Padahal banyak praktik menunjukkan dari stigma pelabelan alasan Covid-19 inilah berpotensi menimbulkan penyelewengan yang tidak terkendali dan masif. Penyelewengan dana/bantuan anggaran bisa saja terjadi dan atau penyelewengan lain, misalnya terjadi kesalahan penanganan Covid-19 oleh petugas sehingga pasien meninggal dunia dan tidak pernah terungkap sebab-sebabnya.
Hampir semua kematian di era Pandemi Covid-19 ini selalu dipandang seolah merupakan akibat dari penyebaran wabah Covid-19. Padahal, sebab-sebab kematian tidak pernah dibuktikan, obat virus atau cara penanganan perawatan pasien Covid-19 pun tidak pernah diketahui pasien (keluarga pasien), tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah. Efek dari kondisi demikian, banyak masyarakat tidak melapor ke otoritas petugas Covid-19 jika masyarakat menjumpai ada orang sakit atau orang meninggal dunia. Bahkan di beberapa media elektronik terdengar berita “jenazah diambil paksa oleh keluarganya” karena masyarakat sudah tidak percaya pada otoritas petugas Covid-19 yang terkesan tidak merawat secara baik, suka merendahkan aspek hukum dan tata cara penguburan jenazah dari suatu keyakinan agama masyarakat (pasien).
Di era transparansi ini sudah tidak mungkin lagi otoritas (petugas Covid-19) atau pemerintah menyembunyikan keadaan penyebaran Covid-19 yang sesungguhnya. Seharusnya perlu dipikirkan bagaimana cara menghentikan penyebaran Covid-19, bagaimana cara menemukan obat/vaksin Covid-19, bukan sebaliknya jika masyarakat bertanya untuk apa perawatan diadakan sementara obat/vaksinnya tidak ditemukan dan anggarannya pun besar sekali. Pertanyaan kritis masyarakat malah disikapi dengan tuduhan macam-macam serta dipandang seolah melanggar peraturan protokol penanganan Covid-19.
Contoh sederhana, jika terjadi klaim terhadap rumah sakit, dokter, tempat layanan karantina karena keluarga pasien tidak puas, masyarakat curiga seakan ada yang tidak beres selama perawatan dan atau sebab-sebab kematiannya tidak pernah dibuktikan, maka tidak logis pemerintah berfikir terbalik dan menuduh-nuduh seolah masyarakat (pasien/keluarga pasien) yang salah dan dinilai melanggar protokol perawatan Covid-19. Padahal bisa saja petugas Covid-19 tidak melakukan upaya tindakan perawatan yang benar.
Jika demikian keadaannya dan menurut UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Kekarantinaan cara mengatasi atau melayani masyarakat (pasien/keluarga pasien) yang komplain dan atau jika ingin mengetahui sebab-sebab kematian pasien tawarkan saja solusi “bedah mayat klinis” pada keluarga pasien. Cara bedah mayat klinis (anatomis maupun histologi) ini penting diinformasikan atau diketahui oleh masyarakat (pasien) dan perlu dibuat pedoman protokolnya.
Pentingnya bedah mayat klinis dilakukan karena tidak menutup kemungkinan terjadi penyelewengan/korupsi dana penanggulangan Covid-19. Bedah mayat klinis juga penting untuk “mengclearkan” kritik masyarakat terhadap dokter atau otoritas petugas Covid-19.
Kesimpulan
“Tindakan bedah mayat klinis (anatomis dan histologi)” oleh dokter yang kompeten merupakan “jalan solusi adil” dan memberi perlindungan hukum masyarakat (pada keluarga pasien) dan sekaligus menguji apakah terjadi kesalahan tindakan/tidak terjadi kesalahan layanan yang dilakukan petugas, dokter, rumah sakit selama perawatan atau penanganan Covid-19.
Saran
- Perlu dibuat pedoman protokol mengenai “bedah mayat klinis” dan pedoman protokol tentang “tata cara penguburan jenazah” menurut masing-masing keyakinan umat beragama di Indonesia.
- Perlu dibuat petunjuk pelaksana (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) tentang pelaporan dan penggunaan anggaran/dana bantuan penanganan penyebaran Covid-19.
- Perlu dibuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai penanganan penyebaran Covid-19.