tanggal 30 Juli 2018, amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali Wijanto Halim tersebut,” jelas Peter.
Berdasarkan kronologi tersebut, Peter menegaskan tanah-tanah milik kliennya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inchracht). Sehingga tidak ada urusannya dengan gugatan PT Profita yang mengajukan pembatalan atas sertifikat milik kliennya.
Tidak Miliki Legal Standing
Menurut Peter, PT Profita dalam surat gugatannya telah mendalilkan bahwa sudah melakukan transaksi jual beli tanah objek sengketa dengan Wiyanto Halim berdasarkan Akta Pelepasan Hak No.16 sampai dengan Akta Pelepasan Hak No.38 yang keseluruhannya dibuat pada tanggal 3 Oktober 2013 dibuat dan ditandatangani di hadapan Yan Armin, SH., Notaris di Jakarta Utara.
“Padahal faktanya, dalam transaksi jual beli tersebut, Wiyanto Halim menggunakan Surat Kuasa No.82 dan Surat Kuasa No.83 tanggal 23 Januari 1981, yang dibuat di hadapan Raden Muhammad Hendrawan, SH, Notaris di Jakarta, yang mewakili Johannes Gunadi,” katanya.
“Surat kuasa tersebut dibuat pada tanggal 23 Januari 1981, sudah 32 tahun (1981-2013 ) apa masih bisa dipakai? dan faktanya lagi pemberi kuasa Tuan Johannes Gunadi telah meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1987,” tandas Peter.
“Sesuai ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata disebutkan bahwa pemberian kuasa berakhir karena dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa,” tambah Peter.
Kemudian, kata Peter, Notaris Yan Armin, SH juga diduga tidak melakukan pengecekan atas keabsahan dari Girik-girik milik Wijanto Halim pada ke-23 (duapuluh tiga) AJB atas nama Johannes Gunadi tersebut kepada pihak Kelurahan dan Kecamatan.
Sesuai dengan surat keterangan No:593/71/Pem/IV/2012 tertanggal 9 April 2012 yang ditanda tangani Lurah Jumudi dan Camat Benda yang menjelaskan bahwa mengenai ke-23 (duapuluh tiga) Girik-girik pada AJB tahun 1978 atas nama Johannes Gunadi sudah dilebur menjadi 1 (satu) dengan Nomor Girik baru yaitu C-2135. Sehingga sudah tidak berlaku lagi, bahkan Girik C 2135 tersebut sudah di jual kepada (Alm) Surya Mihardja ayah dari Suherman Mihardja pada tahun 1988.
“Jadi serta sejak 31 Januari 1981 Girik-girik pada ke 23 (duapuluh tiga) AJB tersebut sudah tidak dapat dipergunakan lagi, maka berdasarkan fakta hukum proses jual beli antara Wijanto Halim dengan PT Profita dalam Akta Pelepasan Hak No.16 sampai dengan Akta Pelepasan Hak No.38 yang keseluruhannya dibuat pada tanggal 3 Oktober 2013, tidak memenuhi syarat/cacat hukum/cacat yuridis sehingga batal demi hukum,” kata Peter.
Aneh
Peter mengatakan, PT Profita yang mengaku baru mengetahui tanah millik kliennya sejak Juni 2020 adalah hal aneh. Padahal pada gugatan Tan Kim Ang dalam perkara No.151/Pdt/G/2018/PN .TNG tanggal 21 Febuari 2018 .
Dalam gugatan tersebut Tan Kim Ang mengaku memiliki tanah seluas 206.230 m2 sejak tahun 1949 di Desa Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang. Dimana dalam dalil gugatan, bidang tanah yang diklaim oleh Tan Kim Ang telah diduduki/dikuasai oleh Suherman Mihardja, SH, MH (Tergugat I), PT Profita Puri Lestari (Tergugat II), Wijanto Halim (Tergugat III) dan BPN Kota Tangerang (Turut Tergugat).
“Anehnya PT Pprofita dalam jawabannya tidak menguraikan dan menjelaskan telah membeli tanah objek sengketa dari Wiyanto Halim sejak tanggal 3 Oktober 2013, serta tidak mencantumkan 22 (dua puluh dua) Akta Pelepasan Hak Milik nya yang dibeli dari Wijanto Halim tersebut dalam daftar barang bukti,” kata Peter.
Menurut Peter, hal ini menunjukan ketidakjujuran dan itikad baik dari PT Profita. Padahal objek yang digugat oleh Tan Kim Ang adalah objek yang sama pada saat ini yang digugat di PTUN oleh PT Profita.
“Dan anehnya lagi Wiyanto Halim dalam jawabannya masih mengklaim sebagai pemilik sah atas 23 (dua puluh tiga) bidang tanah seluas ± 59.824 m2 yang terletak di Kelurahan Jurumudi, Kecamatan Benda, Kota Tangerang, padahal pengakuannya tanah tersebut telah dijual kepada PT Profita pada tahun 2013,” ucap Peter terheran-heran.
Keanehan lainnya, sebut Peter, terlihat dalam proses pengajuan pembayaran uang ganti kerugian pengadaan tanah Jalan Tol JORR II ruas Cengkareng – Batuceper – Kunciran atas tanah milik kliennya Suherman Mihardja yang disengketakan dengan Wijanto Halim.
Pembayaran yang dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri Tangerang atas dasar Berita Acara Penawaran Pembayaran Uang Ganti Kerugian No:164/Pdt.P.Cons/2019 dan 165/Pdt.P.Cons/2019 tertanggal 26 Agustus 2019 kepada Termohon I (Wijanto Halim) bukan PT Profita.
“Padahal pengakuannya Wijanto Halim tanahnya sudah dijual sejak 2013, tapi masih berani mengaku tanah miliknya masih ada dan minta uang ganti rugi tersebut, luar biasa seperti Aktor pintar bersandiwara,” ucap Peter.
Peter menduga ada ketidakjujuran atas transaksi yang dilakukan PT Profita dengan Wijanto Halim tersebut. Mereka sengaja menutup-nutupi transaksi agar tidak diketahui, baik aparat desa (Lurah, Camat) dan instansi lainnya.
“Padahal tanah yang dijualbelikan dalam luasnya besar dan nilai transaksi miliaran rupiah pula, setelah Wijanto Halim gagal total bersengketa dengan klien saya, baru PT Profita yang maju, padahal sebenarnya klien saya tidak ada urusan dengan PT Profita, karena klien saya sudah bersengketa dengan Wijanto Halim sejak orang tua klien saya (alm) Surya Mihardja dilaporkan kepolisian pada tahun 1990 hingga gugatan perdata tahun 2013, yang semua perkara dengan Wijanto Halim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inchracht), dimenangkan oleh klien kami Bapak Suherman Mihardja,” kata Peter.
“Terakhir sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Peninjauan Kembali Wijanto Halim pada tahun 2018,” sambung Advokat muda ini terheran-heran.
Maka, kata Peter, sepatutnya PT Profita bukanlah pembeli yang beritikad baik dan tidak perlu dilindungi secara hukum. “Semoga Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut teliti dan cermat serta adil atas fakta dan bukti yang ada di persidangan,” harap Peter mengakhiri.
Terkait gugatan tersebut, PT Profita belum dapat dikonfirmasi.(tim)