Gugat UU Pilkada, Mahasiswa: Demokrasi Bukan Soal Ambang Batas

Amicus Curiae MK
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Foto:Naba SP

“Adanya threshold mempersempit ruang kontestasi dan mereduksi hak partai politik serta masyarakat untuk memilih lebih banyak alternatif calon.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Delapan mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta agar MK menghapus ambang batas (threshold) pencalonan dan menafsirkan ulang norma tersebut agar partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mengusung pasangan calon tanpa syarat persentase suara atau kursi.

Permohonan uji materiil terhadap UU Pilkada ini diajukan oleh Khalid Irsyad Januarsyah, Robby Ardiansyah, Zamroni Akhmad Affandi, Panji Muhammad Akbar, Zahira Nurmahdi Hanafiah, Muhammad Azis, Muhammad Faisal Hamdi, dan Hasan Kurnia Hoetomo. Sidang perdana dengan Nomor Perkara 90/PUU-XXIII/2025 berlangsung Rabu (4/6).

BACA JUGA  Syarat Mantan Napi Ikut Pemilu

Para pemohon mendasarkan argumentasi mereka pada konsistensi Mahkamah dalam menyamakan rezim pilkada dengan pemilu nasional. Salah satu landasan penting yang dikemukakan adalah Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

Menurut mereka, logika konstitusional dalam penghapusan presidential threshold juga seharusnya diterapkan pada pilkada. Ambang batas dalam pilkada dinilai menimbulkan polarisasi, menyulitkan munculnya calon alternatif, dan bahkan menghasilkan calon tunggal, yang bertentangan dengan prinsip pemilihan langsung oleh rakyat.

“Adanya threshold mempersempit ruang kontestasi dan mereduksi hak partai politik serta masyarakat untuk memilih lebih banyak alternatif calon,” ujar Gilang.

Mahasiswa juga mengkritik Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang memang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20-25 persen menjadi 6,5-10 persen. Mereka menilai penurunan ini belum menyentuh akar persoalan dan tetap menyisakan potensi kemunculan calon tunggal, sebagaimana terjadi pada 37 daerah di Pilkada 2024.

BACA JUGA  Pemkot Bekasi dan BPTJ Ajak GenZ Pakai Transportasi Umum

“Putusan tersebut belum memberikan alasan rasional atau ilmiah mengenai eksistensi threshold, dan tetap menciptakan ketimpangan akses antar partai dalam mencalonkan kader,” kata salah satu pemohon.

Tafsir Konstitusi

Dalam sidang panel di MK, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan bahwa secara konstitusional, ada perbedaan antara pemilihan presiden dan kepala daerah. Ia menekankan bahwa Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyebut presiden dipilih langsung oleh rakyat, sementara Pasal 18 ayat (4) menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis sebuah frasa yang secara interpretatif bisa membuka ruang pengaturan berbeda.

“Kalau Anda tidak bisa menjelaskan perbedaan itu, akan sulit menjustifikasi permohonan ini,” ujar Saldi.

Ia juga mengingatkan bahwa syarat calon perseorangan dalam pilkada bisa menjadi acuan rasionalitas ambang batas bagi partai politik. Jika ambang batas partai dibuat nol, maka perlu ada argumentasi seimbang terhadap calon independen.

BACA JUGA  Hari Ini, Ketua MK Anwar Usman Dijadwalkan MKMK untuk Jalani Pemeriksaan Kedua

Saldi pun memberikan waktu maksimal 14 hari kepada para pemohon untuk menyempurnakan permohonan mereka. Revisi permohonan harus diserahkan paling lambat Selasa (17/6/20250 mendatang.(01)