Oleh: Hartono Tanuwidjaja, S.H., M.Si., M.H., C.B.L.
(Bagian Pertama)
New Normal pasca pandemi Covid-19 memporakporandakan seluruh sendi-sendi kehidupan, baik secara global maupun nasional.
Kita tidak bahas yang global, karena global merupakan persoalan dari tiap negara/bangsa. Ini kan beda-beda, tapi kita lebih memfokuskan kepada kondisi nasional kita. Bahwa pemerintah yang demikian legitimed-pun ternyata tidak mampu menghadapi Covid-19 ini.
Hancur semua. Penerimaan pajak, industri, ekspor-impor, pariwisata, transportasi, UMKM bahkan sampai pengemudi ojek online (Ojol) juga ikut hancur. Jadi hampir tidak ada yang tersisa dari dampak Covid-19 ini. Tapi kita tidak bermaksud untuk membahas situasi yang global.
Situasi global itu kan artinya pandemi yang sama menimpa negara-negara lain, apakah itu di Amerika di Eropa atau di negara Asia lain? Tapi kita mau sedikit ambil satu segmen yang kita harus jadikan point penting yaitu bahwa kualitas kehidupan rakyat Indonesia ini semakin buruk. Jadi sebelum kita bahas kualitas Indonesia semakin buruk, kita buka dulu kondisi sebelum Covid 19.
Sebelum Covid-19 rata-rata kita mempunyai pekerjaan, punya income atau pendapatan, keuangan, makanan maupun stok makanan, kesehatan cukup. Artinya ada 4 yang utama: unsur pekerjaan, keuangan, makan minum dan kesehatan tambah satu lagi pendidikan.
Era sebelum Covid-19, catatan kita di negara ini ada 24 juta rakyat miskin. Setelah covid semua bergerak dari kalangan menengah terjun bebas ke bawah. Kalangan menengah itu artinya orang yang tadinya punya pekerjaan tiba-tiba kena PHK, dirumahkan sementara. Yang tadinya punya income atau pendapatan karena PHK jadi tidak punya income atau dipotong.
Orang yang tadinya punya stok makanan cukup jadi terbatas, bahkan ada yang berkurang. Orang yang tadinya kesehatannya biasa-biasa, karena virus ini yang punya riwayat penyakit tambah sakit, yang sehat jadi sakit, yang tidak tahan meninggal dunia karena Covid-19.
Pendidikan yang tadinya normal sekarang menjadi daring (dalam jaringan) lewat online. Ada menarik juga karena sempat ada berita seorang murid kirim surat ke Menteri Pendidikan yang isi suratnya, “Pak Menteri, gara-gara covid ini saya belajar lewat online. Kasian Ibu saya habis duitnya beli pulsa”.
Tidak kebayang sama kita, anak SD bisa bikin surat ke Menteri. Bahwa pikirannya terbuka bisa begitu bahwa ini bukti kendala ekonomi bagi Ibunya sampai kesulitan beli pulsa supaya dia bisa mengikuti sistem pendidikan daring.
Nah, makanya kemudian digencarkan dari situasi normal ke situasi covid ini jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan sosial (bansos) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Katanya dulu nilainya Rp600.000, tapi kenyataannya di bawah Rp500.000, di bawah Rp250.000, dan terakhir di bawah Rp150.000.
Ini penyumbatan-penyumbatan. Kesempatan seperti ini menjadi pertanyaan buat kita. Sebetulnya kita sudah punya modal cukup. Kita bangsa yang beragama. Artinya apa? Artinya setiap hari mengajarkan hal-hal yang baik.
Penduduk kita boleh dibilang sekarang ini 45 persen itu kan generasi muda yang pendidikannya cukup dan baik, tapi tetap saja setiap ada bencana muncul persoalan pemotongan. Catatan dikurangi sampai ke kawan yang marginal ini semakin berkurang. Kembali ke tadi, padahal kita bangsa yang beragama. Tiap hari kita berdoa, mengajarkan hal-hal yang baik ayat-ayat yang baik. Tapi dalam pelaksanaan tidak seperti itu.
Pendidikan kita baik, 45 persen makin tinggi. Mungkin sekarang bergerak ke arah 70 persen yang punya pendidikan baik itu. Tapi korupsi tidak berkurang juga.
Nah, jadi yang pasti kita bicara dari sisi angka kan. Sebelum covid ini ada 24 juta penduduk di bawah garis miskin. Setelah covid konon menurut laporan Menteri Keuangan ada tambahan 4 juta yang terancam hidupnya melarat karena banyak perusahaan yang tutup, UMKM-nya ambruk, perbankannya ikut kredit macet, banyak orang kehilangan pekerjaan.
Data Penduduk Miskin
Jadi potensi orang miskinnya bertambah banyak. Secara angka dicatat oleh Menteri Keuangan tadi 4 juta. Berarti sudah 28 juta secara angka. Tapi yang lebih menderita secara sah angkanya mungkin lebih dari 28 juta. Kenapa? Karena tidak pernah ada survey yang resmi (pasti).
Berapa sih yang orang miskin di negara kita ini? Berapa orang kaya? Tidak pernah ada satu penelitian yang betul-betul akurat. Kalau kita perbandingkan dengan Negara-negara Eropa, negara Eropa tersebut pajak penghasilannya 40 persen. Negara Eropa dan Amerika itu pajaknya 40 persen. Tapi 40 persen ini betul betul dipakai subsidi hal-hal yang sifatnya sosial. Kesehatan masyarakat, pendidikan, yang menyangkut publik, bantuan sosial itu betul-betul dirasakan.
Di Indonesia, pajak penghasilannya 2,5 persen. Jauh sekali. 2,5 persen saja orang masih enggak mau bayar. Sekarang kalau kita punya untung Rp 10 juta kita disuruh bayar pajak Rp 4 juta pasti tidak mau. Kenapa? Karena kita tidak dapat perimbangan dari hal-hal yang bersifat sosial. Kalau di luar negeri hal yang bersifat sosial itu muncul perimbangan gotong royong. Pokoknya teori-teori di kita ini bagus semua. Dari gotong royong itu bagus, tapi dalam pelaksanaannya tidak berjalan.
Kejadian di Amerika baru-baru ini, ada seorang kulit hitam ditangkap polisi gara gara diduga menggunakan uang palsu senilai 20 dolar AS. Nilai ini di Amerika Serikat kecil sekali meski di Indonesia setara Rp270.000. Ketika ditangkap diinjak lehernya yang mengakibatkan matinya orang kulit hitam tersebut.
Dampaknya bisa demikian. Di kita, ada kakek yang mencuri di Cianjur, Jawa Barat, nggak ada yang tolong. Ada banyak orang susah di Medan. Di daerah-daerah tak ada yang tolong. Kenapa, karena kita tidak merasa sebagai satu bangsa satu negara.
Nah, itu dampak dari kebebasan roformasi. Sehingga masing-masing orang tersebut mengatur dirinya sendiri, tapi melupakan bagaimana kita hidup sebagai dalam satu negara dan bangsa.