Hidup Adalah Risiko: Kearifan Sufi Robiyatul Adawiyah

Robiyatul Adawiyah
Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA, GRCE (Foto:Dok.Pribadi)

“Jika aku mencintaimu, Tuhan, tak ada rasa takut. Namun jika aku tidak mencintaimu, rasa takut adalah ketakutanku.”

Oleh Kemal H. Simanjuntak

Robiyatul Adawiyah, tokoh sufi legendaris abad ke-8 dari Basra, Irak, adalah simbol kebijaksanaan spiritual yang mengajarkan bahwa hidup tak lepas dari risiko. Lahir dalam kemiskinan dan ditinggalkan orang tua sejak kecil, perjalanan hidupnya penuh ketidakpastian.

Namun, justru di tengah kesulitan itu, ia menemukan kekuatan untuk menjadi salah satu sufi paling berpengaruh dalam sejarah.

Ajarannya tentang cinta ilahi dan keberanian menghadapi risiko tak hanya relevan di zamannya, tetapi juga menjadi cermin bagi manajemen risiko modern khususnya dalam memahami risk capacity (kemampuan menanggung risiko) dan risk tolerance (kesiapan mental menerima ketidakpastian).

Bagi Robiyatul Adawiyah, hidup adalah perjalanan spiritual yang menuntut keberanian mengambil langkah tanpa jaminan. Dalam puisinya, ia menulis, “Jika aku mencintaimu, Tuhan, tak ada rasa takut. Namun jika aku tidak mencintaimu, rasa takut adalah ketakutanku.”

Kalimat ini menggambarkan esensi risk tolerance: ketahanan emosional untuk tetap teguh meski hasil tak pasti. Seperti investor yang harus memilih antara bermain aman atau mengambil peluang berisiko, Robiyatul mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Tuhan atau tujuan hidup mana pun memerlukan kesediaan “melepas jangkar” dan menerima kemungkinan gagal.

BACA JUGA  Distorsi Operasi Politik Berkedok Hukum

Kisah ikoniknya saat membawa pelita di siang hari menjadi metafora sempurna tentang risiko. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab, “Aku mencari Tuhan seperti orang yang mencari pelita di tengah malam gelap.”

Di balik jawaban simbolis ini, tersirat prinsip risk capacity: kemampuan untuk tetap bertahan meski sumber daya terbatas. Seperti pebisnis yang mengukur modal sebelum ekspansi, Robiyatul memahami batasan dirinya, namun tak membiarkan itu menghalangi langkahnya.

Ia mengajarkan bahwa mengenali kapasitas diri bukanlah kelemahan, melainkan kebijaksanaan untuk tidak terbebani rasa takut yang tak perlu.

Di era modern, ajaran Robiyatul tentang risiko menemukan relevansinya dalam konsep risk-return tradeoff.

Hidup Adalah Risiko: Kearifan Sufi Robiyatul Adawiyah
ilustrasi

Dalam bisnis, hubungan asmara, atau bahkan keputusan karier, setiap pilihan mengandung risiko yang harus diukur antara potensi keuntungan dan kerugian. Misalnya, seorang wirausaha mungkin memiliki risk capacity tinggi (modal kuat, jaringan luas), tetapi jika risk tolerance rendah (takut gagal, overthinking), peluang sukses justru terhambat.

BACA JUGA  Andi Asmara: Ketika Politik Menjadi Aksi, Bukan Sekadar Janji

Sebaliknya, keberanian tanpa pertimbangan kapasitas bisa berujung pada kehancuran. Robiyatul mengingatkan kita: “Cinta sejati tak meminta jaminan, tetapi memberi diri sepenuhnya.” Ini adalah prinsip yang sama dengan investor legendaris Warren Buffett: “Risiko datang dari tidak tahu apa yang kau lakukan.”

Ajaran Sufi ini juga mengajarkan resilience (ketahanan) sebagai kunci menghadapi risiko. Ketika sertifikat tanahnya tertunda atau proyek bisnis gagal, respons kita tak boleh berhenti pada penyesalan.

Seperti Robiyatul yang tetap membawa pelita meski dicemooh, kita perlu membangun mentalitas antifragile tumbuh lebih kuat justru setelah mengalami tekanan. Dalam konteks manajemen risiko modern, ini berarti memiliki contingency plan, diversifikasi strategi, dan kemampuan adaptasi.

Pesan abadi Robiyatul: Hidup bukanlah tentang menghindari risiko, tetapi merangkulnya dengan mata terbuka dan hati berani. Di dunia yang serba tak pasti ini, keputusan terbesar justru lahir dari kesediaan melangkah meski tak ada kepastian.

Seperti kata filsuf Denmark Søren Kierkegaard, “Keberanian adalah memahami kecemasan dan tetap bergerak maju.” Robiyatul mengajarkan bahwa di balik setiap risiko, ada cahaya pencerahan entah itu kedamaian spiritual, kesuksesan karier, atau hubungan yang lebih dalam.

BACA JUGA  "Sang Penatap Matahari", Novel Inspiratif Sang Duta Syariah

Jadi, bagaimana kita menerapkan ajaran ini? Pertama, kenali risk capacity Anda: seberapa besar kerugian yang bisa ditanggung tanpa menghancurkan hidup? Kedua, asah risk tolerance: latih mental untuk tetap tenang di tengah badai ketidakpastian.

Terakhir, beranilah mencintai prosesnya seperti Robiyatul yang tak pernah berhenti mencari Tuhan, meski jalan gelap. Sebab, seperti pelita di tangannya, risiko yang diambil dengan sadar akan selalu menerangi langkah menuju makna yang lebih dalam.

“Hidup adalah risiko. Tapi, diam dalam ketakutan adalah risiko yang lebih besar.”.

*Penulis adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)