SURABAYA-JATIM, SUDUTPANDANG.ID – Tim peneliti dari Smithsonian Environmental Research Center (SERC) — lembaga penelitian dan pendidikan lingkungan — dari Maryland, Amerika Serikat (AS) bersama Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) bekerja sama melakukan monitoring atas kegiatan “re-stocking” benih rajungan (Portunus pelagicus) di perairan laut di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
“Upaya kami dalam meningkatkan stok tidak hanya sekadar melepasliarkan saja, namun juga memonitoring kegiatan restocking tersebut apakah restocking tersebut memang bermanfaat dan bagaimana dampaknya,” kata Board of Director APRI, Wita Setioko dalam taklimat media yang diterima Sudutpandang.id di Surabaya, Sabtu (19/10/2024).
Ia menjelaskan peneliti SERC, Dr Robert Aguilar beserta Henry D. Legett Ph.D bersama APRI melakukan rangkaian kegiatan peningkatan stok rajungan di Situbondo, Jatim, sejak Agustus hingga Oktober 2024.
Restocking, katanya, menjadi salah satu upaya dalam mempertahankan populasi komoditas tersebut untuk menjaga keseimbangan ekosistem, apalagi komoditas rajungan merupakan komoditas yang spesial dengan memiliki nilai yang cukup tinggi sehingga rajungan dapat menjadi primadona baik bagi nelayan maupun pelaku usaha.
Beberapa kegiatan restocking, tambahnya, perlu memperhatikan banyak hal agar restocking tersebut dapat optimal, seperti pemilihan lokasi untuk pelepasliaran, komoditas di lokasi tersebut, di mana ekosistem
lokasi tersebut harus menjadi perhatian dalam upaya pelepasliaran rajungan.
Habitat rajungan sendiri berada zona intertidal hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman 50 meter.
Wita Setioko menjelaskan pada saat tim melakukan “underwater restocking”, rajungan yang dilepas bisa langsung dimakan predator seperti ikan.
Karena itu, kata dia, pentingnya melakukan restocking pada fase crablet (benih) harapannya rajungan dapat menemukan tempat berlindung serta mampu mencari makanan alaminya karena pada fase crablet, rajungan sudah memliki bentuk yang sempurna sehingga mampu bertahan melawan predator ataupun mencari makan.
Tim SERC melakukan penelitian pendahuluan terkait lokasi dan hasil tangkapan di area tersebut.
Lokasi yang dipilih dari beberapa opsi adalah area lamun yang merupakan area yang cocok sebagai daerah pemijahan dan perlindungan.
Selain itu, beberapa juvenil lain yang tertangkap menunjukkan bahwa daerah tersebut berpotensi menjadi daerah asuhan dan cocok sebagai habitat bagi hewan berukuran kecil.
Alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap bubu lipat dengan modifikasi mesh size 1 cm, yang diperuntukkan dalam pengamatan hasil tangkapan.
Adapun hewan-hewan yang tertangkap, langsung dilepaskan kembali setelah dilakukan pengamatan dan pencatatan.
Kegiatan yang berlangsung sejak Agustus hingga Oktober ini dalam rangka melakukan pengamatan dan monitoring terhadap hasil restocking rajungan yang telah dilakukan, melalui penangkapan kembali crablet tersebut menggunakan bubu lipat.
Sekitar 4.900 ekor rajungan crablet dengan ukuran 1,5-5 cm telah diberi tanda (tagging) dengan kawat khusus berukuran super kecil sekitar 0,5 mm di bagian daging dekat kaki renang rajungan sehingga tanda tersebut tidak hilang ketika “moulting”.
Ia menyatakan kegiatan pemberian tanda ini dilakukan satu persatu dan dicek menggunakan alat “metal detector” bahwa rajungan tersebut sudah ditandai dan siap untuk dilakukan restocking.
Setelah restocking, kata dia, kegiatan monitoring terus dilakukan dengan melakukan penangkapan menggunakan bubu di area restocking kondisi spesies yang ada di area tersebut pasca-restocking dan secara khusus kondisi crablet yang sudah dilepasliarkan dan rajungan yang berasal dari alam/liar.
Proses pengamatan rajungan/crablet hasil hatchery (pembenihan) dan yang berasal dari alam dilakukan dengan pengecekan menggunakan metal detector.
Hasil monitoring kegiatan tersebut menunjukkan rajungan yang berasal dari alam/liar maupun yang berasal dari “hatchery” berhasil ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan restocking dapat menjadi salah satu upaya dalam peningkatan stok rajungan di alam, demikian Wita Setioko. (PR/02)