Jika diilustrasikan, misalnya omzet yang diperoleh toko kelontong Tuan H setiap bulannya dari Januari-Desember 2023 adalah sebesar Rp100 juta.
Pada Januari-Mei, omzet kumulatif toko kelontong Tuan H sebesar Rp 500 juta, sehingga pada Januari-Mei, Tuan H tidak dikenakan PPh Final UMKM.
Tuan H akan dikenakan PPh Final UMKM setelah omzet kumulatif yang diperolehnya melebihi Rp500 juta, yaitu pada Juni-Desember, yang mana omzet kumulatifnya telah mencapai Rp1,2 miliar. Dalam penghitungan dasar pengenaan pajak, angka Rp1,2 miliar tersebut akan dikurangi PTKP sebesar Rp500 juta, maka didapatkan hasil Rp700 juta. Omzet sebesar Rp700 juta di tujuh bulan terakhir tersebut akan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari omzet setiap bulannya.
Maka dari itu, total PPh Final UMKM yang dibayarkan oleh Tuan H selama tahun 2022 semenjak diberlakukannya UU HPP, yaitu sebesar Rp700 juta dikali dengan 0,5% yakni Rp3,5 juta.
Angka tersebut mengalami penurunan sebesar Rp2,5 juta dari perhitungan sebelum diberlakukannya UU HPP, dimana PPh Final UMKM yang harus dibayarkan oleh Tuan H adalah sebesar Rp1,2 miliar dikali dengan 0,5% yakni senilai Rp 6 juta, karena belum ada pengurangan PTKP bagi WP OP UMKM.
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa kebijakan batasan PTKP bagi WP OP UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta setahun. Hal itu merupakan kebijakan tax cut (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) dalam UU HPP tersebut akan mengurangi beban PPh sebesar Rp2,5 juta atau sebesar kurang lebih 41,67%.
Artinya, penghasilan bersih setelah pajak (take home pay) WP OP UMKM tersebut akan meningkat. Dengan demikian, dapat diasumsikan daya belinya juga akan meningkat.
Apabila kenaikan take home pay tersebut digunakan untuk meningkatkan konsumsi, maka penerimaan negara dari pajak atas konsumsi akan meningkat.
Saving