Kebutuhan alat kesehatan, bahan obat, vaksin ( bahan vaksin ), vitamin, sarana prasarana kesehatan maupun Tenaga Kesehatan Indonesia “ternyata tidak dapat dipenuhi sesuai harapan”. Selama hampir 2 tahun, ketersediaan Tenaga Kesehatan, obat-obatan, vitamin termasuk vaksin (bahan vaksin) serta alat/sarana prasarana kesehatan gagal ditangani otoritas padahal sudah ribuan triliun uang hasil utangan ludes. Anehnya fakta kegagalan ini tidak menjadi bahan evaluasi otoritas dan tidak juga menjadi semangat kontrol DPR kepada otoritas.
Posisi DPR atau masyarakat terpinggirkan, masyarakat hanya dibebani kewajiban dan diberi tugas keharusan melaksanakan larangan-larangan melalui skema PSBB, PPKM, PPKM level 1 sampai dengan 4, padahal semua pembatasan atau pelarangan tersebut tidak berhasil dijalankan sesuai dasar rujukan UU. Vaksin Covid-19 yang rendah eficatienya, masih dalam proses penelitian dan diimport secara besar-besaran dengan sistem ijon (berbayar di depan) masih dipandang oleh otoritas seakan sebagai “jalan solusi yang harus dijalankan masyarakat” padahal kenyatannya sudah banyak jatuh korban. Dampak kejadian ikutan pasca vaksinasi ( KIPI ) tak pernah jelas dilaporkan ke public.
KIPI terus menerus ditutup-tutupi padahal UU atau regulasi turunannya tegas mengatur kewajiban pelaporan kejadian ikutan pasca vaksinasi. Masyarakat mencoba mengkritisi ketersediaan kualitas import vaksin Covid-19 atau masyarakat mencoba menolak divaksin karena merasa tidak memenuhi syarat justru diancam hukuman PENJARA, atau diancam dikenakan sanksi denda, sementara kesalahan-kesalahan penerapan kebijakan otoritas tidak diproses dan seakan dilindungi oleh elite politik busuk kekuasaan. Kebutuhan dasar masyarakat dibidang kesehatan sesuai rujukan UU diabaikan dan tak lagi menjadi perhatian utama otoritas (aparat di lapangan).
Dengan memproduksi dan menerapkan regulasi turunan dalam bentuk Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden walaupun tidak sesuai dengan rujukan UU seakan dipandang “sebagai jalan benar” dalam mempercepat penanganan wabah Covid-19 dan mempercepat penanganan pemulihan ekonomi nasional padahal yang terjadi sebaliknya. Sejak Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020, tanggal 31 Maret 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sampai berganti kepada keputusan PPKM atau perpanjangan PPKM berlevel-level, dari level 1 sampai level 4 yang turunannya turut dibuat oleh Mendagri melalui Instruksi Mendagri No. 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali ternyata mengandung substansi regulasi yang saling bertentangan, tidak merujuk pada UU bidang kesehatan dan banyak jatuh korban. Memaksakan memberlakukan Instruksi Mendagri justru turut memperparah keadaan karena rakyat stress.
Ada anggapan, seakan masyarakat yang sehat yang harus dikejar-kejar, dilarang-larang, dibatasi aktifitasnya dan tidak dipedulikan dampaknya yaitu dampak stress atau drop daya tahan tubuhnya. Padahal masyarakat yang sakit saja justru tidak dirawat dengan baik dan LAYAK. Membuat turunan regulasi gado-gado dikaitkan dengan tiga (3) kebijakan Presiden yang menekankan langkah a). vaksinasi, b). memperhatikan protokol kesehatan, c). melakukan testing, tressing, isolasi/karantina, treatment merupakan langkah tidak optimal, tidak fokus, penuh masalah dan sia-sia jika tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sesuai UU. Kebijakan melarang masyarakat “berkumpul satu sama lain” berdasarkan tempat, berdasarkan waktu atau berdasarkan jumlah tanpa landasan UU bidang kesehatan yang benar apalagi kebijakannya tidak dibarengi dengan “kebijakan memberikan hak kebutuhan dasar masyarakat” justru menciptakan kebijakan saling kontradiksi dan turut memperlemah daya tahan tubuh masyarakat itu sendiri.
Melarang-larang masyarakat mencari nafkah sekalipun masyarakat sudah memenuhi dan memperhatikan prokes, sudah divaksin jelas merupakan kebijakan yang tidak efektif, tidak efisien dan “menyuburkan wabah korupsi”. Sesungguhnya wabah Covid-19 itu tidak menyerang tubuh kesehatan masyarakat berdasarkan tempat, atau waktu atau berdasarkan jumlah masyarakat yang berkumpul tetapi wabah Covid-19 akan menyerang semua lapisan masyarakat yang berkumpul/yang tidak berkumpul dengan tidak milih-milih tempat atau tidak memilih-milih waktu penyerangannya. Covid-19 akan menyerang setiap kondisi tubuh orang yang tidak sehat, lemah/drop, stress efek dari banyaknya kebijakan larangan tanpa diimbangi dengan kebijakan memberi hak kebutuhan dasar masyarakat.
E. Jalan gelap doktrin hukum kesehatan