Sebagian pengamat hukum kesehatan berpendapat, politik kekuasaan dibidang hukum kesehatan Indonesia digunakan oleh otoritas eksekutif ( Presiden ) bukan untuk membawa sebesar-besar tingkat derajat kesehatan masyarakat tetapi digunakan untuk seluas-luasnya kepentingan politik kekuasaan Presiden yang ambisius dan tidak fokus. Praktik menerapkan politik kekuasaan model demikian dapat membahayakan kehidupan masyarakat dalam suatu negara yang menjunjung tinggi norma hukum. Hukum terkait bidang kesehatan kenyataanya dibangun tidak serius, pengaturannya dibuat gado-gado bersama dengan doktrin hukum ekonomi padahal awalnya hukum kesehatan dibangun untuk mengatur dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk menghormati hak-hak pasien.
Tujuan doktrin dan politik hukum kesehatan dibangun bukan untuk memprioritaskan pengurusan pemulihan perekonomian dan transformasi ekonomi nasional walaupun ada keterkaitan satu sama lain. Doktrin dan politik hukum kesehatan sebetulnya dibangun untuk menjaga tingkat derajat kesehatan masyarakat melalui upaya peningkatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan pemulihan kesehatan dalam masa pandemi atau non pandemi tetapi tiba-tiba upaya tersebut diubah dan dijalankan tidak sesuai dengan upaya yang diatur dalam substansi klausula UU yang sudah ada. Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah wabah Covid-19 tidak lagi disandarkan pada “hasil penelitian diagnosis klinis dan konfirmasi laboratorium atau tanpa disandarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium sesuai amanat UU atau amanat Peraturan Pemerintah.
Langkah keputusan politik kekuasaan model demikian, selain menimbulkan image tidak baik juga membuktikan Otoritas sedang menjalankan politik kekuasaan yang ambisius, out of control dan tidak sesuai UU. Langkah politik kekuasaan demikian akan dinilai bukan sebagai bentuk kepedulian Presiden dalam meningkatkan kebutuhan derajat kesehatan masyarakat tetapi akan dipandang sebaliknya yaitu sebagai jalan pengingkaran terhadap berlakunya UU bidang kesehatan. Substansi klausula regulasi gado-gado yang dijalankan selain akan dipandang sebagai “bahan candaan atau lips service” dalam membuat target rakyat sehat-ekonomi sejahtera tetapi kenyataannya akan dinilai terbalik.
Ada fakta lain yang terbaca masyarakat, ternyata otoritas eksekutif dari tingkat bawah sampai Presiden sering melakukan pelanggaran prokes dalam acara-acara pribadi/dinas dan tidak ada sanksi, sedangkan masyarakat diancam dan diberi sanksi penjara/denda jika melanggar prokes. Otoritas sengaja menyelenggarakan exhibition (PILKADA) di tengah-tengah ketatnya prokes diberlakukan. Otoritas suka membuat kebijakan sendiri dan menimbulkan masalah tanpa dapat dikontrol DPR. Otoritas sengaja mendatangkan/memasukan orang Asing (atau TKA Asing) ke wilayah Indonesia tanpa menghiraukan ketentuan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) atau ketentuan lain sementara masyarakat dibatasi aktivitasnya secara ketat dan dilarang bekerja dalam satu kelompok kerja. Fakta memasukkan TKA dengan apapun rekomendasinya, melarang masyarakat beraktifitas bagaimana pun modusnya tanpa memberikan hak masyarakat, bukanlah merupakan bentuk kepedulian Presiden kepada masyarakat tetapi justru merupakan bukti Presiden sengaja melanggar amanat UU bidang kesehatan. Banyak larangan sengaja dibuat dan diberlakukan terhadap masyarakat walaupun masyarakat sudah mematuhi pedoman protokol kesehatan dan sudah divaksin Covid-19.
Semua fakta ini turut membuktikan Presiden sengaja menjalankan politik kekuasaan tanpa dasar UU yang sudah ada. Banyak pasien meninggal dunia atau pasien tidak tertangani perawatan kesehatannya dengan baik di Rumah Sakit atau ditempat-tempat karantina akibat dari sebab kesalahan otoritas dalam membuat, menetapkan dan menjalankan turunan regulasi gado-gado. Praktik korupsi merajalela di musim Pandemi merupakan sebab dari terbitnya produk regulasi gado-gado yang ambisius serta tidak merujuk dasar UU.
Produk turunan regulasi gado-gado dipaksakan diterapkan seakan-akan untuk tujuan mempercepat penanganan wabah Covid-19 dan seakan dapat mempercepat pemulihan perekonomian padahal yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian pengamat hukum kesehatan menilai, produk regulasi gado-gado yang sengaja dijalankan semata-mata sebagai jalan politik kekuasaan yang justru “menciptakan wabah baru” yaitu “wabah korupsi” serta wabah permainan-permainan angka statistik seolah-olah wabah Covid-19 sudah dapat dikendalikan, dan ekonomi distatistikan seakan tumbuh 7% padahal logikanya “jika ekonomi tumbuh 7% maka mestinya kehidupan masyarakat tidak bertambah sengsara, pengangguran dan kemiskinan pasti turun”.
D. UU terkait bidang Kesehatan tidak lagi menjadi rujukan