Jakarta, SudutPandang.id – Advokat senior OC Kaligis kembali mengirim surat kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamongan Laoly soal remisi.
Ia berharap Yasonna Laoly dapat mengabulkan remisi dirinya sebagai lansia.
Dalam surat permohonannya, OC Kaligis menyebut dirinya adalah korban “dendam” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sehingga diperlakukan tidak adil sampai detik ini, termasuk soal remisi yang bukan lagi kewenangan lembaga antirasuah.
“Semua warga binaan vonis korupsi hasil penyidikan kejaksaan, mendapatkan remisi. Yang dari KPK remisi diberikan secara tebang pilih,” kata OC Kaligis, yang saat ini menjadi warga binaan Lapas Sukamiskin tertua, dalam suratnya.
Berikut isi surat permohonan remisi lansia OC Kaligis yang dikirim ke Menkumham Yasonna Laoly:
Sukamiskin Bandung, Selasa, 2 Februari 2021.
Hal: Permohonan remisi, remisi lansia, pembebasan bersyarat.
Kepada Yang terhormat Menteri Hukum dan Ham Bapak Yasonna Hamonangan Laoly Ph.d.
Dengan hormat,
Perkenankanlah saya, Prof. Otto Cornelis Kaligis, lahir di Makassar tanggal 19 Juni 1942, kini bertempat tinggal sementara di Lapas Sukamiskin, selaku warga binaan usia tertua di lapas ini, ditahan sejak tanggal 14 Juli 2015 di rumah tahanan Guntur, Jakarta, dipindahkan ke Lapas Sukamiskin sejak tanggal 25 Agustus 2016 sampai hari ini.
Telah menjalani tahanan hampir 6 tahun, untuk vonis in kracht selama 7 tahun, tanpa remisi. Dimajukan ke Pengadilan tanpa adanya berita acara pemeriksaan, tanpa barang bukti uang suap, uang THR, bukan tersangka hasil operasi tangkap tangan KPK. Ditangkap di Jakarta, tanpa adanya surat panggilan sesuai pasal 112 KUHAP, selanjutnya disebut disini: Pemohon.
Berikut ini kronologis dan alasan pemohon memohon remisi, remisi langsia, pembebasan bersyarat:
1. Dasar penolakan pemberian remisi. Surat KPK, berkop Surat Komisi Pemberantasan Korupsi, bernomor B/2140.L/HK.06.04/2020 tertanggal 28 April yang dialamatkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Sukamiskin, tembusannya kepada Bapak Menteri beserta seluruh jajarannya dan kepada Pemohon Pemohon. (bukti P1).
2. Inti surat tersebut: Pemohon tidak dapat diberikan remisi, dan surat itu pada angka 2 menetapkan bahwa surat tersebut berlaku final.
3. Karena sifat surat berlaku final dan ditandatangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan bentuk surat dengan kop surat berlambang Garuda dengan huruf Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, disertai stempel cap Komisi Pemberantasan Korupsi, lengkap dengan nomor dan tanggal surat, dan sifat surat adalah final, pemohon memajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPK sebagai pejabat administrasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
4. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 136/G/2020/PTUN-JKT pada pertimbangannya di halaman 85 (lampiran P2), mempertimbangkan :’”Menimbang, bahwa karena pertimbangan tertulis dari Tergugat (obyek sengketa), karakteristiknya sama dengan suatu rekomendasi maka sifat dari pertimbangan tersebut tidak mengikat kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan, apakah akan memberikan atau tidak memberikan remisi terhadap warga binaan atau nara pidana. Oleh karenanya, obyek sengketa aquo belum final dan belum menimbulkan akibat hukum bagi penggugat (Pemohon).
5. “Selanjutnya: “hal tersebut selaras dengan keterangan ahli Sony Maulana Sikumbang, S.H.,MH, di muka persidangan pada tanggal 24 November 2020, oleh karenanya Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta belum berwenang untuk mengadilinya.”
Catatan Pemohon. Sony Maulana Sikumbang, S.H.,MH, adalah ahli yang dimajukan KPK. Dari catatan dan rekaman Pemohon, justru ketika Pemohon mempertanyakan : Apakah diskriminasi pemberian remisi bertentangan dengan prinsip persamaan perlakuan didepan hukum dan bertentangan dengan Hak Azasi Manusia?. Ahli menjawab: ia benar. Ahli membenarkan pertanyaan yang diajukan Pemohon.
Juga sama dengan pendapat ahli DR. Arbiyoto, ex/pensiunan Hakim Agung Republik Indonesia yang punya pendapat bahwa diskriminasi bertentangan dengan perlakuan persamaan di depan hukum, sama sekali tidak menjadi pertimbangan putusan a quo. Bahkan, DR. Arbijoto selain memberikan pendapat ahlinya secara lisan, juga memberikan pendapat ahli tertulis kepada judex factie perkara a quo.
6. Bukti P1 yang menyebabkan pemohon sampai hari ini tidak mendapatkan remisi. Padahal di halaman 85 tersebut di atas, KPK sendiri mengakui bahwa sifat surat itu adalah rekomendasi KPK. Faktanya berdasarkan surat tersebut, Pihak Kementerian Hukum dan HAM tidak mengeluarkan penetapan pemberian remisi kepada pemohon.
7. Sebenarnya bila berpedoman ke putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/2016, melalui putusannya yang erga omnes, KPK sama sekali tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri pemberian remisi dan semua hak lainnya yang dapat diberikan kepada pemohon sesuai dengan pasal 14 UU Nomor 12/1995, UU Pemasyarakatan.
8. Pertimbangan Putusan MK Nomor 33/2016, di halaman 37: “Namun proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan,dan putusan di Pengadilan Tingkat Pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Oleh karena itu dipandang adil jikalau pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) tersebut dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya, karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan di tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup…”
9. Bila dikaji dari the integrated criminal justice system, yang terdiri dari Penyidik, Penuntut Umum, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, wewenang KPK sebagai penyidik dan Penuntut Umum, jelas berakhir setelah putusan in kracht. Itupun dibatasi. KPK bukan lagi punya wewenang di ditingkat Peninjauan Kembali.