“Sudah waktunya DPR atau otoritas mencegah, menghentikan sendiri langkah kebijakan ceroboh dalam menetapkan atau menjalankan PSBB, PPKM yang tidak berkemampuan serta menyimpang dari UU. Dampak yang terlihat hanya menambah jumlah korban, imun tubuh masyarakat drop dan menimbulkan kerugian ekonomi karena dibuat bangkrut.”
Oleh: Dr. Najab Khan, SH.,MH
A. Pendahuluan
Wajah hukum kesehatan Indonesia yang diwujudkan dalam beberapa Undang-Undang dan turunannya “sebagai doktrin dan politik hukum kesehatan” seketika berubah muram dan tidak sehat. Hal ini disebabkan produk pengaturan maupun penerapan “doktrin dan politik hukum kesehatan” mengarah kepada ketidak pastian.
Awalnya dalam menghadapi Pandemi / wabah penyakit hanya digantungkan padaberlakunya UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular ) namun sejak diterbitkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ( UU Penanggulangan Bencana ) maka strategi penanganan bencana non alam khususnya terkait Pandemi dan wabah penyakit ternyata diarahkan tetap selaras dengan isi pengaturan UU Wabah Penyakit Menular. Kalau ditelaah lebih jauh, isi pengaturan wabah penyakit dalam UU Penanggulangan Bencana tidak mendapat banyak pengaturan tetapi tujuan UU ini diterbitkan antara lain a) untuk menyelaraskan dengan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada, b) untuk menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana termasuk bencana non alam secara terencana, terpadu, terkoordinasi, menyeluruh, c) untuk menghargai budaya lokal. Dalam perkembangannya, sejak Covid-19 ditetapkan sebagai Pandemi / wabah penyakit menular oleh Kepala BNPB ( Badan Nasional Penanggulangan Bencana ) melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020, Jo. Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2020 tanggal 20 Maret 2020, Jo. Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020, tanggal 13 Maret 2020, faktanya terjadi hal-hal sebaliknya.
Tata cara dan mekanisme penanggulangan bencana Pandemi/wabah penyakit Covid19 bergeser dan digantungkan pada dasar penetapan pedoman melaksanakan rencana operasional percepatan penanganan Covid-19 oleh Kepala BNPB selaku pelaksana gugus tugas dan bukan lagi didasarkan pada isi ketentuan UU Wabah penyakit menular yang sudah ada. (Lihat Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 UU Wabah Penyakit Menular Jo. Pasal 12 huruf b, huruf g, Pasal 26 ayat 1, ayat 2, ayat 3 UU Penanggulangan Bencana). Wajah doktrin hukum ini semakin terasa tidak sehat sejak diterbitkan Peraturan Presiden No.82 Tahun 2020 tanggal 20 Juli 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional maupun peraturan Presiden lainnya.
Semua peraturan atau keputusan Presiden diterbitkan untuk menangani dua bidang percepatan sekaligus yaitu percepatan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional tetapi anehnya klausula satu pasal dan pasal lainnya saling membatasi, saling kontradiktif, dan ambigu. Sejak gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 dibubarkan berdasarkan Pasal 20 huruf b, huruf c Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020 dan diganti dengan satuan tugas serta sejak komite kebijakan dibebani dua tanggung jawab sekaligus maka mulai saat itu terjadi pergeseran kerja operasional terkait tata cara penanggulangan wabah Covid-19 sehingga penanganan wabah Covid-19 menjadi tidak fokus dan tidak lagi digantungkan pada peran Menteri Kesehatan. Kewenangan menetapkan jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah atau kewenangan menetapkan atau mencabut daerah tertentu sebagai daerah wabah tidak lagi menjadi domain Menteri Kesehatan sesuai UU Wabah Penyakit Menular Jo. UU Penanggulangan Bencana.
Setelah diberlakukan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020, penetapan jenis penyakit dan penetapan memberlakukan/mencabut daerah tertentu sebagai daerah wabah ada pada Komite kebijakan yang diketuai Menteri Koordinator bidang perekonomian dan/atau satuan tugas penanganan Covid-19/satuan tugas penanganan Covid-19 daerah. Peran dan kewenangan Menteri Kesehatan hanya sebatas sebagai Wakil Ketua V Komite kebijakan. Premise wajah muram hukum kesehatan merupakan gambaran kuatnya tangan eksekutif menggeser, merubah substansi UU Wabah Penyakit Menular yang disetujui otoritas legislatif.
Otoritas legislatif (DPR) dibuat tidak berdaya menghadapi politik kekuasaan yang dimainkan Presiden. Presiden terus menerus memproduksi regulasi turunan UU walau melenceng dari substansi UU yang sudah ada. DPR dibuat tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi legislatif.
Praktik memproduksi Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan turunan-turunan regulasi lainnya “ternyata sengaja diarahkan untuk tidak sesuai dengan substansi perangkat UU bidang kesehatan yang sudah ada”. Roll model memproduksi turunan regulasi gado-gado semacam ini atau menerapkan doktrin hukum positif bidang kesehatan seperti demikian membawa pengaruh buruk dalam tata kelola negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum/konstitusi dan dapat menimbulkan banyak masalah.
B. Masalah
Bagaimana mencegah kebijakan sia-sia yang tercermin dalam produk regulasi gadogado dan bagaimana mencegah doktrin maupun politik hukum kesehatan Indonesia tidak berada dalam jalan gelap ?.
C. Politik Kekuasaan