Oleh Taufik Abriansyah
Day 14 [Caruban – Jombang 89 km]
Selasa, 13 Mei 2025
Ziarah ke Makam Gus Dur
Sudutpandang.id – Tengah malam sekitar jam 00.00 saya terbangun. Saya perhatikan di sekeliling saya sama sekali tidak ada orang. Padahal waktu saya bersiap tidur semalam, di teras Masjid Gedhe Al Arifiyah Caruban ini ada beberapa orang lain tergeletak sedang tidur.
Mereka motoris yang mampir ke masjid untuk istirahat. Sembari nunggu hujan reda. Saat saya terlelap, mereka berangkat lagi. Alhasil sekarang saya sendirian di masjid ini.
Sebenarnya suasana cukup ramai. Ramai suara kendaraan yang lalu-lalang. Maklumlah masjid ini berada di jalan raya yang menghubungkan Madiun dengan Surabaya.
Agak berisik sebetulnya. Tapi mungkin karena memang kecapekan, saya bisa langsung tidur. Cuma ya sekarang terbangun. Untuk mengisi waktu saya mencicil nulis catatan perjalanan. Sekitar jam 02.00 baru saya tertidur lagi.
Jam 03.30 bangun lagi karena suara murotal yyang disetel kencang di speaker. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Marbot sudah datang untuk menyiapkan shalat Subuh.
Sebelum jamaah lain datang, saya segera membereskan barang saya. Matras digulung. Pannier dipasang. Bersih. Baru saya mandi.
Saat Subuh saya baru menyadari posisi duduk jamaah masjid ini laki-laki dengan perempuan ternyata sejajar. Hanya dipisahkan tembok. Laki-laki di ruang kiri. Perempuan di ruang kanan.
Setelah hari agak terang saya bergerak meninggalkan Caruban. Belum sempat nyeduh air untuk ngopi. Karena rencananya saya mau ngopi di jalan sambil sarapan.
Lepas dari Caruban, saya masuk daerah Saradan. Kontur jalan naik turun. Tapi masih bersahabat. Tidak sampai membuat saya ngos-ngosan. Seperti kemarin di Maningan, disini ada juga hutan jati. Ada rambu yang menerangkan bahwa daerah ini daerah rawan kecelakaan. Bahkan ada bangunan Pos Polisi Lemahbang di tengah alas.
Saya mengayuh terus. Baru berhenti setelah mendekati kota Nganjuk. Melipir ke Masjid Al Hidayah untuk melepas hajat. Kebetulan tadi di Caruban belum terselesaikan.
Di sebelah kiri masjid ada bangunan seperti warung. Saya masuk ke situ untuk pesan kopi. Rupanya ini warung self service, dan pembayarannya seikhlasnya. Tapi gelas yang habis dipakai harus dicuci sendiri.
Selesai ngopi saya lanjut lagi. Melewati kota Nganjuk. Saya jadi teringat almarhum Pak Muji, ketua RW saya dulu yang berasal dari Nganjuk. Saya ingat karena Pak Muji orangnya sangat sabar. Saya kalah jauh.
Di daerah Baron saya berhenti di pom bensin untuk memeriksa maps. Saya sudah janjian dengan Mas Ambon, goweser yang saya kenal kemarin di Klaten, untuk mampir ke rumahnya. Mas Ambon rupanya sudah nunggu di depan pom bensin.
Mas Ambon lalu mengawal saya menuju rumahnya. Masuk ke dalam, sekitar 500 meter dari jalan raya.
Begitu tiba di rumahnya, Mas Ambon langsung menyilakan saya menyantap hidangan yang sudah disediakan. Sarapan. Tidak lupa plus ngopi. Lalu kami berbagi cerita.
Yang mengejutkan, dan sempat membuat saya merinding, adalah ketika Mas Ambon menyodorkan kacamata hitam kepada saya. “Ini untuk kenang-kenangan pertemuan kita. Mungkin sampean memerlukannya,” kata Mas Ambon.
Masyaa Allah. Yang membuat saya merinding adalah kok bisa pas begitu. Saya memang butuh kacamata hitam karena kemarin punya saya gagangnya copot satu. Saya terima kacamata itu dengan senang hati, dan langsung saya pakai.
Dari rumah Mas Ambon saya melaju lagi menuju Kertosono. Ini kota yang cukup familiar buat saya, karena beberapa kali pernah ke stasiunnya. Stasiun Kertosono ini semacam persimpangan jalur kereta api ke Surabaya dan Kediri.
Saat menggenjot sepeda, Mas Ambon ternyata nyusul saya. Dia bermaksud mengantar saya hingga Kertosono. Pakai sepeda RB, dia bisa melesat cepat dibanding saya.
Berjalan pelan saat melintasi rel kereta api di Kertosono, saya dikejutkan teriakan perempuan dari dalam mobil yang berjalan di samping kanan saya.
“Paaak, ini untuk beli minum,” kata perempuan itu sambil menjulurkan tangan. Di genggaman tangannya ada sesuatu. Mobil Avanza warna putih dengan pelat nomor N.
Tanpa banyak mikir saya ambil sesuatu tersebut. Saya ingat pesan Ustad Syarif Abdurahman, ustad di masjid tempat tinggal saya di Cipageran, bahwa kita sebagai musafir tidak boleh menolak rejeki.
Dan defenisi musafir itu adalah orang yang sedang melakukan perjalanan (tentu bukan perjalanan dalam rangka maksiat). Walaupun masih cukup punya uang di kantong, saya tetap masuk kategori musafir. Jadi saya tidak boleh juga menghalangi orang beribadah.
Sesuatu tadi saya genggam terus sampai kami berhenti di masjid megah di sebelah kanan jalan. Rupanya sesuatu itu adalah uang Rp 5.000-an. Dua lembar. Alhamdulillah rezeki peturing soleh.
Masjid ini adalah masjid Moeldoko. Dari namanya saya tahu masjid ini dibangun Pak Moeldoko, mantan Panglima TNI, yang terakhir menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Saya masuk ke dalam masjid, Mas Ambon pamit kembali ke rumahnya di Baron.
Di masjid megah ini saya Zhuhur, dan seperti biasa, ngagoler. Satu pemandangan yang kurang enak dilihat adalah di tengah masjid ada ember penampung air. Rupanya atapnya bocor.
Saat ngagoler itulah saya teringat di Jombang ini ada makam Gus Dur. Sepuluh tahun lalu saya juga pernah ke Jombang menjadi penggembira muktamar NU. Saya jadi kepikir untuk ziarah ke makam Gus Dur.
Setelah meriksa maps mencari arah jalan ke Tebuireng, saya menuju tempat parkir sepeda. Si mas kang parkir mengajak saya berbincang. “Dari jauh, Oom,” katanya membuka percakapan. Mas parkir ini bernama Herman. Pernah tinggal di Cimahi, di belakang RS Dustira.
Dari jalan raya Kertosono – Surabaya saya masuk daerah Sembung. Melintasi rel dan stasiun kereta api. Melewati banyak kebun tebu. Akhirnya saya tiba di Tebuireng, kompleks pesantren dimana makam Gus Dur berada.
Kepada petugas sekuriti yang berjaga, saya minta izin parkir sepeda di depan gedung pesantren. “Monggo pak. Tapi kalau mau masuk silakan ganti celana panjang dulu, atau kami sediakan sarung,” katanya. Oalah, saya memang sedang bercelana pendek.
Kembali ke sepeda saya ambil sarung lalu masuk ke dalam pesantren. Di dalam ada area pemakaman keluarga besar Gus Dur. Di area makam ada banyak penziarah, yang datang dari berbagai daerah.
Seperti di makam Bung Karno, para penziarah ini membentuk kelompok sesuai rombongannya melaksanakan tahlil. Saya ikut bergabung tahlil di satu kelompok.
Saya punya kenangan pribadi dengan almarhum Gus Dur. Saat masih di lapangan dulu beberapa kali saya liputan Gus Dur, dan wawancara langsung dengan beliau.
Yang paling membekas dalam kepala saya adalah saat wawancara Gus Dur di Muktamar NU Cipasung 1994. Saya masih muda saat itu. Dan sedang semangat-semangatnya. Kutipan kalimat dari Gus Dur yang kemudian bikin heboh saat itu adalah : “He is stupid,” menunjuk kepada Presiden Soeharto.
Saat kembali ke sepeda, saya berkenalan dengan petugas sekuriti tadi. Namanya Ilham. Dia penggemar touring juga. Tapi motoran “Ini cita-cita saya pak,” katanya menunjuk ke gambar di gantungan kunci yang saya hadiahkan. Di gantungan kunci itu ada tertulis KM Nol Sabang.
Dari Tebuireng saya menuju kota Jombang. Selagi mengayuh ingatan saya melayang ke artikel-artikel yang pernah saya baca di masa silam.
Salah satunya tulisan Emha Ainun Najib yang menyebutkan keistimewaan tanah Diwek. Diwek adalah nama kecamatan tempat pesantren Tebuireng berada. Tanah Diwek ini melahirkan orang-orang besar di zamannya. Antara lain Gus Dur, pemikir Islam Nurcholish Madjid, dan pelawak Srimulat, Asmuni.
Sekitar jam 16.00 saya masuk kota Jombang. Tujuan saya adalah Rumah Federal Jombers di Jalan Raden Fatah. Jombers singkatan dari Jombang Bersatu adalah nama chapter federalist di Jombang.
Om Ivan, pemilik RF itu sudah berkomunikasi dengan saya. Bahkan tadinya dia mau ngantar saya ke makam Gus Dur.
Selain Om Ivan, saya juga diiterima Ketua Jombers Om Wahab. Kami bertiga berbincang-bincang hingga waktu maghrib. Di teras rumah itu ada satu lagi sepeda milik peturing yang sedang parkir. Beliau bernama Mbah Duwit, peturing asal Magelang tujuan Surabaya. “Tadi malam kena musibah. Stroke pas di pom bensin,” kata Om Ivan.
Semoga perjalanan saya baik-baik saja.
*Jombang, 13 Mei 2025*