Rehabilitasi Presiden Harus Menjadi Isyarat Institusi Berbenah 

Rehabilitasi Presiden Harus Menjadi Isyarat Institusi Berbenah 
Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum.(Foto: istimewa)

“Rehabilitasi Presiden bukan akhir perkara justru awal bagi institusi untuk bercermin dan berbenah.”

Oleh Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum.

Pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap tiga mantan pejabat PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yakni mantan Direktur Utama Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono menjadi perhatian publik. Ketiganya sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dan kemudian mendapatkan rehabilitasi berdasarkan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, setelah Presiden menerima dan mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung.

Agar tidak menimbulkan persepsi keliru bahwa Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi tanpa dasar yang kuat, pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka alasan serta pertimbangan yang melandasi keputusan tersebut. Hal ini penting karena makna rehabilitasi menurut KUHAP adalah pemulihan hak seseorang atas kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya akibat penangkapan, penahanan, penuntutan, atau peradilan yang tidak berdasar hukum atau karena kekeliruan subjek maupun penerapan hukumnya.

BACA JUGA  Kurnianto Purnama : Dua Sahabat SMA

Tanpa penjelasan yang memadai, keputusan rehabilitasi berpotensi menimbulkan anggapan publik bahwa Presiden tidak mempercayai sistem peradilan yang berjalan atau bahkan dianggap melakukan intervensi terhadap kewenangan yudikatif.

Kekhawatiran ini menjadi lebih relevan mengingat sebelumnya Presiden juga telah menggunakan hak prerogatif berupa abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong yang divonis 4,5 tahun penjara, serta amnesti terhadap mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang divonis 3,5 tahun penjara.

Dalam konteks kasus PT ASDP, proses hukum yang dilalui para terhukum sudah berlangsung panjang, mulai dari penyelidikan, penyidikan, praperadilan, hingga penuntutan dan vonis bersalah oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, pemberian rehabilitasi justru harus menjadi momentum untuk menelusuri apakah terjadi kesalahan dalam proses penegakan hukum.

BACA JUGA  Jaksa Agung Siap Kawal Implementasi KUHP Baru

Presiden perlu memerintahkan masing-masing pimpinan institusi penegak hukum yang menangani perkara ini untuk melakukan pemeriksaan internal guna menemukan akar persoalan. Bila terdapat kekeliruan, harus diperbaiki, bila terdapat penyimpangan, harus ditindak. Tujuannya jelas, agar kesalahan serupa tidak terulang dan “hukum sebagai panglima” dapat diwujudkan dalam upaya membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme di era Prabowo–Gibran.

Semoga langkah ini menjadi titik awal pembenahan institusi, bukan sekadar penyelesaian administratif sebuah perkara.

*Penulis adalah praktisi hukum senior 


Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis sebagai praktisi hukum. Isi dan pandangan dalam artikel sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan sikap atau kebijakan institusi mana pun.